Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Raskin atau OPK, Sama Saja

Beras jatah si miskin tidak selalu mencapai sasaran, karena distribusi kacau, sosialisasi lemah, aparat brengsek. Adakah cara untuk mengurangi eksesnya?

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mensubsidi rakyat secara langsung biasanya merupakan pilihan terakhir, bila alternatif lain sudah tak mungkin dilaksanakan. Pilihan itulah yang diambil pemerintah dengan program penjualan beras murah kepada rakyat miskin?populer disebut "raskin". Kantong-kantong kemiskinan di seantero Indonesia menjadi sasaran program raskin, yang tiap bulan mendistribusikan 220 ribu ton beras murah. Nilainya mencapai Rp 500 miliar, dengan ketentuan tiap kepala keluarga berhak mendapat jatah (membeli) 20 kilogram beras seharga Rp 1.000 per kilogram. Lalu di mana subsidinya? Menurut Badan Urusan Logistik (Bulog), yang menyalurkan raskin, beras yang dibagi-bagikan itu berkualitas medium dan harganya di pasar mencapai Rp 2.800 per kilogram. Ini berarti, pemerintah mensubsidi tiap keluarga miskin Rp 36 ribu per bulan atau Rp 432 ribu setahun. Masyarakat bisa saja menyoal kualitas beras itu?yang menurut Ahmad, tukang ojek di Pejaten Timur, Jakarta, "pera dan apek"?namun permintaan pasar terhadap raskin bukan tak ada. Minat pasar pula yang menyebabkan beras murah itu diselewengkan ke pedagang dan bukan ke rumah-rumah orang miskin. Penyelewengan raskin seperti yang terjadi di Cikatomas, Tasimalaya, Jawa Barat, hanyalah satu dari sejumlah ekses yang timbul akibat subsidi langsung. Ekses lain berupa penyunatan jatah, sehingga warga menerima hanya 19,5 kilogram, seperti yang terjadi di Muara Angke, Jakarta Utara, atau di Laweyan, Solo. Bisa juga jatah itu salah sasaran, sehingga yang tidak berhak juga memperolehnya. Di daerah yang aparatnya tidak mau repot, beras murah lantas dibagi rata, seperti di Gresik, Jawa Timur. Akibatnya, tiap keluarga miskin tidak mendapat 20 kilogram, tapi hanya 10 kilogram. Penyebaran informasi yang tidak merata juga berdampak buruk. Keluarga miskin di Tanjung Priok, misalnya, tidak mengetahui di mana bisa memperoleh beras murah, atau bahkan tidak mengetahui adanya jatah beras untuk mereka. Awal pekan lalu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla telah memberi instruksi kepada Bulog agar mengecek berbagai ekses di lapangan. Namun kalau cuma pemantauan tentu tidak memadai. Yang pasti, upaya tersebut bukanlah solusi tepat untuk menyukseskan program subsidi langsung yang kini disebut raskin. Apalagi program ini bukan sama sekali baru, karena selama tiga tahun (1998-2001), pemerintah sudah mensubsidi rakyat miskin lewat penjualan beras murah yang diberi nama Operasi Pasar Khusus (OPK). Memang, sejak tahun 2002, OPK berganti nama menjadi penjualan beras murah untuk rakyat miskin, tapi pengelolaannya sama saja, tanpa perbaikan. Berbagai ekses terjadi, hanya kini lebih disorot, mungkin karena raskin diisukan sebagai kompensasi dari pemerintah untuk kenaikan harga bahan bakar minyak, listrik, dan telepon yang menyakitkan itu. Apakah kompensasi atau sekadar subsidi, namun pemerintah harus berusaha agar dampak negatifnya bisa dibatasi. Penegakan hukum, misalnya dengan menyeret aparat penyeleweng raskin ke pengadilan, sudah harus dirintis dari sekarang. Selain itu, mengoptimalkan distribusi dengan manajemen yang rapi bisa dicoba dengan melibatkan aparat dari tingkat kabupaten, kelurahan, kecamatan, dan desa. Kalau hanya mempersalahkan Bulog, tentu tak banyak manfaatnya. Lagi pula, petugas Bulog, yang biasa berurusan dengan pengusaha berduit itu, tentu tidak bergairah mengurus rakyat miskin. Apalagi mesti terlibat soal sepele seperti protes terhadap jatah beras yang hanya 19,5 kilogram per karung di Muara Angke. Menghadapi hal ini, Kepala Depot Logistik (Dolog) Jaya Hari Syahdan sempat berkilah dan menyemprotkan kata-kata, "Alat yang digunakan di Muara Angke itu timbangan ikan!" Sedangkan ekonom Iman Sugema menilai, kekacauan terjadi karena minimnya jumlah beras yang didistribusikan. Beras yang disalurkan 220 ribu ton, dan itu hanya cukup untuk 7 juta dari 35 juta keluarga miskin yang ada. Bahkan, menurut Camat Wajo, Sulawesi Selatan, Achmad Massalisi, jumlah keluarga miskin di wilayahnya lebih banyak dari jatah yang diberikan. Akibatnya, "Kita kurangi jatah, biar semua keluarga miskin mendapat sedikit-sedikit. Siapa mau bertanggung jawab kalau ada yang mengamuk?" tanyanya. Yang bertanggung jawab siapa lagi kalau bukan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Tiadanya perencanaan yang matang, sosialisasi yang minim, pendataan yang tidak akurat, aparat yang korup, semuanya merupakan urusan pemerintah. Programnya boleh saja berganti nama?dulu OPK sekarang raskin?tapi yang menentukan adalah niat dan pengabdian untuk membantu rakyat miskin. Tanpa mengubah sikap mental pejabat?yang biasa dilayani, bukan melayani?program beras murah dikhawatirkan menjadi program ekses, yang lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Agus S. Riyanto, Muannas (Makassar), Imron Rosyid (Solo), Dewi Retno (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus