Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Insentif PPN DTP untuk rumah tapak dan rumah susun kembali diperpanjang pada tahun ini.
Pemerintah berharap insentif ini bakal menggairahkan industri properti dan memunculkan efek ganda dalam perekonomian.
Belum ada perubahan kebijakan fundamental dalam sektor perumahan.
PEMERINTAH memperpanjang insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun yang ditanggung pemerintah (DTP). Dengan keluarnya kebijakan teranyar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ini, masyarakat masih bisa membeli rumah tapak maupun rumah susun tanpa perlu membayar PPN hingga 31 Desember 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian diskon PPN 100 persen diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 yang ditetapkan pada 4 Februari 2025. Sebelumnya, pemerintah telah menggelontorkan insentif serupa pada 2023, kemudian diperpanjang hingga 2024.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan insentif PPN DTP sektor properti ini merupakan salah satu dari paket stimulus ekonomi dari Presiden Prabowo Subianto. “Sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, pemberian insentif PPN ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Ahad, 23 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun persyaratan insentif ini sama dengan ketentuan sebelumnya. Untuk pembelian rumah dengan serah-terima unit mulai 1 Januari 2025 sampai 30 Juni 2025, insentif PPN yang berlaku sebesar 100 persen dari bagian harga jual sampai Rp 2 miliar dengan harga jual paling banyak Rp 5 miliar. Sedangkan untuk pembelian rumah dengan serah-terima unit mulai 31 Juni 2025 sampai 31 Desember 2025, insentif PPN yang berlaku sebesar 50 persen.
Pemerintah berharap masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memiliki rumah sekaligus mendukung geliat ekonomi nasional di sektor properti dan di sektor-sektor pendukungnya. Sebab, transaksi di bidang properti diyakini punya multiplier effect besar terhadap sektor ekonomi lainnya.
Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menyatakan kebijakan ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki gaji kurang dari Rp 8 juta per bulan.
Maruarar menganjurkan masyarakat memanfaatkan perpanjangan insentif PPN DTP sektor properti ini. “Menurut saya, ini waktunya memiliki rumah, bangun rumah, karena sudah banyak yang gratis,” ucap Maruarar pada 9 Februari 2025.
Politikus Partai Gerindra itu pun optimistis kebijakan ini akan mendongkrak penjualan rumah, mengatasi backlog perumahan, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi selama setahun ke depan. Seperti diketahui, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman juga sedang menggencarkan realisasi program 3 juta rumah yang dijanjikan Presiden Prabowo Subianto sejak kampanye dalam pemilihan presiden 2024.
Perpanjangan pemberian insentif ini tak lepas dari hasil survei Bank Indonesia yang menunjukkan penjualan properti residensial pada triwulan IV 2024 melorot 15,09 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Penurunan penjualan pada periode ini bahkan lebih dalam ketimbang kontraksi pada triwulan sebelumnya yang sebesar 7,14 persen. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah insentif yang digelontorkan pemerintah mampu mendongkrak penjualan rumah hingga mengatasi persoalan backlog perumahan di Tanah Air.
Asosiasi Real Estate Indonesia (REI) adalah salah satu pihak yang tak yakin pemberian insentif ini bakal sukses mendongkrak penjualan properti. Wakil Ketua Umum REI Bambang Ekajaya menilai PPN DTP hanya akan dinikmati oleh para pengembang yang memiliki unit rumah yang siap dihuni (ready unit). "Pilihan properti menjadi relatif terbatas karena insentif ini hanya berlaku untuk unit yang sudah selesai dibangun, sehingga belum sepenuhnya menjangkau pasar yang lebih luas," katanya.
Ia menjelaskan, insentif PPN DTP sebetulnya disambut baik oleh pembeli properti karena dapat memangkas harga properti minimal 12 persen. Jika ditambah dengan pembebasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, Bambang berujar, harga pembelian properti bahkan bisa lebih ringan hingga 17 persen.
Namun, karena daya beli masyarakat kelas menengah yang masih melemah, pasar properti cenderung terkontraksi hingga akhir 2024. Bambang pun mengusulkan agar cakupan insentif PPN DTP ini diperluas sehingga juga bisa dirasakan oleh pembeli rumah inden.
Untuk pelaksanaannya, kata dia, perlu ada jaminan keamanan bagi pembeli, seperti batas waktu inden maksimal 12 bulan. Dengan jaminan berupa batas waktu, pengembang harus menyelesaikan pembangunan dalam waktu paling lama satu tahun sejak transaksi dilakukan. Bambang menilai langkah ini bisa mencegah risiko keterlambatan atau proyek mangkrak.
Pemilik Cipta Graha Grup itu juga menyarankan agar hanya pengembang yang memiliki proyek eksisting dan terdaftar di asosiasi yang diakui pemerintah yang dapat mengikuti skema ini. Langkah ini bertujuan untuk memastikan kredibilitas developer serta mencegah potensi penyalahgunaan insentif.
Ia menilai langkah ini krusial, terlebih backlog perumahan atau kesenjangan antara total hunian terbangun dan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat di Indonesia masih besar. Badan Pusat Statistik mencatat backlog perumahan pada 2010 tercatat 13,5 juta unit.
Sedangkan pada 2023, angkanya hanya turun tipis ke 12,7 juta unit. Artinya, dalam 13 tahun, backlog perumahan hanya susut 6 persen atau sekitar 800 ribu unit. Bahkan backlog perumahan periode 2023 naik 1,7 juta dibanding pada 2022 yang sebesar 11 juta unit.
Ekonom senior Bright Institute, Awalil Rizky, pun sangsi insentif PPN DTP dapat mendongkrak penjualan rumah secara signifikan. Ia menyebutkan perpanjangan insentif PPN untuk rumah tapak dan satuan rumah susun ini cukup memadai jika mengingat kesulitan fiskal yang tengah dihadapi pemerintah. “Hanya belum dapat diandalkan untuk mengatasi tantangan utama dalam sektor properti, seperti suku bunga tinggi dan daya beli masyarakat,” tuturnya ketika dihubungi kemarin.
Terutama, kata Awalil, jika menyoroti penurunan daya beli menjadi penyebab utama penurunan penjualan properti residensial pada triwulan IV 2024, seperti yang disajikan oleh Survei Bank Indonesia. Apalagi kontraksi telah terjadi sejak triwulan III atau satu semester.
Jika dicermati lebih lanjut, berdasarkan hasil survei harga properti residensial oleh Bank Indonesia, jenis properti yang mengalami kontraksi paling dalam pada triwulan IV 2024 adalah rumah tipe kecil. Rumah tipe ini terkontraksi hingga 23,7 persen. Meskipun secara total terkontraksi 15,09 persen, rumah tipe besar justru tumbuh 20,44 persen.
Atas hasil survei itu, Awalil memperkirakan rumah tipe kecil masih akan tertekan sepanjang 2024. Kondisi penjualan rumah tipe kecil bahkan memburuk sejak 2023, meskipun berbagai insentif telah diberikan. Bahkan beberapa insentif terkait dengan kredit perumahan sebagian besar ditujukan untuk tipe ini. Karena itu, ia berpendapat bahwa kebijakan insentif PPN saja tidak cukup menggairahkan penjualan properti.
Sementara itu, direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menekankan bahwa backlog sebesar 12,7 juta unit rumah, sebagian besar berasal dari kelas terbawah dengan daya beli yang sangat rendah. “Dengan skema pembiayaan kepemilikan rumah sesederhana dan seringan apa pun, kelompok bawah akan selalu sulit dan tidak mampu memiliki rumah."
Rumah Susun (Rusun) Muara Baru di Jakarta, 6 Februari 2025. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Untuk mengatasi backlog perumahan sebesar 12,7 juta unit pada 2045, dengan tambahan permintaan sekitar 750 ribu unit per tahun, kata dia, diperlukan pasokan rumah rakyat setidaknya 1,3 juta unit per tahun agar dapat mencapai zero backlog. Namun saat ini pasokan rumah rakyat masih berada di kisaran 250 ribu unit per tahun, yang jauh dari kebutuhan ideal.
Karena itu, ia menilai diperlukan perubahan fundamental dalam kebijakan pembangunan perumahan rakyat guna mempercepat penyediaan hunian yang terjangkau bagi masyarakat. Salah satunya adalah mendorong efisiensi perbankan dan menekan suku bunga kredit perumahan rakyat perbankan nasional yang masih sangat tinggi.
Suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia saat ini masih tergolong tinggi dibanding negara-negara lain di kawasan. Sebagai perbandingan, suku bunga KPR di Singapura berada di kisaran 3 persen, di Malaysia sekitar 5 persen, di Thailand sekitar 6 persen, sementara di Indonesia mencapai 10 persen.
Dengan tingkat suku bunga KPR yang tinggi dan umumnya bersifat floating (mengambang), peminjam tidak hanya dibebani biaya kredit yang mahal, tapi juga menghadapi risiko besar jika terjadi kenaikan suku bunga di masa depan.
Yusuf menegaskan, kredit rumah yang mahal dan berisiko tinggi ini yang menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan lesunya penjualan properti. Karena itu, pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan jadi kunci penting dalam mendorong perbankan secara bertahap menurunkan suku bunga KPR serta mengupayakan skema suku bunga makin bersifat flat (tetap) agar lebih terjangkau bagi masyarakat. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo