Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jantung yang Tertinggal

Penjualan saham membuat pemerintah kesulitan menata obligasi rekap. Harus ada setoran Rp 4 triliun.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA selang sebulan, Perusahaan Pengelola Aset (PPA) berubah haluan dalam hal penjualan saham pemerintah di sejumlah bank swasta. Akhir Januari lalu, Direktur Utama PPA, Mohammad Syahrial, memastikan tak akan memaksakan penjualan saham bank tahun ini. Bekas Deputi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional ini menegaskan, kalau harga saham turun akibat konsolidasi perbankan dan kondisi pasar modal, saham pemerintah tidak akan dijual.

Harga saham perbankan di bursa hampir statis di levelnya, ketika pekan lalu Syahrial berubah pikiran. PPA akan menjual saham minoritasnya di empat bank tahun ini juga. Saham pemerintah di empat bank itu adalah 10,5 persen di Bank Danamon Indonesia, 5,53 persen di Bank Internasional Indonesia, 5,04 persen di Bank Central Asia, dan 5,24 persen di Bank Niaga. "Dari kajian kualitas dan kuantitas, kami harus menjual semua saham itu tahun ini," katanya.

Pelepasan saham tak bisa dihindari karena perusahaan yang mengelola aset bekas BPPN itu juga mesti memberikan setoran yang tidak kecil ke kas pemerintah, yakni Rp 4 triliun. "Kalau mau mencapai angka itu, harus dijual semua." Syahrial memperkirakan, setidaknya 70 persen target setoran PPA akan bisa diperoleh dari pelepasan saham pemerintah di empat bank itu.

Selain mengejar setoran, penjualan itu juga strategi pemerintah keluar dari bank setelah dengan terpaksa menjadi pemilik bank karena krisis ekonomi. Ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia pada pertengahan 1997, sejumlah bank swasta dan bank pelat merah kolaps. Pemerintah akhirnya datang sebagai penyelamat dengan menyuntikkan modal dalam bentuk obligasi rekap senilai Rp 650 triliun.

Di empat bank itu, pemerintah menginjeksikan obligasi rekap Rp 130,18 triliun (lihat tabel) dengan pengeluaran Rp 260 triliun dan beban bunga Rp 76,7 triliun. Hitungan PPA mengenai estimasi tingkat pengembalian bank rekap 2000-2004 menunjukkan, rata-rata pengembalian empat bank itu cuma sekitar 38 persen. Pengembalian terbesar dari Bank Internasional Indonesia dengan 63 persen, yang terkecil dari Bank Danamon, cuma 18 persen.

Ekonom yang kini menjadi anggota parlemen dari Partai Amanat Nasional, Dradjad H. Wibowo, mengatakan tingkat pengembalian itu masih mungkin naik karena pemerintah masih punya saham di empat bank itu. Penerimaan pemerintah antara lain dari dividen. Tapi, kalau seluruh saham itu dijual, duit pemerintah yang kembali paling banter hanya 36 persen. Artinya, dari Rp 260 triliun duit yang dikucurkan pemerintah ke empat bank itu, yang kembali cuma sekitar Rp 100 triliun.

Padahal, jika obligasi rekap dipertahankan, pemerintah masih akan terus membayar bunganya melalui APBN. Dengan begitu, bisa saja jumlah uang yang akhirnya kembali ke tangan pemerintah akan mengecil.

Analis Perbankan Fendi Susiyanto mengatakan, bank memang cenderung memegang obligasi rekap karena hasilnya cukup tinggi. Investasi BCA di Bank Indonesia dalam bentuk surat berharga sangat besar, sekitar Rp 30 triliun. Kontribusi bunga obligasi terhadap total pendapatan bank sangat besar, yaitu 27-35 persen. "Angka ini sangat dominan kalau dibandingkan dengan rata-rata rasio kredit perbankan yang hanya 60 persen," katanya.

Selain itu, kata Fendi, banyak bank memang sudah menjual obligasi rekapnya untuk ekspansi kredit. Data menunjukkan, sekitar 30 persen obligasi rekap sudah beredar di pasar, tidak lagi di tangan bank asal yang pertama mendapatkannya. Bagi Fendi, tak ada soal dengan penjualan obligasi rekap itu sepanjang hasilnya digunakan untuk ekspansi kredit. Sebaliknya, kalau penjualan obligasi dilakukan bukan untuk menambah pinjaman, pemerintah tak bisa mengontrol karena sudah tak punya saham lagi di bank itu.

Kesulitan lain adalah ketika pemerintah ingin menata kembali jatuh tempo (reprofiling) obligasi itu. Awal Januari, wakil rakyat di DPR meminta pemerintah melakukan penataan utang dalam negeri, termasuk obligasi rekap, sebagai sumber alternatif dana APBN untuk rehabilitasi Aceh. Cara ini dinilai lebih aman dibanding harus mengemis utang ke luar negeri.

Penataan pembayaran bunga obligasi rekap satu sampai dua tahun ke depan bisa meringankan beban bunga yang sekarang Rp 60-70 triliun. Pengurangan biaya bunga inilah yang bisa dipakai untuk keperluan lain, termasuk untuk Aceh. Bank Danamon pernah melakukan reprofiling ini. Obligasi rekap bank ini senilai Rp 7,8 triliun, yang harusnya jatuh tempo pada 2008-2009, digeser enam tahun menjadi 2014 dan 2015.

Penataan yang merupakan hasil kesepakatan dengan Departemen Keuangan itu tak berdampak bagi Bank Danamon, karena pendapatan bunga dan obligasinya tetap. Yang mencicipi hasilnya adalah negara, karena cicilan pembayaran bunganya lebih ringan. "Reprofiling akan sulit dilakukan jika pemerintah sudah tak punya kontrol," kata Fendi.

Syahrial tak bisa menjawab ketika ditanya soal nasib obligasi pemerintah, yang diakuinya selama ini menjadi "jantung" bagi bank rekap. "Terus terang, tentang obligasi rekap saya tidak bisa menjawab," katanya. Masalah ini, katanya, ditangani Departemen Keuangan. Namun ia meyakinkan bahwa penjualan saham tidak akan berdampak buruk pada pemerintah. Sebaliknya, penjualan itu akan mengurangi risiko pemerintah di bank.

Selama ini, pemerintah punya tiga tanggung jawab di bank rekap, yaitu membayar bunga obligasi, menjamin deposito, dan menjadi pemegang saham. Penjualan itu mengurangi beban pemerintah sebagai pemegang saham. Susahnya, dua beban yang lain tampaknya jauh lebih berat ketimbang yang pertama. Dua tugas ini, paling tidak, akan membuat pemerintah merogoh kantongnya, sementara sebagai pemegang saham pemerintah justru menerima dividen. Jikapun harus ada setoran modal, paling mungkin saham pemerintah akan terdilusi alias berkurang.

Leanika Tanjung, S.S. Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus