Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan beredar video mengenai redenominasi rupiah. Dalam video yang beredar di grup WhatsApp itu terlihat penampakan uang baru tersebut. Kebaruan itu terlihat pada hilangnya tiga angka di belakang nominal. Misalnya uang Rp 1.000 hanya tertulis Rp 1 saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono menegaskan informasi yang beredar tersebut tidak benar. Menurut Erwin, BI memandang implementasi redenominasi rupiah sebagai kebijakan skala nasional. Karena itu, Bank Indonesia perlu bersinergi dengan pemerintah agar penerapannya dilakukan secara cermat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Mengenai Bank Indonesia secara resmi menerbitkan uang baru dengan meredenominasi, di mana untuk uang Rp 1000 hanya dicetak dengan angka 1 saja adalah tidak benar,” kata Erwin saat dihubungi Tempo pada Rabu, 5 Juli 2023.
Lantas apa itu redenominasi dan bedanya dengan sanering?
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya di pasaran. Melansir laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara atau DJKN Kementerian Keuangan disingkat Kemenkeu, tujuan redenominasi ini untuk mengurangi jumlah digit pada pecahan tanpa mengurangi harga, nilai, atau daya beli terhadap barang maupun jasa.
Rencana redenominasi rupiah oleh pemerintah sebenarnya pernah berembus pada 10 tahun silam. Pemerintah dilaporkan telah merancang aturan pemberlakuan kebijakan penyederhanaan jumlah digit pecahan rupiah pada 2013 lalu. Kala itu pemerintah dikabarkan sudah mengajukan Rancangan Undang-undang Redenominasi ke Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
RUU ini diharapkan sudah ditetapkan menjadi UU pada 2014. Namun rencana itu gagal. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda mengungkapkan alasan kegagalan pelaksanaan rencana redenominasi. Menurutnya, saat itu DPR enggan mengesahkan RUU Redenominasi tersebut. Pasalnya, kondisi politik dan ekonomi tidak mendukung.
“Alasan DPR pada saat itu berkaitan dengan stabilitas politik dan ekonomi yang tidak cukup mendukung pelaksanaan redenominasi,” kata Candra, dikutip dari feb.ub.ac.id.
Menurut catatan sejarah, Indonesia pernah melakukan kebijakan redenominasi. Tepatnya diberlakukan pada 13 Desember 1965. Kala itu pemerintah menerbitkan pecahan desain baru Rp 1 dengan nilai atau daya beli setara dengan Rp 1.000. Tidak hanya untuk pecahan Rp 1.000, tetapi juga untuk semua pecahan rupiah yang ada saat itu. Kebijakan ini dilaksanakan berdasarkan Penetapan Presiden nomor 27 tahun 1965.
Peneliti Ekonomi Unit Kajian Statistik dan Survei Bank Indonesia Solo Donny Ananta mengatakan kebijakan redenominasi bertujuan untuk mewujudkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Indonesia, termasuk Provinsi Papua Barat. Sayangnya dia mengaku tidak tahu alasan pasti kebijakan redenominasi, selain untuk persatuan bangsa. Juga berapa lama redenominasi diberlakukan dan tanggapan publik saat itu.
“Yang jelas kebijakan pada 1965 dilakukan secara tiba-tiba. Sedangkan rencana redenominasi kali ini didahului dengan konsultasi publik,” katanya Sabtu, 2 Maret 2013.
Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran Mahmud Ashari, seperti dikutip dari djkn.kemenkeu.go.id mengungkapkan, berbeda dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Redenominasi hanya menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dalam bertransaksi. “Jadi sanering itu bukan redenominasi,” ujarnya.
Logikanya, kata dia, dengan adanya sanering daya beli masyarakat menurun karena nilai uang yang dimiliki berkurang, sementara harga barang tetap normal. Contoh sanering yakni uang Rp 10.000, kemudian diturunkan nilainya menjadi Rp 10. Jika sebelumnya harga suatu barang Rp10.000 per bungkus, setelah dilakukan sanering harganya tetap sama. Tapi mesti merogoh kocek berlipat ganda untuk bisa membeli roti tersebut.
Hariyono dalam bukunya Penerapan Status Bahaya di Indonesia: Sejak Pemerintah Kolonial Belanda hingga Pemerintah Orde Baru, mengungkapkan pada penghujung 1950-an, tepatnya pada 25 Agustus 1959, pemerintah juga pernah melakukan kebijakan sanering. Pemerintah saat itu menurunkan nilai uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah.
Kebijakan sanering pada waktu itu, yang pemerintah sebut dengan istilah “penyehatan uang”, ditempuh untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan. Kebijakan itu dilakukan juga untuk mengurangi jumlah persediaan dan peredaran uang, dari 34 miliar rupiah menjadi 21 miliar rupiah.