Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia membutuhkan sekitar 1 juta ton aluminium per tahun.
Inalum sedang membangun Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.
Aluminium merupakan bahan baku yang potensial dalam mengurangi dampak negatif lingkungan.
PENGGUNAAN aluminium untuk berbagai jenis industri membuat permintaan terhadap logam tersebut tetap tinggi. Saat ini, Indonesia membutuhkan sekitar 1 juta ton aluminium per tahun. Sedangkan fasilitas pengolahan atau smelter bauksit di dalam negeri hanya mampu menghasilkan 250 ribu ton aluminium per tahun. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan industri, Indonesia masih bergantung pada alumunium impor.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Julian Ambassadur Shiddiq, mengatakan produksi aluminium domestik rendah karena jumlah smelter bauksit stagnan. “Saat ini yang berproduksi hanya smelter milik PT Indonesia Asahan Aluminium alias Inalum,” katanya, kemarin, 3 April 2024.
Badan Pusat Statistik mencatat, dalam lima tahun belakangan, Indonesia mengimpor aluminium sekitar 700 ribu ton per tahun. Sebelum dilarang per Juni 2023, volume ekspor bijih bauksit cenderung naik. Volume ekspor bauksit pada 2021 mencapai 19,914 juta ton, naik signifikan dibanding 2018 yang hanya 8,652 juta ton.
Pada 2022, volume ekspor bauksit turun menjadi 17,845 juta ton atau sekitar 64 persen total produksi bauksit nasional yang sebanyak 27,7 juta ton. Kementerian Energi mencatat, per Desember 2022, jumlah cadangan bauksit Indonesia sekitar 1,2 miliar ton atau setara dengan 4 persen dari total cadangan bauksit dunia yang sebanyak 30,3 miliar ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghiliran Jalan di Tempat
Tingginya volume ekspor bijih bauksit menunjukkan bahwa penghiliran komoditas tersebut belum optimal. Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menuturkan pelaku usaha lebih memilih melakukan ekspor bahan mentah seperti bauksit meski nilainya lebih rendah dibanding produk olahan. Hal ini disebabkan oleh proses pengolahan yang memakan waktu dan membutuhkan investasi yang besar. “Untuk menggenjot produksi aluminium dalam negeri, pemerintah harus ketat memberlakukan larangan ekspor,” ujarnya kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah telah memberlakukan aturan penghiliran dan melarang ekspor bahan mentah, termasuk bauksit. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 17 Tahun 2020 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Aturan itu melarang ekspor bauksit setelah 10 Juni 2023.
Fahmy menyebutkan penghiliran bauksit sangat diperlukan untuk memberi nilai tambah. Ia juga mengatakan proyeksi kebutuhan aluminium masih cukup besar. Selain sebagai bahan baku berbagai industri, aluminium merupakan komponen berbagai alat pendukung transisi energi.
Dokumen kinerja ekspor dan impor Kementerian Perdagangan tahun 2022 menyatakan nilai pasar aluminium dunia diproyeksikan mencapai US$ 242,44 miliar pada 2027 atau tumbuh 5,7 persen tiap tahun. Pertumbuhan pasar aluminium didorong oleh kenaikan permintaan dari sektor luar angkasa, elektronik, kemasan, dan otomotif seperti kendaraan listrik. Berbagai faktor itu menjadikan aluminium sebagai komoditas yang prospektif bagi ekspor Indonesia.
Aluminium juga merupakan bahan baku yang potensial dalam mengurangi dampak negatif lingkungan. Sifatnya yang dapat didaur ulang serta digunakan kembali menjadikan aluminium sebagai elemen kunci dalam transisi menuju ekonomi hijau. Menurut World Economic Forum pada 2020, aluminium yang telah diproduksi masih bisa digunakan sampai saat ini. Limbah atau sisa aluminium dapat pula diproses ulang menjadi produk baru dengan konsumsi energi yang lebih rendah.
Memacu Pembangunan Smelter
Suasana proyek pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Phase 1 di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, 20 Maret 2024. ANTARA/Jessica Wuysang
Untuk meningkatkan produksi aluminium dalam negeri, pemerintah terus mendorong pembangunan smelter. Julian Ambassadur menyatakan, dalam waktu dekat, smelter alumina baru milik PT Borneo Alumina Indonesia di Kalimantan Barat akan beroperasi. Alumina atau aluminium oksida adalah hasil ekstraksi bauksit yang siap diolah menjadi aluminium.
Pemerintah, kata dia, akan memacu penyelesaian pembangunan smelter alumina yang lain. “Rencananya, PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum menambah kapasitas untuk memproduksi aluminium dari alumina,” ujarnya.
Upaya meningkatkan kapasitas produksi alumina serta aluminium Inalum saat ini sedang berjalan. Salah satunya dengan pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat. Dikutip dari Antara, hingga Februari 2024, kemajuan pembangunan SGAR Mempawah sudah mencapai 80 persen. Sejak Desember 2023, proyek smelter masuk Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sekretaris Perusahaan Inalum Mahyaruddin Ende mengungkapkan bahwa smelter tersebut ditargetkan beroperasi di antara semester kedua 2024 hingga 2025. Menurut dia, SGAR Mempawah mendukung terciptanya integrasi industri aluminium dari hulu ke hilir.
Smelter itu dilengkapi penghubung rantai pasokan antara bijih bauksit dari PT Aneka Tambang Tbk dan pabrik peleburan aluminium milik Inalum. "Jika sudah beroperasi, pabrik pengolahan itu bisa memproduksi sekitar 1 juta ton alumina per tahun dengan bahan baku 3,3 juta ton bauksit," kata Mahyaruddin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo