Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengujian terhadap roti Aoka dan Okko mengalami perbedaan hasil. Menurut Profesor dari Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Rahmana Emran Kartasasmita, langkah pertama yang harus dilakukan untuk mendapatkan kejelasan adalah memastikan apakah sampel roti dari kedua merek yang diperiksa merupakan sampel yang identik atau sama tanggal produksinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bila sampel yang diuji tidak identik, bisa saja memberikan hasil yang berbeda walaupun berasal dari merek yang sama,” kata Rahmana kepada Tempo, Sabtu 27 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, bila dapat dipastikan sampel yang diuji identik, maka baru bisa dikaji lebih jauh hal-hal yang terkait dengan metode uji dan hal-hal teknis lain terkait pengolahan dan interpretasi data. Dengan catatan, data-data primer hasil pengujian di laboratorium tersedia.
Sebelumnya dalam laporan Majalah Tempo, hasil pengujian roti Aoka dan Okko oleh PT SGS Indonesia dari pengajuan Paguyuban Roti dan Mie Ayam Borneo menyatakan masing-masing roti mengandung sodium dehydroacetate masing-masing 235 dan 345 miligram per kilogram (mg/kg). Sementara hasil pengujian Badan Pemeriksa Obat dan Makanan atau BPOM menyatakan roti Okko mengandung natrium dehidroasetat sedangkan roti Aoka tidak.
Rahmana mengatakan natrium dehidroasetat dengan sodium dehydroacetate merupakan zat atau senyawa yang sama. Bahan itu serta dehydroacetic acid berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, merupakan pengawet yang diizinkan dalam produk kosmetik. “Namun tidak diizinkan sebagai pengawet pangan atau makanan,” kata dosen di Kelompok Keilmuan Farmakokimia Sekolah Farmasi ITB itu.
Selain itu, standar internasional tentang bahan tambahan pangan juga tidak merekomendasikan penggunaan natrium dehidroasetat atau sodium dehydroacetate dan dehydroacetic acid sebagai pengawet pangan atau makanan. “Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami dan dimaknai, natrium dehidroasetat atau sodium dehydroacetate dan dehydroacetic acid, tidak aman untuk dikonsumsi dan bisa menimbulkan gangguan kesehatan,” ujar Rahmana.
Namun begitu, sifat bahaya suatu zat atau senyawa tidak ditentukan oleh hasil pengujian kualitatif maupun kuantitatif suatu laboratotium pengujian, melainkan berdasarkan evaluasi keamanan yang dilakukan secara komprehensif. Pada tataran internasional, evaluasi keamanan suatu zat atau senyawa yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan dilakukan oleh The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA).
“Sepanjang yang saya ketahui, JECFA belum melakukan atau setidaknya belum mempublikasikan hasil evaluasi keamanan natrium dehidroasetat atau sodium dehydroacetate dan dehydroacetic acid sebagai pengawet pangan atau makanan,” kata dia.
Lazimnya, hasil evaluasi yang dilakukan oleh JECFA menjadi pertimbangan apakah suatu zat atau senyawa layak digunakan sebagai bahan tambahan pangan dan dapat diadopsi ke dalam General Standard for Food Additives (GSFA). Kalaupun dilakukan adopsi menurut Rahmana, harus melalui serangkaian proses yang panjang. Di antaranya melalui pembahasan pada sidang tahunan Codex Committee on Food Additives (CCFA), dan Codex Alimentarius atau Lembaga PBB di bawah FAO dan WHO.
Soal aspek keamanan konsumen, menurut Rahmana, terkait dengan batas pemakaian suatu zat atau senyawa yang sudah direkomendasikan atau diadopsi sebagai bahan tambahan pangan ke dalam GSFA. Misalnya sorbates sebagai sorbic acid, potassium sorbate, maupun calcium sorbate, sebagai bahan pengawet roti dengan batas maksimal 1.000 miligram per kilogram (mg/kg).
“Bila kadar bahan pengawet itu tidak melampaui batas maksimal yang ditetapkan dalam standar atau regulasi, maka produk pangan tersebut aman untuk dikonsumsi dan sebaliknya,” kata Rahmana.