GERAKAN PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM KASUS SUMATERA THAWALIB Penulis: Dr. Burhanuddin Daya Penerbit: PT Tiara Wacana Yogyakarta, 1990, 394 halaman KINI, barangkali tak banyak lagi orang yang tahu nama Sumatera Thawalib. Dan buku ini memang diakhiri dengan kisah terseok-seoknya nasib sekolah-sekolah agama, yang masih memakai nama Sumatera Thawalib. Dulu, di zaman kolonial, jangankan di Sumatera Barat, di daerah-daerah lain pun, terutama di Sumatera, nama tersebut memberi kesan sekolah yang bermutu dan pencetus gerakan politik kemerdekaan yang radikal. Kisahnya bermula dari "eksperimen" para ulama muda, yang telah dipengaruhi oleh pemikiran "modernisme Islam", untuk mengadakan pembaruan dalam orientasi pengajaran agama di sebuah surau (pesantren) lama di Kota Padangpanjang. Jadi, Sumatera Thawalib memang bagian dari arus "gerakan pembaruan pemikiran Islam", yang menekankan rasionalitas dalam kehidupan keagamaan. Sejak semula pula surau ini, yang semula hanya disebut sesuai dengan lokasinya, Surau Jembatan Besi, telah memupuk tradisi antitaklid, dengan penekanan pada etik "terbukanya pintu ijtihad". Dalam suasana ini, beberapa murid mulai membuat perkumpulan intern dengan tujuan sederhana saja, yaitu mengadakan koperasi kecil-kecilan untuk keperluan sehari-hari. Tetapi, di luar surau, organisasi kemasyarakatan, bahkan juga politik, makin menjamur dan aktif. Perkumpulan intern ini pun memperluas ruang lingkup perhatian. Setelah dua tiga kali perubahan, akhirnya menamakan diri Sumatera Thawalib. Nama ini dipakai pula sebagai nama surau. Suasana antitaklid ternyata memungkinkan munculnya berbagai inisiatif yang tak berasal dari sang guru, yang selama ini merupakan tokoh sentral surau. Ujian terberat terjadi ketika beberapa tokoh Sumatera Thawalib mulai tertarik pada perjuangan antikolonial. Di saat inilah modernisme Islam mulai pula mengalami proses ideologisasi -- agama dirumuskan sebagai landasan strategi perjuangan politik. Tak ubahnya dengan Haji Misbach dari Surakarta (sayangnya tak disebut dalam buku ini), Haji Datuk Batuah, seorang penghulu adat dan salah seorang guru di Sumatera Thawalib, tampil sebagai ideolog dari Islam-komunisme -- sebagai landasan perjuangan. Landasan inilah yang ditentang oleh para ulama kaum muda, terutama Syekh H.A. Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), yang menjadi guru-kepala. Tapi pengaruh H. Datuk Batuah telah tertanam kuat. Maka, peristiwa tanpa preseden dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, terjadilah guru utama mengundurkan diri dari surau (pesantren) yang dibinanya. Organisasi murid telah lebih kuat dari karisma guru. Kegairahan Islam-komunisme (yang disebut sebagai ilmu kominih -- ilmu komunis) tak lama. Bukan hanya para ulama muda terkemuka dan anasir-anasir nonkomunis Sumatera Thawalib yang makin berhasil meyakinkan masyarakat akan ketidaksesuaian komunis yang berlandaskan dialektika materialisme dengan Islam. Pemerintah kolonial pun memperlebar jaringannya. Ketika akhirnya pemberontakan komunis betul-betul terjadi, awal Januari 1927, di Silungkang, gerakan komunis telah kehilangan pemimpin dan pemikir. Bersamaan itu, ia juga kehilangan landasan Islam-komunisme. Tetapi kisah politik sesungguhnya dari Sumatera Thawalib baru mulai. Di saat Sumatera Thawalib masih terus dicurigai pemerintah kolonial, Muhammadiyah diperkenalkan oleh Syekh Karim Amrullah. Organisasi nonpolitik ini segera menjadi saluran bagi para bekas aktivis organisasi Sumatera Thawalib. Dan segera pula para pejabat pemerintah kolonial dengan mudah membedakan Muhammadiyah yang "baik" di Jawa dan yang antipemerintah di Sumatera Barat. Bisa pula dibayangkan bahwa hal ini tak bisa dibiarkan. Usaha "pembersihan" pun terjadi. Maka, Persatuan Sumatera Thawalib baru pun didirikan (1929). Dalam organisasi baru inilah aspirasi politik disalurkan. Jadi, tak mengherankan kalau tak lama kemudian Sumatera Thawalib pun resmi mentransformasikan diri sebagai partai politik radikal dan nonkooperator. Dengan landasan ideologi "Islam dan kebangsaan" (antara lain sebagai kritik terhadap perdebatan ideologis antara golongan "Islam" dan golongan "kebangsaan"), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) pun berdiri. Dalam waktu yang sangat singkat, partai ini berhasil mendirikan banyak cabang di seluruh Sumatera Barat dan Tapanuli Selatan, serta mengadakan "aliansi" dengan Partindo (Sukarno). Tetapi, tak lama, seperti juga dengan Sukarno dan Hatta, di tahun 1933 tokoh-tokoh utama Permi (Mukhtar Lutfi, Ilyas Yacub, H. Jalaluddin Thalib, dan lain-lain) ditangkap dan dibuang. Permi pun terkena segala hak-hak istimewa Gubernur Jenderal. Kemudian, dalam kesadaran sejarah Minangkabau, Permi ( satu-satunya partai radikal di Indonesia yang pernah dipimpin oleh seorang wanita, Ratna Sari) dikenang sebagai partai yang berhasil menyebarkan kegairahan pada cita-cita "Indonesia Merdeka" dan "Islam Mulia". Jika saja beberapa inkonsistensi dalam opini dan fakta bisa diselesaikan dan kesalahan cetak (yang cukup banyak) bisa dibereskan, tak pelak lagi buku ini akan lebih nyaman untuk dinikmati para pencinta sejarah politik dan pemikiran. Bagaimanapun juga, di saat buku-buku sejarah yang bermutu masih tetap langka, buku ini telah tampil dengan penuh percaya diri. Taufik Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini