Dua puluh enam miliar rupiah. Sebanyak itulah uang yang dihabiskan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk berganti nama dan status menjadi Perusahaan Umum (Perum) Pangan Nasional. Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo sudah mematok anggaran itu lewat Surat Keputusan (SK) Kepala Bulog bernomor 175 tertanggal 20 Agustus 2002 lalu. Perinciannya, biaya kesekretariatan Rp 23,1 miliar, biaya peluncuran (grand launching) Rp 2 miliar, dan membayar jasa konsultan Rp 1,3 miliar. Dari dana kesekretariatan, Rp 15 miliar dihabiskan untuk sosialisasi eksternal, untuk koordinasi rapat Rp 4,9 miliar, dan honor Rp 1,9 miliar. Semua pendanaan itu bersumber dari saku Bulog sendiri.
"Biaya itu biasa untuk sebuah perusahaan besar, karena kita menangani sales hingga Rp 9,7 triliun. Selain itu, sebetulnya biaya itu untuk aktivitas selama 16 bulan. Yang paling besar adalah proses persiapan, yaitu sosialisasi untuk pasang iklan di koran dan televisi," kata Widjanarko kepada wartawan beberapa waktu lalu. Itu pun, menurut dia, sudah diusahakan untuk mengencangkan ikat pinggang alias berhemat di sana-sini. Semula total anggaran memang sekitar Rp 32,99 miliar. Kemudian turun menjadi Rp 26 miliar setelah memangkas biaya koordinasi antar-instansi dan sewa konsultan. Jadi, Bulog sudah menghemat sekitar Rp 7 miliar.
Apa pun alasannya, biaya ganti nama sebesar Rp 26 miliar itu tetap saja membuat orang terperangah. Duit itu, kata Louisa Tuhatu dari Partner Mavric Konsultan?sebuah lembaga konsultan yang kerap menangani sosialisasi seperti ini?terlalu besar. Sebabnya, perubahan status Bulog dari lembaga nondepartemen menjadi perusahaan umum (perum) mengandung nilai berita lumayan tinggi. Jadi, "Tidak terlalu susah melakukan sosialisasi," ujar Louisa. Dengan kata lain, media massa mengejar berita itu, sehingga yang diperlukan cuma media communication.
Sosialisasi lewat televisi juga terkesan janggal. Sebab, pangsa pasar Bulog yang terbesar berada di pedesaan. Dengan target audiens seperti itu, kata Louisa, mestinya sosialisasi yang efektif cukup lewat radio, koran, dan buku-buku. Waktu yang diperlukan juga cuma enam bulan, dengan rincian, tiga bulan sebelum perubahan dan tiga bulan setelah perubahan. Jadi, tidak perlu sampai 16 bulan, yang tentu ikut membengkakkan biaya operasional.
Louisa mengkalkulasi bahwa jika semua rencana itu matang dipersiapkan, dana untuk sosialisasi eksternal mestinya cuma sekitar Rp 10 miliar. Itu pun sosialisasinya sudah sampai ke pelosok-pelosok desa. Artinya, masih bisa menghemat sekitar Rp 5 miliar dari yang dipatok oleh Bulog.
Yang pasti, biaya sosialisasi yang besar memang menimbulkan tanda tanya. Apalagi, kata Louisa, program sosialisasi nyaris tidak pernah terdengar, baik melalui televisi, radio, maupun pemasangan billboard. Sayang, Widjanarko tidak bisa dikonfirmasi perihal program sosialisasi yang menghebohkan itu. Hingga tulisan ini diturunkan, surat permohonan wawancara yang dikirim TEMPO belum dijawab.
Wens Manggut, Leanika Tandjung, Agus Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini