PARA bankir kini boleh menghltung untung ruginya menanamkan kelebihan rupiah mereka dalam Sertiikat Bank Indonesia (SBI). Pada 27 Januari lalu, direksi Bank Indonesia sudah mengumumkan tingkat diskonto SBI, yang berjangka 30 hari dan 90 hari, masing-masing 14% dan 15% setahun. Tapi, hingga menjelang penutupan I Februari, permintaan membeli SBI yang dijual dalam pecahan nominal Rp 50 juta, Rp 250 juta, dan Rp I milyar, masih sepi-sepi saja. Kata seorang bankir swasta di Jakarta, tingkat diskonto itu dianggapnya kurang menarik jika dibandingkan, misalnya, dengan cara menanamkan uang lewat dana antarbank, atau deposito berjangka pendek. Bunga untuk dana antarbank yang menginap semalam (overnight) kini 17%, sedang deposito berjangka 90 hari rata-rata 16% setahun. "Saya pikir, SBI akan merupakan investasi pilihan paling akhir," katanya berkelakar. Sebagai "sumber peminjaman paling akhir", dalam kaitan itu, Bank Sentral juga menyediakan fasilitas diskonto untuk bank-bank yang mengalami kesulitan dalam pengaturan dananya, dengan jangka peminjaman dua sampai empat minggu. Jadi, kalau SBI berfungsi sebagai alat penghimpun, fasilitas diskonto merupakan pintu keluar untuk memasarkan dananya. Supaya tidak tekor, bunga fasilitas diskonto, tentu saja, harus lebih besar dibandingkan dengan diskonto SBI. Menurut gubernur BI, Arifin Siregar, penerbitan SBI dan penyediaan fasilitas diskonto itu dilakukan untuk melengkapi beleid moneter I Juni 1983. Maklum, banyak bank pemerintah belakangan diketahui kebanjiran rupiah sejak mereka dibebaskan menaikkan bunga deposito mulai Juni itu. Bank Pembangunan Daerah, bank swasta dan asing, yang terpaksa ikut menaikkan deposito, juga kebanjiran rupiah. Akibatnya, terjadi perpindahan dana besar-besaran dari dana rekening koran, deposito berjangka panjang (24 bulan), dan tabungan, ke deposito berjangka pendek. (lihat grafik). Tapi memingkatnya penghimpunan dana itu tidak diimbangi dengan pesatnya pemasaran dana itu sendiri. Dunia usaha yang masih lesu, ternyata, belum mampu menyerap bunga kredit modal kerja dari pelbagai bank pemerintah, yang semula 13% naik jadi 18% setahun. Akibatnya, menurut dugaan, banyak dana rupiah dibank pemerintah, terutama, yang menganggur. Tanda-tanda mengenai hal itu bisa dilihat dari anjloknya bunga pinjaman antarbank, akibat membanjirnya rupiah ke pasar uang jangka pendek itu. Guna mengerem lubernya rupiah itu, BI mencoba menariknya dengan menaikkan bunga rekemng koran pelbagai bank yang ada padanya, mulai 16 September 1983, dari 10% jadi 13% setahun. Belakangan, pengendalian seperti itu dianggap tidak afdol. Bahkan. sesudah fasilitas diskonto dan SBI dibuka, bunga rekening koran tadi malah diturunkan jadi 7%. Membarengi paket moneter tadi, BI juga menghapuskan bunga untuk valuta asing yang ditempatkan di rekening Bank Sentral ltu. Dengan rentetan timdakan itu, otoritas moneter tadi jelas berharap, pelbagai bank akan menarik rupiah dan valuta asingnya dari BI, serta mudah-mudahan saja mereka bakal mau membeli SBI tadi. Pada hakikatnya, memang penerbitan SBI ini ditujukan untuk konsumsi bank dan lembaga keuangan nonbank. Tapi masyarakat pun bisa memperjualbelikan surat pengakuan utang atas unjuk, yang belum latuh tempo itu, melalui dealer. Pada mulanya, para dealer ini, seperti Bank Duta Ekonomi (BDE), membeli SBI dengan tingkat diskonto yang ditetapkan BI. Jadi, jika bank ini suatu saat membeli SBI pecahan Rp 50 juta berjangka 30 hari, dia hanya dikenai kewajiban membayar sekitar Rp 49,4 juta saja (diskonto 14% setahun). Sebelum jatuh tempo, SBI ini bisa diperjualbelikan di pasar bebas (seconday market). Tapi, kalau sudah jatuh tempo, sertifikat ini tetap diuangkan dengan nilai Rp 50 juta. Dengan kata lain, pemegang sertifikat ini hanya akan memperoleh keuntungan dari kenaikan nilainya (capital gain). Selain dengan diskonto ditetapkan BI, SBI itu juga dijual dengan diskonto lelangan. Dengan penjualan cara ini, "Bank Indonesia pasti akan memprioritaskan bank atau penawar yang mengajukan diskonto terendah," ujar Abdulgani, direktur utama BDE. Dia sendiri menganggap bahwa upaya Bank Sentral menerbitkan sertifikat itu cukup menggairahkan. "Jadi bankir sekarang semakin mengasyikkan - kami harus banyak berhitung agar bisa mendapatkan untung," ujarnya, pekan lalu. Bagaimana pendapat bankir lain? Munculnya SBI itu, menurut dugaan Fuady Mourad, direktur Panin Bank ditujukan pula untuk memancing keluarnya rupiah dari tangan masyarakat. Maklum, katanya, jumlah rupiah yang mengendap di masyarakat, baik dalam bentuk emas maupun mata uang asing, masih cukup besar. Jadi, dalam jangka pendek, SBI bisa dianggap bakal jadi saingan deposito. Bertolak dari anggapan itu, Panin menaikkan bunga deposito 12 bulan, misalnya, dari 18,5% jadi 19%. "Kami berusaha menempatkan diri di posisi yang kompetitif supaya deposan kami tidak lari," kata Fuady. Tapi kenaikan bunga deposito itu tentu akan menyebabkan bunga kredit bakal semakin tinggi harganya. Tapi bisa juga, jika investasi kelebihan dana pelbagai bank di SBI cukup baik, bunga kredit turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini