Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Manajemen Indofarma mencari jalan untuk selamat dari krisis keuangan.
Kapasitas produksi pabrik Indofarma menyusut.
Indofarma menggarap pekerjaan berbasis proyek dari pemerintah.
HIDUP segan mati enggan, PT Indofarma Tbk kini menantikan juru selamat. Setelah diterpa masalah keuangan, dari bisnis yang merugi hingga dugaan penyimpangan, Indofarma kini dikejar-kejar penyelesaian banyak kewajiban. Kepada Tempo, Selasa, 28 Mei 2024, Direktur Utama Indofarma Yeliandriani mengatakan sedang menghadapi gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU yang diajukan para kreditor. “Saat ini kami berfokus menyelesaikan masalah PKPU,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan keuangan kuartal III 2023, hingga September 2023, Indofarma memiliki utang usaha Rp 488 miliar. Utang itu terdiri atas kewajiban kepada rekanan pemasok farmasi, perusahaan alat kesehatan, dan pihak berelasi lain. Indofarma juga memiliki pinjaman perbankan jangka pendek dalam bentuk kredit modal kerja Rp 153,61 miliar. Secara keseluruhan, jumlah kewajiban perusahaan mencapai Rp 1,6 triliun, naik 10,27 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu gugatan PKPU yang dihadapi Indofarma berasal dari perusahaan penyedia jasa tenaga alih daya atau outsourcing PT Foresight Global. Gugatan ini muncul pada 29 Februari 2024. Sebulan kemudian, permohonan PKPU perusahaan itu dikabulkan hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Putusan itu menetapkan PKPU sementara untuk Indofarma. Sepanjang masa PKPU, Indofarma mengupayakan restrukturisasi utang kepada para kreditornya.
Karyawan bagian labotarium melakukan penelitian di Pabrik obat PT Indofarma (persero) Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. [Dok. Tempo/STR/Dasril Roszandi]
Dari sisi bisnis, kerugian usaha Indofarma terus bertambah. Pada kuartal III 2023, perusahaan ini merugi Rp 191,7 miliar, naik dari kerugian kuartal II 2023 yang mencapai Rp 183 miliar. Kerugian pada aktivitas operasi membengkak hingga Rp 188,6 miliar, sementara penjualan bersih anjlok 50,74 persen menjadi Rp 445,70 miliar. Ekuitas Indofarma minus Rp 105,36 miliar.
Meski Indofarma dalam kondisi keuangan yang pincang dan tak stabil, Yeliandriani mengatakan perusahaannya tetap berupaya menjalankan kegiatan bisnis sebagaimana biasanya. Di tengah keterbatasan modal usaha, Indofarma masih mengerjakan permintaan produksi obat-obatan dan pengadaan produk farmasi lain yang berasal dari pemerintah.
Ketua Umum Serikat Pekerja Indofarma Meida Wati mengatakan aktivitas usaha yang masih berjalan adalah pekerjaan berbasis proyek dari Kementerian Kesehatan. “Untuk pekerjaan reguler sudah tidak sanggup karena tidak ada modal,” ucapnya. Proyek reguler yang ia maksud adalah bisnis alat kesehatan dan obat herbal, yang menjadi bisnis inti Indofarma setelah bergabung dalam holding badan usaha milik negara sektor farmasi. Walhasil, kapasitas produksi pabrik utama Indofarma di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, menurun hingga tersisa 30 persen. Indofarma juga memangkas rencana kerja dan anggaran perusahaan pada tahun ini dari Rp 500 miliar menjadi Rp 250 miliar.
Staf khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara, Arya Sinulingga, mengatakan pemerintah belum bisa menyampaikan skema penyehatan Indofarma. “Kita tunggu hasil PKPU dulu,” ujarnya. Namun Arya memastikan Indofarma tetap diupayakan menjalankan bisnis dan membentuk sinergi pembiayaan serta bekerja sama dengan PT Bio Farma (Persero), yang merupakan induk holding BUMN farmasi.
Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengimbuhkan, fokus lain saat ini adalah pengusutan dan penyelesaian kasus dugaan fraud di tubuh Indofarma. Langkah selanjutnya adalah penyelesaian pembayaran kewajiban terhadap hak-hak karyawan, yaitu gaji yang selama ini pencairannya tersendat. “Kami akan melakukan restrukturisasi dengan dukungan Bio Farma,” katanya. Tempo meminta konfirmasi tentang upaya penyehatan Indofarma ini kepada Direktur Utama Bio Farma Shadiq Akasya. Namun, hingga laporan ini ditulis, pertanyaan itu tak dijawab.
Peluang Indofarma bangkit dan memulihkan kinerja masih terbuka. Dukungan penuh datang dari Dewan Perwakilan Rakyat, yang meminta skema penyelamatan Indofarma segera dirumuskan. DPR berpendapat, Indofarma merupakan aset negara yang penting sebagai produsen obat dan alat kesehatan. Anggota Komisi VI DPR yang membidangi BUMN, Amin Ak, mengatakan peran Bio Farma selaku induk usaha Indofarma sangat krusial untuk memimpin transformasi di tubuh anak usahanya. “Bio Farma dapat membentuk satuan tugas restrukturisasi dan transformasi Indofarma, yang bisa melibatkan para pakar," tuturnya.
Namun, Amin menambahkan, penyelesaian masalah keuangan Indofarma jangan sampai membebani keuangan negara. Artinya, skema penyertaan modal negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hanya menjadi jalan terakhir.
Di sisi lain, DPR mendorong Indofarma membentuk kerja sama operasi untuk memperluas jangkauan produk dan meningkatkan pendapatan. “Indofarma di bawah manajemen yang sudah ‘dibersihkan’ bisa melakukan kerja sama operasi yang bersifat jangka pendek, perputaran modal cepat dengan rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta untuk penyediaan alat kesehatan dan obat-obatan,” ujar Amin.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, mengatakan Indofarma masih memiliki potensi bisnis yang menjanjikan dengan ditopang prospek positif industri farmasi dan kesehatan secara keseluruhan. “Sektor kesehatan sangat strategis karena dari sisi permintaan masih bisa terus tumbuh sehingga peluang pulih jauh lebih besar dibanding sektor lain,” ucapnya. Industrialisasi di bidang kesehatan pun menjadi agenda besar yang menjanjikan sebagai momentum titik balik performa perseroan.
Untuk sementara, Abra mengungkapkan, Indofarma dapat menjalankan bisnis dengan dukungan modal usaha dari Bio Farma selaku induk holding. Bio Farma juga bisa mencarikan akses pembiayaan dan pendanaan untuk diteruskan kepada Indofarma dan menjalankan usahanya. “Bio Farma sebagai entitas penjamin dan tentunya harus disertai pengawasan penggunaan yang lebih ketat dan pruden serta diikuti kemampuan meningkatkan penjualan oleh Indofarma,” katanya.
Peneliti BUMN dari Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Toto Pranoto, mengatakan Indofarma perlu melakukan perbaikan dan restrukturisasi mendasar, khususnya dari sisi bisnis, serta optimalisasi fasilitas produksi. Perusahaan harus memperkuat kembali posisinya sebagai produsen obat generik dan alat kesehatan. “Permintaan dari pasar dan pemerintah tersedia, semestinya korporasi ini bisa bertumbuh,” tuturnya. Selain dalam pengelolaan bisnis, manajemen diharapkan lebih serius dalam pengelolaan risiko.
Dia mengimbuhkan, langkah strategis yang dapat dipertimbangkan untuk menyelamatkan Indofarma adalah mengundang investor atau pemodal baru. “Alternatif atau opsi penyelamatan bisa dengan menarik investor strategis masuk kalau holding tidak mampu memberi dana segar,” ucap Toto.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Caesar Akbar berkontribusi dalam artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Juru Selamat Juragan Obat"