Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. Faisal Rachman memprediksi tingkat inflasi pada September 2022 bakal melonjak hingga melampaui target pemerintah yaitu 3,5 - 4,5 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam hitunganya, inflasi September 2022 secara bulanan akan melejit hingga 1,29 persen (month-to-month/mtm) dibandingkan bulan sebelumnya yang mengalami deflasi 0,21 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini terutama didorong oleh kenaikan harga Pertalite dan Solar, masing-masing sebesar 30,72 persen dan 32,04 persen,” kata Faisal dalam keterangan tertulis, dikutip Senin, 3 Oktober 2022.
Kenaikan harga BBM jenis Pertalite dan Solar, menurut dia, memicu kenaikan harga jasa transportasi dan distribusi yang juga dapat memicu kenaikan harga barang dan jasa lainnya.
Adapun secara tahunan, inflasi headline diproyeksikan sekitar 6,08 persen (year-on-year/yoy) pada bulan ini, atau meningkat dari bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4,69 persen.
Faisal juga memperkirakan inflasi inti akan naik di tengah penyesuaian harga BBM dan adanya pelonggaran PPKM. “(Inflasi inti) diperkirakan sebesar 3,47 persen yoy pada September 2022, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 3,04 persen,” ujarnya.
Sementara itu, Bank Mandiri memperingatkan adanya risiko tekanan inflasi di tengah penyesuaian harga BBM. Sebab inflasi diperkirakan tetap tinggi di sisa tahun 2022, bahkan dapat mencapai di atas 6 persen secara tahunan.
Menurut Bank Mandiri, hal itu disebabkan oleh membaiknya permintaan (demand-pull inflation) di tengah pelonggaran PPKM, ditambah dengan kenaikan harga bahan pangan dan energi menyusul penyesuaian harga bensin dan solar bersubsidi (cost-push inflation).
Faisal menyebutkan dampak kenaikan harga BBM tak hanya memberikan first round effect pada administered price tetapi juga second round effect terhadap barang dan jasa lainnya.
Artinya, inflasi utama dan inflasi inti dapat memanas secara signifikan setelah kenaikan dan diperkirakan tingkat inflasi akan mencapai 6,27 persen pada akhir 2022. Oleh sebab itu, Bank Mandiri melihat bahwa Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk menaikkan BI-7DRRR atau suku bunga acuan menjadi 5,00 persen.
Sementara itu, Bank Indonesia memperkirakan inflasi sepanjang September 2022 akan tembus 5,88 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Perkiraan itu lebih tinggi dari realisasi inflasi pada Agustus 2022 sebesar 4,69 persen.
Selanjutnya: BI perkirakan inflasi September tembus 5,88 persen yoy.
"Berdasarkan survei pemantauan harga, survei pada minggu kelima, bulan ini (September 2022) inflasinya sekitar 5,88 persen yoy," kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Wahyu Agung Nugroho di Bali, 1 Oktober 2022.
BI memprediksi terkereknya inflasi September 2022 dipicu oleh kenaikan harga harga komoditas bensin sebesar 0,91 persen. Naiknya harga harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite, Solar, dan Pertamax akan menambah inflasi 1,8 - 1,9 persen.
Tambahan inflasi yang masuk kategori barang-barang yang diatur pemerintah atau administered price ini memiliki daya ungkit yang luas terhadap komoditas lain. Selain berdampak langsung terhadap sektor transportasi, BBM memiliki dampak tidak langsung atau second round effect ke harga-harga komoditas.
Dampak putaran second round dari kenaikan harga BBM akan dirasakan tiga bulan mendatang terhadap inflasi inti. Ini akan memicu juga kenaikan harga pangan bergejolak atau volatile food di samping administred price itu sendiri.
"Inflasi inti Agustus masih sekitar 3 persen, dengan perkembangan terkini, kenaikan BBM yg memberikan dampak ke inflasi inti, total dampaknya 1,8-1,9 persen, di akhir tahun inflasi inti menjadi sekitar 4,6 persen, which is sudah di atas target BI," kata Wahyu.
Oleh sebab itu, untuk meredam inflasi itu, BI telah menaikkan suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate menjadi 4,25 persen. Tujuannya untuk menjangkar ekpetasi inflasi ke depan sesuai dengan target inflasi, sehingga pada pertengah 2023 kembali ke sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada pertengahan tahun depan.
"Ini lebih ke keinginan kita untuk melihat inflasi inti ke sasaran pada kuartal III sampai 2023 sehingga kita butuh kenaikan (suku bunga acuan) yang besar di depan atau front loading tadi," kata Wahyu.
BISNIS | ARRIJAL RACHMAN
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini