MASKOT harian Pikiran Rakyat, "Mang Ohle", masih tetap menampilkan wajah orang desa: lugu. Tapi sindirannya, yang muncul lewat koran terbitan Bandung itu, sering menggelitik dan disukai pembaca. Minggu, 24 Maret lalu, "Mang Ohle" genap berusia 25 tahun. Terbit 160.000 eksemplar per hari, pada waktu Perang Teluk sempat mencapai angka 200.000, PR memang tanpa saingan di Jawa Barat. Bahkan PR tak goyah oleh serbuan koran-koran terbitan Jakarta, yang menyerbu Jawa Barat sekitar pukul 04.00 pagi. Itu tak lain karena PR punya pasar sendiri: pembaca berita daerah Jawa Barat. Sekitar 60% berita PR memang informasi tentang Jawa Barat. Resep lain? "Kami berusaha masuk pasar jangan sampai tertinggal oleh koran Jakarta," kata Pemimpin Redaksi Atang Ruswita. Ia mengandalkan 30 mobil kijang untuk mengedarkan PR ke seantero Jawa Barat. Kini PR bahkan sudah pula menyerbu desa-desa di sekitar Solo. "Pelanggannya sekitar 2.000 orang," kata Atang. Didukung 800 karyawan, 125 orang di antaranya wartawan, PR bahkan sudah pula melebarkan sayap dengan menerbitkan tiga mingguan -- Mitra Desa, Sunda Galura, Suara Rakyat Semesta (Palembang) -- dua harian -- PR Edisi Cirebon dan tabloid Bandung Pos -- serta sebuah pemancar Radio Parahyangan. Belakangan PR sudah melirik pula ke bidang real estate. Lahan untuk real estate itu, kata Atang tanpa menyebutkan luasnya, sudah tersedia di Cibiru, Bandung. Terbit pertama kali dengan nama Harian Angkatan Bersenjata edisi Pikiran Rakyat, setahun kemudian PR sudah berdiri sendiri. "Kami memulai dengan serba tak ada. Kantor dan sarana tak punya, modal tak ada. Yang kami punyai adalah idealisme," kata Atang. Dengan modal pinjaman tanpa bunga sebesar Rp 5.000.000 selama tiga bulan dari Pangdam Siliwangi (waktu itu) Mayor Jenderal Ibrahim Adjie dan idealisme itulah Atang bersama 29 pendiri PR berjuang dari ruangan seluas 50 m2 di Jalan Asia Afrika 133. Terbit rata-rata l5.000 eksemplar per hari, selama tiga bulan pertama karena ada kewajiban mengembalikan pinjaman dari Ibrahim Adjie, pengasuh PR bahkan tidak dapat gaji sama sekali. "Selama tiga bulan pertama kami makan dari hasil penjualan koran sisa dan kertas sisa," ujar Atang mengenang. Lunas pinjaman tak berarti PR tak megap-megap. PR baru bangkit setelah dapat dua kali suntikan kredit dari BRI: pinjaman tahun 1968 dipakai untuk membeli kantor (sekarang: kantor pusat) di Jalan Asia Afrika 77, dan kredit tahun 1973 dipakai untuk membeli mesin cetak offset. "Sejak itu kami mulai berkembang. Kami bisa melakukan penetrasi ke seluruh Jawa Barat," kata Atang. Ketika oplah mulai bergerak di atas 30.000 eksemplar, PR bercita-cita jadi koran nasional. Porsi berita daerah Jawa Barat mulai dikurangi. Ternyata, keputusan itu tak mengatrol oplah. Pada 1983, PR melakukan survei ulang. Hasilnya: kebijaksanaan menciutkan porsi berita daerah Jawa Barat dinilai tak tepat. "Sejak itu, kami mulai memperkuat kembali warna Jawa Barat," kata Atang. Keputusan kembali ke khitah itu, selain mengatrol oplah, juga meningkatkan iklan, yang kini menghasilkan 67% total penghasilan PR. Tahun 1985, PR mengadakan survei lagi. Dari sini diketahui daerah sekitar Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi, bukan lahan basah bagi PR. Maka, PR tak begitu agresif menyerbu kawasan seputar Ibu Kota. Sasaran kini justru mereka alihkan ke Jawa Tengah dengan memberikan porsi khusus bagi berita-berita di daerah tersebut. Menurut survei PR, 1985, diketahui bahwa orang berlangganan koran karena ingin mengikuti perkembangan di daerah sendiri. Kini semua kegiatan redaksi dan percetakan PR digerakkan dari Jalan Soekarno-Hatta. Dengan tenaga-tenaga muda di redaksi, sebagian besar sarjana dari berbagai disiplin ilmu, dan peralatan cetak baru, PR siap menghadapi persaingan yang makin ketat. Bahkan cetak jarak jauh, menurut Atang, bukan ancaman bagi PR. Tak mungkin koran Jakarta cetak jarak jauh di Bandung. "Justru yang jadi ancaman kami adalah makin panjangnya jalan tol," ujarnya. Makin panjang jalan tol, kata Atang, makin cepat koran Jakarta sampai di daerah pinggiran Jawa Barat, yang juga merupakan sasaran utama PR. Pada usia 25 tahun, menurut Atang, yang masih mengganjal di PR soal saham karyawan sebesar 20%. Sebagian karyawan PR, kabarnya, menghendaki saham atas nama sendiri. Jika saham itu atas nama bagaimana kelak dengan karyawan yang masuk setelah saham terbagi habis? Untuk mengatasi hal-hal yang tak diinginkan itu kelak, karyawan PR kini sedang merintis pendirian koperasi karyawan. Lewat koperasi itulah nanti porsi karyawan sebesar 20% saham diserahkan. "Kalau membagi keuntungan 20% tiap tahun untuk karyawan, sudah lama kami lakukan," kata Atang. Apa harapan pembaca tentang PR? "Saya harap PR meningkatkan kualitas di segala bidang," kata Rachmatullah Ading Affandi, budayawan Sunda. Sebuah tuntutan yang tak mudah, tentunya. Widi Yarmanto dan Ahmad Taufik (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini