CUACA musim panas mulai turun di Beijing, ketika delegasi sejumlah 7 negara anggota Asian Development Bank (ADB) berdatangan ke kota ini, untuk menghadiri sidang tahunan ke-22 ADB. Sebagai tuan rumah, RRC tampak sangat ramah tamah. Presiden RRC Yang Shangkun mengadakan jamuan makan siang di balairung besar Tienanmen untuk para anggota delegasi ADB, pada hari pembukaan sidang, Kamis pekan ini. Satu setengah jam kemudian, di tempat yang sama, Sekjen PKC Zhao Ziyang mengadakan acara ramah tamah dengan mereka. Tidak kurang penting, RRC membuka pintu lebar-lebar untuk delegasi Taiwan, yang dipimpin Menteri Keuangan Kuo Shirley W.Y. Kedatangannya di Beijing tiga hari sebelum upacara pembukaan sidang -- telah mendapat sorotan khusus dari pers Cina di Beijing. Mengenakan setelan ungu muda, Kuo, yang juga gubernur ADB untuk Taiwan, menyatakan, "Secara prinsip kami akan menghadiri seluruh sidang ADB, dan tidak ada acara lain di luar ini." Gubernur ADB untuk RRC, Qiu Qing, telah mengadakan kunjungan kehormatan pada Kuo, yang datang ke Beijing bersama sekitar 70 wartawan Taiwan. Dapat dikatakan, misi Kuo merupakan tonggak baru dalam sejarah pertikaian RRC-Taiwan. Tatkala RRC tercatat sebagai anggota penuh ADB pada 1986, dan secara sah mewakili Cina, Taiwan harus puas menerima status di ADB dengan nama: Taipei China. Tapi apa kata Kuo' "Nama itu masih bisa diperdebatkan." Sementara itu, ada selentingan mengatakan, di balik kunjungan Kuo, Taiwan menawarkan bantuan US$ 10 milyar kepada RRC. Tentu tidak hanya kedatangan Kuo yang meramaikan sidang ADB di Beijing pekan ini. Ada beberapa isu lain, seperti rencana pengunduran diri Masao Fu Jioka dari jabatan presiden ADB, pemilihan presiden baru ADB, nama yang santer disebut-sebut adalah Kimumasa Tarumizu, lalu rencana ADB mendirikan lembaga perkreditan baru Asian Finance and Investment Corp., yang bertujuan melayani sektor swasta. Selain itu, ada isu lama, apakah RRC dan India sebaiknya juga menerima pinjaman lunak dari ADB kedua negara itu selama ini lebih banyak mengandalkan Bank Dunia. Di samping itu semua, ketidakhadiran Menteri Keuangan Amerika Nicholas Brady ataupun wakilnya dalam sidang ADB di Beijing ikut menimbulkan tanda tanya. Sebagai salah satu negara kreditor, AS tampak kurang menyambut baik gagasan ADB untuk mendirikan Asian Finance itu. Lembaga yang dimaksudkan untuk memacu sektor swasta ini -- menurut tabloid yang diedarkan ADB -- kurang berkenan di mata AS. Masalahnya terpaku pada komposisi saham Asian Finance, yang menurut ancer-ancer: 30% dipegang ADB, 40% Jepang, 20% negara berkembang anggota ADB? dan hanya 10% merupakan saham negara maju anggota ADB yang nonregional (di luar Asia). Mengenai rencana pendirian Asian Finance itu, Sofjan Djajawinata, Direktur Elksekutif ADB yang berasal dari Indonesia, menilainya sebagai gagasan yang baik. Kata Sofjan kepada TEMPO di Beijing, 40% saham Jepang itu kelak tidak akan mengurangi peran ADB di lembaga tersebut. Ia yakin, untuk masa depan negara-negara Asia, Asian Finance diharapkan akan banyak bisa membantu, melalui penyaluran dana yang lebih cepat dan cara kerja yang lebih lincah. Dananya akan disalurkan langsung ke sektor swasta," tambah Sofjan. Sejak didirikan pada 1966 -- di bawah prakarsa Takeshi Watanabe dari Jepang ADB, sesuai dengan nama dm misinya telah banyak mengulurkan dana bagi pengembangan sektor pertanian dan industri di banyak negara berkembang di Asia. Dewasa ini ADB cenderung mengarahkan penyaluran dananya ke sektor infastruktur perkotaan, yang diharapkan bisa memacu sektor swasta. Di samping itu juga menjelang ke bidang yang banyak kaitannya dengan peningkatan taraf hidup rakyat di negara-negara yang bersangkutan. Wakil Presiden ADB Stanley Katz permlh mengatakan, "Kami (ADB) sekarang lebih condong pada pendidikan, kesehatan, perumahan." Laporan tahunan ADB 1988 juga mencerminkan aktivitas yang terus menanjak. Tahun lalu, utang-utang baru yang sudah disetujui mencapai US$ 3,5 milyar -- 29% lebih tinggi dari pinjaman 1987. Adapun pinjaman terbesar pada 1988 jatuh pada Pakistan (US$ 660 juta), menyusul Indonesia (580 juta), Filipina (382 juta), dan RRC (283 juta). Kendati pada 1988 Indonesia berada pada peringkat kedua terbesar sebagai peminjam, secara keseluruhan negeri ini adalah pemborong pinjaman ADB yang terbesar. Dalam catatan DB (sampai 1986), utang Indonesia pada ADB mencapai US$ 3.8 milyar. Pakistan berada pada peringkat kedua (US$ 3,2 milyar) lalu menyusul Filipina (2,4 milyar). Korea Selatan (2,1 milyar), Bangladesh (US$ 2 milyar), Muangthai (1,7 milyar), dan Malaysia (1,3 milyar).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini