Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai harga pertalite yang santer dikabarkan dinaikkan menjadi Rp 10.000 per liter bakal memberatkan konsumen dan berdampak besar terhadap inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan begitu, menurut dia, daya beli masyarakat akan turun dan berimbas pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. “Itu yang membuat Persiden Joko Widodo alias Jokowi masih bimbang dan ragu. Karena tidak ingin momentum pertumbuhan yang mencapai 5,44 persen itu terganggu dengan kenaikan harga pertalite,” kata dia melalui sambungan telepon pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dala hitungannya, kata Fahmy, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis pertalite naik dari Rp 7.650 idealnya menjadi maksimal Rp 9.250 per liter. “Paling tinggi naiknya itu Rp 9.250 untuk pertalite,” ujar dia
Menurut Fahmy, kenaikan harga itu juga bisa dilakukan sekaligus bertujuan untuk menekan disparitas pertalite dan pertamax. Dengan begitu, sebagian konsumen akan bermigrasi ke pertamax karena selisih harga dua jenis BBM itu tidak terlalu besar.
Selain itu, jika harga BBM dinaikkan, maka bebannya akan semakin berat bagi masyarakat. Fahmy berharap pemerintah lebih memilih menerapkan kebijakan membatasai penggunaan pertalite ketimbang menaikkan harga. “Maka saya menduga pemerintah akan menaikkan tadi, kalau Rp 10.000 menurut saya itu terlalu tinggi, paling Rp 9.250,” tuturnya.
Alasannya, kata dia, harga Rp 9.250 masih bisa terjangkau oleh masyarakat sasaran pertalite yakni kelompok bawah. Namun sebetulnya jika dilihat datanya, 60 persen dari konsumen pertalite itu sesungguhnya tidak berhak memperoleh subsidi.
Artinya hanya 40 persen saja yang sebenarnya berhak mendapatkan subsidi. “Nah perkara itu kenapa Rp 9.250, supaya disparitas dengan pertamax tidak terlalu tinggi. Sehingga kemudian yang 60 persen itu akan pindah ke pertamax. Harapannya adalah seperti itu,” ucap dia.
Selanjutnya: Kenaikan harga pertalite jadi Rp 10.000 bakal picu inflasi hingga 6,5 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira sebelumnya memperkirakan harga pertalite akan naik menjadi Rp 10 ribu per liter. Dengan demikian, inflasi tahun 2022 bisa menembus 6-6,5 persen secara year on year.
Bhima menuturkan dampak kenaikan BBM akan dirasakan langsung oleh masyarakat. Daya beli masyarakat bakal menurun dan mendorong bertambahnya jumlah orang miskin baru. "Karena konteksnya masyarakat saat ini sudah menghadapi kenaikan harga pangan, dengan inflasi mendekati 5 persen," kata Bhima saat dihubungi pada Rabu, 17 Agustus 2022.
Pemerintah sebelumnya telah memberi sinyal kenaikan harga BBM bersubsidi. Sinyal ini menguat setelah anggaran subsidi dan kompensasi energi membengkak sampai Rp 502 triliun.
Bhima mengatakan di tengah pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19, kenaikan harga BBM bisa memberikan pukulan berat bagi masyarakat. Apalagi, saat ini ada 11 juta lebih pekerja yang kehilangan pekerjaan, jam kerja dan gaji dipotong, hingga dirumahkan.
Jika situasi itu diperberat dengan kenaikan harga BBM bersubsidi, Bhima khawatir tekanan ekonomi untuk 40 persen kelompok rumah tangga terbawah akan semakin dalam. "Belum lagi ada 64 juta UMKM yang bergantung dari BBM subsidi," ujarnya.
Bhima melanjutkan, pemerintah perlu memikirkan efek kenaikan harga BBM bersubsidi ke UMKM. Sebab saat ini, penikmat BBM bersubsidi bukan hanya pengguna kendaraan pribadi, tapi juga untuk kendaraan operasional UMKM.
MOH KHORY ALFARIZI | HENDARTYO HANGGI
Baca: Seluruh Direksi Pembangunan Jaya Ancol Diberhentikan, Tom Lembong: Penyegaran untuk Perbaikan
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.