Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan perbankan dan investasi global Goldman Sachs Group, Inc memangkas peringkat pasar saham Indonesia. Penurunan rating saham Indonesia dari overweight ke neutral itu karena meningkatnya risiko defisit fiskal di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat ekonomi dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan penurunan tersebut mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kebijakan fiskal pemerintah. Menurut dia, efisiensi anggaran dan pembentukan Danantara menjadi dua aspek utama yang dipertimbangkan investor global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jika kebijakan ini tidak dieksekusi dengan transparansi dan disiplin fiskal yang kuat, pasar akan meragukan kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas anggaran dan mengelola defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ucapnya ketika dihubungi, Selasa, 11 Maret 2025.
Syafruddin memaparkan, penurunan ini dapat meningkatkan imbal hasil surat utang negara (SUN) karena investor akan meminta premi risiko yang lebih tinggi. “Ini berpotensi membebani fiskal karena pemerintah harus membayar bunga utang lebih besar untuk menarik dana dari pasar."
Langkah penurunan peringkat oleh Goldman Sachs Group Inc dilakukan setelah memproyeksikan defisit APBN akan semakin melebar dan mendekati batasnya, yakni 2,9 persen pada 2025. Goldman Sachs juga menurunkan peringkat obligasi negara tenor 10 dan 20 tahun menjadi netral, serta menurunkan peringkat saham Indonesia dari overweight menjadi market weight.
Sebelumnya lembaga global lain, Morgan Stanley, juga menurunkan peringkat saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI). Morgan Stanley menurunkan rating indeks saham Indonesia dari equal-weight ke underweight.
Penurunan peringkat oleh MSCI dan Goldman Sachs ini dikhawatirkan memperburuk sentimen investor terhadap pasar keuangan Indonesia. Ketika MSCI menurunkan peringkat saham-saham besar Indonesia, investor global mengalihkan modal ke negara yang dianggap lebih stabil dan memiliki prospek lebih menarik.
Keputusan Goldman Sachs, kata Syafruddin semakin memperkuat tren ini, mempercepat arus modal keluar dan menambah tekanan pada pasar modal serta nilai tukar rupiah. Investor institusional, terutama yang mengacu pada indeks global, cenderung melakukan rebalancing portofolio mereka dengan mengurangi eksposur terhadap aset Indonesia.
“Ini bisa mengurangi likuiditas di pasar saham dan obligasi, yang berujung pada meningkatnya volatilitas harga aset. Jika arus modal keluar semakin besar, Bank Indonesia mungkin harus meningkatkan intervensinya untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan mencegah guncangan lebih lanjut pada sistem keuangan,” ujar Syafruddin.
Penurunan peringkat juga dapat menurunkan daya tarik Indonesia bagi investor jangka panjang. Tanpa kepastian kebijakan yang kredibel dan reformasi struktural yang konsisten, Syafruddin meyakini investor akan lebih memilih menanamkan modal di negara dengan stabilitas makroekonomi lebih baik.