SEBUAH gedung bercat kusam berdiri kukuh di Jalan Kopo, Bandung. Tampak biasa di tengah banyak bangunan berkondisi serupa di Kota Kembang itu. Namun analis perbankan Lin Che Wei sempat menaruh perhatian pada gedung yang pernah disewa Bank Danamon itu. Bangunan besar itu begitu sepi, sepertinya hanya Bank Danamon yang menyewanya. Bagian gedung yang lain banyak yang kosong, tanpa penyewa.
Che Wei ingat, beberapa tahun lalu, saat ia sedang meneliti laporan keuangan Bank Danamon, pernah terkesima mendapati besarnya biaya yang harus dikeluarkan Bank Danamon untuk menyewa tempat untuk kantor-kantor cabangnya, termasuk tempat yang sepi seperti kuburan di Jalan Kopo itu, yang harga sewanya lebih tinggi ketimbang harga pasar. Ketika soal ini ia tanyakan kepada seorang pejabat di kantor pusat Bank Danamon, pejabat tadi menjawab enteng, harga sewa itu lebih murah ketimbang bila Bank Danamon harus membelinya. "Masa, biaya sewa dibandingkan dengan harga beli," gerutu Che Wei.
Selidik punya selidik, Bank Danamon ternyata menyewa tempat-tempat mahal itu dari PT Danamon Usaha Gedung (DUG). Jangan salah, DUG bukan anak perusahaan Bank Danamon. Perusahaan ini kepunyaan pribadi keluarga Usman Admadjaja, pemilik lama Bank Danamon. Ia memilikinya melalui PT Danamon Multi Investama (99 persen) dan secara pribadi (1 persen). Selama bertahun-tahun DUG menyewakan atau memberi pembiayaan sewa gedung untuk dipergunakan menjadi kantor-kantor cabang Bank Danamon. Gedung-gedung itu dimilikinya sendiri atau diperoleh dengan menyewa dari pihak lain.
Menurut seorang bekas pejabat Bank Danamon, sebagian gedung yang dimiliki DUG ternyata dulunya milik Bank Danamon. Dengan alasan penghematan: menyewa lebih murah ketimbang memiliki sendiri, Bank Danamon kemudian memutuskan menjual aset-aset itu. Dibeli oleh DUG yang kemudian menyewakan gedung-gedung itu lagi ke Bank Danamon.
Namun, cita-cita melakukan penghematan kandas karena meski satu pemilik, Bank Danamon harus menyewa dengan harga tinggi. Akibatnya, laba Bank Danamon jadi mengecil. Di lain pihak, seperti bejana berhubungan, perusahaan milik pribadi keluarga Usman Admadjaja itu membesar keuntungannya.
Padahal, ketika Bank Danamon dibangun pada 1988, Usman?anak guru kelahiran Tanjungkarang, Lampung, tahun 1947?mengorbankan bisnis yang telah dirintis sebelumnya. "Dia jual pabriknya, mulai dari sepatu, genting, hingga lampu untuk membesarkan Danamon," kata pengusaha yang juga besannya, Sofjan Wanandi. Hanya dalam tempo 10 tahun, Danamon telah berkembang pesat. Sayangnya, seperti banyak bankir dadakan lainnya, bapak tiga anak itu kemudian menjadikan banknya sebagai kasir untuk keperluan sendiri.
Maka, selain menggangsir Danamon lewat sewa-menyewa dengan DUG, Usman juga memeras Danamon melalui PT Danamon Sanatel. Perusahaan yang juga milik keluarga Usman ini menyediakan jasa satelit agar komunikasi antarcabang Bank Danamon bisa tersambung secara online. Juga layanan teknologi informasi lain, misalnya untuk mesin anjungan tunai mandiri (ATM), dengan harga "saudara tiri" alias lebih mahal dari pasar.
Hal yang sama kabarnya juga berlaku untuk urusan sewa mobil, komputer, dan peralatan kantor lain. Usman dengan lihai menggunakan dalih "lebih murah melakukan outsourcing", yang sempat sangat populer di tahun 1990-an, justru untuk menggerogoti Bank Danamon.
Bank Danamon juga dijadikannya kendaraan untuk membiayai proyek-proyek propertinya. Ketika krisis mendera dan Danamon terkena rush, Usman pun menilep bantuan likuiditas Bank Indonesia. Jumlahnya mencapai Rp 12,3 triliun. Usman tak berdaya dan Danamon pun masuk klinik Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Setelah ada dalam perawatan BPPN pun, sedotan Usman pada Danamon tak bisa putus karena adanya kontrak perjanjian yang bisa memberi denda besar pada Danamon bila memutuskan secara sepihak. Setelah kontrak itu berakhir, buru-buru Direktur Utama Bank Danamon saat itu, Milan Shuster, memindahkan kantor pusat Danamon dari Wisma Danamon Anggana di Jalan Sudirman ke sebuah gedung di Jalan Casablanca?tindakan yang belakangan membuatnya dicopot dari jabatannya oleh Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto. BPPN sendiri hingga kini masih menyewa Wisma Danamon itu.
Ketika itu barulah Danamon bisa melakukan penghematan sesungguhnya. "Harga sewa gedung baru itu jauh lebih murah ketimbang yang lama," kata Madi Lazuardi, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Bank Danamon. Untuk kantor-kantor cabang, Danamon juga menggunakan aset sendiri berupa bekas kantor bank-bank yang merger dengannya. Atau, kalau terpaksa, menyewa dari pihak lain dengan tarif yang benar-benar bersaing.
Bank Danamon juga memutuskan tak lagi bermitra dengan perusahaan lain milik keluarga Usman. "Sekarang kami sudah tak ada hubungan dengan perusahaan-perusahaan milik keluarga Usman," kata Madi.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini