TUBUH gabungan koperasi batik itu, GKBI, semakin miring. Bahkan, menurut salah seorang manajernya, "krisis manajemen sudah mencapai puncaknya". Kewajiban segera koperasi itu, tahun ini, memang berat: Rp 18 milyar. Dan itu hendak ditutupnya dengan menjual kekayaan yang tak produktif. Minggu lalu, mes GKBI di Jalan Senopati, Jakarta, sudah diambil alih pemiliknya yang baru, yang membayar Rp 800 juta. Toko-toko batik di Semarang dan Surabaya sudah lebih dulu dilepas kepada bank. Sedangkan perumahan karyawan di Setiabudi, Jakarta, sudah ditawarkan dengan harga Rp 6 milyar. Bahkan kantor pusatnya di Semanggi, gedung bertingkat yang diresmikan Bung Hatta pada 1959, sudah pula dicarikan pembeli yang berani menawar Rp 71/2 milyar--Rp 8 milyar. Usaha koperasi itu memang lagi payah. Pabrik pakaian jadinya di Bogor mandek total, pabrik pemintalannya di Plumbon (Cirebon) hanya mampu terima upahan, dan pabrik morinya di Medari (Yogya) senen-keinis - beberapa hari lalu bahkan sempat berhenti produksi karena tak mampu menebus bahan baku. Yang masih berjalan yang tidak dikelola koperasi sendiri: Primatexco di Pekalongan (patungan dengan Jepang) dan Primissima di Yogya (patungan dengan pemerintah).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini