Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perwira Itik dari Tegal

Rekso Sulaiman memelopori beternak itik di kandang. Dia juga mendirikan koperasi dan sukses memerangi tengkulak.

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rekso Sulaiman tak pernah membayangkan jalan hidupnya bisa melenceng jauh. Tiga puluh tujuh tahun yang lalu, dia adalah perwira pertama Angkatan Udara Republik Indonesia berpangkat letnan satu. Siapa sangka lulusan terbaik Sekolah Perwira Administrasi Angkatan Udara itu kemudian meniti karier sebagai peternak itik di Pasurungan Lor, Kecamatan Margadana, Tegal, Jawa Tengah. Peristiwa 30 September 1965 telah begitu saja membelokkan arah hidup pria berusia 67 tahun yang juga sarjana hukum lulusan Universitas Indonesia itu. Aktivitas Rekso dalam organisasi mahasiswa Centra Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia waktu itu, ternyata fatal. Rekso ditahan selama 13 tahun dan baru dibebaskan pada 1979. Selepas dari penjara, nasibnya sebagai tentara Indonesia tidak pernah jelas. Rekso yang tidak pernah dipecat, tapi juga tak pernah menerima gaji, akhirnya memilih pulang kampung. Di Pasurungan Lor, Rekso mencoba membangun hidup baru. Ia menjadi peternak itik, meneruskan usaha bapak dan kakeknya. Tapi, berbeda dari para pendahulunya, Rekso memelihara itik di kandang. Cara ini sangat tidak lazim karena biasanya itik digembalakan di sungai atau di sawah-sawah. Dalam ternak tradisional, itik memang dibiarkan mencari makannya sendiri. Namun Rekso tak membiarkan itiknya berkeliaran. "Sawah sudah tercemar pestisida sehingga itik tidak memperoleh makanan yang berprotein tinggi," kata Rekso. Karena itu pula, menurut Rekso, produksi telur merosot dan kualitasnya rendah. Dia pun mengandangkan itiknya dan memberi makan hewan peliharaan itu, tiga kali sehari. Makanannya terdiri dari bekatul yang dicampur ikan-ikan kecil. Eksperimen itu pada mulanya ditertawai orang. Sial baginya, modal Rp 70 ribu yang diperoleh dari Bupati Tegal, Hasyim Sudirjo, juga amblas. Eksperimen gagal itu dirintisnya bersama enam orang teman. Mereka membeli seribu butir telur, tapi dari jumlah itu cuma separuh yang menetas, dan itu pun cuma setengahnya yang betina. Pada tahap pertama ini, usaha Rekso tidak membuahkan hasil. Tapi Rekso tidak menyerah. Ia pergi ke Jakarta untuk mencari pinjaman dari teman-temannya. Setelah mendapatkan utang Rp 2 juta, Rekso kembali ke Tegal dan kembali memelihara itik di kandang. Kali ini, nasib baik berpihak pada Rekso. Itiknya mulai bertelur dengan jumlah lebih banyak dan kualitas lebih bagus. Itik itu bertelur pada usia lima setengah bulan, sementara itik lain baru bertelur pada umur tujuh bulan. Langkah Rekso mulai diikuti banyak orang. Kini, dari Pasurungan Lor dihasilkan tak kurang dari 90 ribu butir telur dari 150 ribu itik milik 288 peternak. Jika dijual dalam bentuk telur, omzet Pasurungan Lor bisa mencapai Rp 54 juta per hari atau sekitar Rp 20 miliar per tahun. Tak mengherankan jika Tegal menjadi salah satu sentra produsen telur itik terbesar di Indonesia. Rekso tak berhenti di situ saja. Dia mencoba mendirikan koperasi. "Tengkulak sangat merajalela dan saya berusaha menghilangkannya dengan membentuk koperasi," katanya. Tapi, lagi-lagi, usaha Rekso tak berjalan mulus. Pada 1986, Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Tegal, yang semula bersedia memberikan modal, ternyata ingkar janji. Lagi-lagi Bupati Tegal turun tangan. "Pak Bupati sampai mengatakan, dia atau Kepala Cabang BRI itu yang keluar dari Tegal jika BRI tetap tak bersedia memberikan pinjaman," tutur Rekso, mengingat-ingat dukungan Bupati Tegal saat itu. Akhirnya, BRI bersedia memberikan pinjaman Rp 21,5 juta untuk Rekso dan 15 temannya. Namun dana itu tetap tak cukup untuk mendirikan sebuah koperasi yang kuat. Baru 13 tahun kemudian, Rekso dan rekan-rekan berhasil mendirikan koperasi yang dinamakan Purwadiwangsa?nama orang tua Rekso. Koperasi ini berdiri setelah Rekso mendapat suntikan modal dari PT Sarana Jateng Ventura sebesar Rp 150 juta. Koperasi memberikan pinjaman dan mereka membayarnya dengan telur. "Kalau yang pinjam di atas Rp 1 juta, mereka harus membayarnya dengan 15 butir telur per hari (Rp 9.000)," Rekso menjelaskan. Hasil koperasi ini ternyata tidak mengecewakan. Dari 288 peternak itik yang menjadi anggotanya, sudah 214 orang yang terbebas dari cengkeraman para pengijon. Rekso kini memang bukan lagi peternak itik. Sehari-hari dia lebih banyak disibukkan urusan Koperasi Purwadiwangsa. Kedua anaknyalah yang meneruskan usahanya. Tapi Rekso tetap diingat banyak peternak di Indonesia sebagai pelopor beternak itik di kandang. Jalan hidupnya memang melenceng, tapi dia tidak menyerah. Kini Rekso malah berhasil mengembangkan peternakan itik di desanya, mengangkat taraf hidup penduduk setempat, membangun koperasi, dan membebaskan para peternak dari cengkeraman tengkulak dan pengijon. M. Taufiqurohman, Syaiful Amin (Tegal)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus