Abdurrahman Wahid pekan lalu menjatuhkan "bom" di pusat Ibu Kota Jakarta. Setting yang dipilihnya untuk itu adalah sebuah konferensi pers, dan tempat yang dianggapnya tepat adalah kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang terletak di Jalan Kramat Raya. Dalam kesempatan itu bekas presiden yang masih menjadi Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini lugas menuding adanya komisi dalam penjualan 41,94 persen saham Indosat. Katanya, yang menerima suap bukan pejabat tinggi pemerintah, melainkan orang PDI Perjuangan?partainya Presiden Megawati Soekarnoputri.
Jumlah komisi itu, menurut Abdurrahman, sekitar 9 persen dari transaksi yang nilainya Rp 5,6 triliun. Ia juga sesumbar memiliki bukti-bukti suap dalam bentuk dokumen. "Siapa yang menerima, berapa jumlahnya, di mana, tanggal berapa, ada semuanya. Pada waktunya, fotokopinya akan diedarkan," kata Abdurrahman dengan gayanya yang enteng tapi menghenyakkan.
Berita tak sedap yang merundung divestasi Indosat tak berhenti di situ. Belakangan tersiar kabar bahwa sebagian uang komisi mengalir ke sejumlah tempat, dua di antaranya ialah Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB) dan kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Dua tempat ini dianggap "dekat" dengan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, pejabat yang bertanggung jawab atas proses divestasi Indosat.
Kabar itu membuat Rektor ITB, Dr. Ir. Kusmayanto Kadiman, marah besar. "Itu hanya isu murahan, tak benar sama sekali," tuturnya seperti dikutip Detikcom. Direktur Utama Indosat, Widya Purnama, yang dulu ikut mendukung pencalonan Laksamana menjadi Ketua IA-ITB, juga terperangah ketika diberi tahu bahwa dirinya mengetahui aliran dana itu. "Saya enggak ada hubungan dengan hal itu. Kok, saya disangkut-pautkan," ucapnya, heran dan berang.
Namun kabar itu semakin merebak lantaran Direktur Jenderal Anggaran, Anshari Ritonga, mengaku duit hasil penjualan saham Indosat yang masuk ke kasnya cuma Rp 5,2 triliun. Berarti ada selisih Rp 400 miliar bila dibandingkan dengan nilai divestasi yang disebut dalam keterangan pemerintah sebelumnya.
Dalam suasana yang membingungkan ini, kebetulan ada penjelasan dari Deputi Menteri Negara BUMN Bidang Restrukturisasi dan Privatisasi, Mahmudin Yasin. Ia menerangkan, hasil divestasi Indosat cuma US$ 608,4 juta alias Rp 5,48 triliun (kurs Rp 9.000 per dolar). Jadi, bukan Rp 5,6 triliun seperti yang semula diperkirakan orang. Uang itu disetor dalam dua tahap. Pada 20 Desember 2002, ditransfer US$ 580 juta, lalu pada 27 Desember 2002 sebesar US$ 3,14 juta.
Jadi, total yang diterima pemerintah sekitar US$ 583,14 juta atau ada seli- sih US$ 23,2 juta yang setara dengan Rp 208,8 miliar. Selisih itu, menurut Mahmudin, mungkin digunakan untuk membayar jasa konsultan keuangan, hukum, dan sebagainya.
Mahmudin juga membantah telah terjadi suap atau pemberian komisi untuk kepentingan pribadi. "Saya jamin, saya dan tim haram mengutip satu sen pun komisi dari sana," ujarnya. Apalagi proses privatisasi Indosat akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, ia tak bisa memastikan ada-tidaknya uang yang masuk ke oknum pemerintah atau pihak lainnya. "Kalau itu, saya tidak tahulah," ujarnya.
Pengacara Laksamana, Amir Syamsudin, sangat menyayangkan berbagai tuduhan yang ditujukan pada kliennya. Ia meminta supaya Abdurrahman Wahid atau Amien Rais menunjukkan bukti-bukti atas tuduhan itu. "Kalau tak bisa menunjukkan bukti, mereka bisa dilihat hanya mencari publisitas," demikian Amir, yang berada di Australia, berkomentar lewat sambungan telepon.
Amir dan rekannya, Didi Irawadi Syamsudin, juga membantah kabar bahwa, selama proses divestasi Indosat, Laksamana kerap bepergian ke Singapura ditemani seorang direktur perusahaan sekuritas. Kunjungan ke sana dimaksudkan untuk melobi para peserta tender. Namun, kepastian tentang ini tak bisa diperoleh karena pengusaha sekuritas itu tak bisa dihubungi lantaran sedang berlibur ke Amerika.
"Semua perjalanan Pak Laks dilakukan sesuai dengan protokoler dan koridor resmi yang seharusnya," demikian Didi, sang pengacara, menegaskan. Kalaupun ada perjalanan, ujar Didi, itu hal biasa dalam proses negosiasi bisnis. Tapi, selang beberapa menit kemudian Didi menelepon Tempo News Room dan mengatakan telah membicarakan ihwal perjalanan itu bersama tim pengacara lainnya. Hasilnya? Mereka tegas membantah adanya perjalanan tersebut. "Perjalanan diam-diam itu tidak pernah dilakukan," ia menandaskan. Nah, mana yang benar?
Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung, Dewi Rina Cahyani, Y. Tomi Aryanto (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini