Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform (IESR) menanggapi tindak lanjut pemerintah atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, dengan menggodok peta jalan pengakhiran operasional PLTU batu bara. Penyusunan peta jalan itu merupakan langkah awal untuk mendorong pengembangan energi terbarukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR, menjelaskan selanjutnya setelah peta jalan ditetapkan, pemerintah perlu mempersiapkan kerangka regulasi. Untuk mendukung penerapan struktur atau skema pembiayaan untuk pengakhiran operasional PLTU batu bara di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, sudah ada beberapa usulan struktur untuk pengakhiran operasional PLTU seperti write-off atau penghapusan aset PLTU dari catatan perusahaan karena dinilai tidak ekonomis lagi.
“Atau misalnya spin-off, yaitu penjualan aset ke perusahaan baru untuk mengelola aset tersebut dengan masa operasi lebih singkat,” ujar Deon lewat keterangan tertulis dikutip pada Kamis, 16 November 2023.
Selain itu, Deon mengatakan, pemerintah perlu membuat beberapa proyek percontohan (pilot) untuk pengakhiran operasional PLTU yang sedang berjalan seperti PLTU Cirebon. Sebagai pembuktian konsep dan memberikan kepastian pada PLN maupun Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producers, IPP) sebagai pemilik aset PLTU.
Selanjutnya: Selain dari skema atau struktur yang jelas dalam....
Selain dari skema atau struktur yang jelas dalam pengakhiran dini operasional PLTU batu bara, kata dia, diperlukan pula mekanisme untuk bisa mengalokasikan pendanaan yang didapatkan dari pengakhiran dini PLTU ke pembangkit energi terbarukan. Regulasi yang ada di Indonesia tidak memungkinkan hal ini, sehingga perlu dikaji dan diusulkan perubahannya.
“Agar pendanaan energi terbarukan yang biayanya bisa murah bisa sekaligus digunakan untuk mempensiunkan aset PLTU,” kata Deon.
Dia memandang masih banyak pekerjaan rumah untuk melaksanakan pensiun dini PLTU. Misalnya, Deon mencontohkan, memastikan adanya payung legal yang menjelaskan bahwa pengakhiran dini operasional PLTU memang bagian dari kebijakan negara untuk bertransisi energi dan mengurangi emisi.
“Serta ketersediaan regulasi yang memungkinkan modifikasi perjanjian jual beli listrik (PJBL) dan lainnya,” ucap dia.
Lebih baik lagi, Deon berujar, jika strategi pada PLTU merupakan bagian dari upaya transisi energi yang ingin mengintegrasikan energi terbarukan dalam skala besar sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca. Jika tujuannya seperti itu, maka aset PLTU akan dioptimalkan untuk memastikan energi terbarukan bisa masuk ke bauran listrik dengan cepat dan murah.
“Misalnya, selain menunggu dipensiunkan, PLTU bisa dioperasikan secara fleksibel untuk membantu menjaga kestabilan dan keandalan sistem seiring meningkatnya bauran PLTS dan PLTB yang intermiten,” kata Deon.
Pilihan Editor: Dikabarkan PHK 500 Karyawan, Ini Kata Halodoc