Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dijepit Atas-Bawah

Setelah dipukul hipermarket, pedagang pasar tradisional dihadang kaki lima. Ada pedagang pasar yang cemerlang.

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAFARI sepeda motor dari Jakarta ke sejumlah kota di Pulau Jawa itu lumayan menarik perhatian, sepanjang pekan lalu. Tujuannya mengumpulkan sejuta tanda tangan. Bukan untuk mendukung silaturahmi nasional atau gerakan pembaruan partai politik tertentu, melainkan untuk menolak kehadiran hipermarket, yang kian menjamur di kota besar, terutama Jakarta.

"Pasar tradisional semakin tersingkir oleh hipermarket," kata Ibih T.G. Hasan, ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI). Setiap tahun sekitar 400 kios ditinggalkan pedagang karena tak sanggup lagi membayar sewa. Menurut Ibih, sesungguhnya serbuan pasar modern tak hanya dilancarkan hipermarket, tapi juga supermarket dan mi-nimarket, yang di Jakarta saja jumlahnya ratusan.

Akan halnya hipermarket, di Jakarta paling tidak ada sembilan gerai Carrefour (Prancis). Dua gerai lagi sedang dibangun di Serpong dan Depok. Belum lagi hipermarket baru Giant (Malaysia dan Hero), yang sudah membangun gerainya di Jakarta, Serpong, dan Bekasi. Selain itu masih ada Alfa (Sampoerna).

Apalagi yang disebut minimarket. Hampir tak ada pojok yang tidak dijamah Indomaret (Salim) atau Alfamart (Sampoerna). Belakangan Grup Hero mulai meluaskan ekspansi melalui Starmart. Indomaret sampai medio 2004 sudah memiliki lebih dari 840 gerai yang dibangun hanya dalam tempo enam tahun. Alfamart sudah mendekati 700 gerai dalam lima tahun. Sedangkan Startmart, kendati berdiri lebih dulu (1991), sampai Oktober lalu baru punya 42 toko—lebih dari separuh di Jakarta dan sekitarnya.

Tak mengherankan bila jarak antara pasar modern ini dan pasar tradisional atau pasar lingkungan seperti bertetangga. Akibatnya, masyarakat lebih memilih berbelanja di pasar modern yang lebih aman dan nyaman. Situasi ini diakui Asisten Manajer Humas PD Pasar Jaya, Nurman Adi. "Carrefour M.T. Haryono, misalnya, dekat dengan Pasar Tebet Barat, dan Carrefour Cempaka Putih dekat dengan Pasar Cempaka Putih," katanya.

Hal ini dimungkinkan karena menurut Peraturan Daerah No. 2/2002 tentang Perpasaran Swasta di Provinsi DKI Jakarta, jarak antara pasar lingkungan dan pasar modern yang paling jauh hanya 2,5 kilometer. Dengan peraturan seperti itu, pedagang pasar bersaing di area yang tak sehat. "Sepertinya Pemda Jakarta tak mengerti cara mengatur pasar," kata Ibih.

APPSI mencatat, dari 151 pasar tradisional di Jakarta, delapan sudah tutup, antara lain Pasar Blora, Karet Pedurenan, Cilincing, dan Sawah Besar. Bila kondisi ini dibiarkan, akan lebih banyak pasar yang gulung tikar. Karena itu, pedagang pasar menuntut agar masalah perpasaran tak sekadar diatur peraturan daerah, tapi juga undang-undang.

Kepala Biro Perekonomian Pemda DKI Jakarta, Budirama Natakusumah, mengaku tahun ini juga pihaknya memang akan merevisi peraturan itu. Akan dibuat kajian komprehensif, termasuk soal jarak antara pasar tradisional dan pasar modern. "Pada prinsipnya kami ingin menjaga persaingan sehat," katanya. Sebab, dalam era globalisasi saat ini, pemerintah daerah tidak mungkin menolak investasi pasar modern. Namun pasar tradisional juga harus diperbaiki agar tak ditinggalkan konsumen.

Adapun PD Pasar Jaya, kata Nurman, tahun ini akan meremajakan 19 dari 147 pasar tradisional yang dikelolanya, seperti Pasar Pal Meriam, Matraman, Kawi-Kawi Sentiong, Genjing, dan Cibubur. Pasar ini harus dibuat lebih aman dan nyaman bagi pengunjung, meski tidak dilengkapi pendingin udara seperti halnya pasar modern. Sayangnya, kenyamanan pasar dirasakan masih terganggu oleh pedagang kaki lima yang tumpah ruah di luar areal pasar, contohnya di Pasar Senen.

Hasan, pedagang Pasar Enjo, Pisangan Lama, Jakarta, menuturkan kehadiran pedagang kaki lima sudah sangat mengganggu pedagang kios. Sejak tiga tahun lalu, makin berkurang pembeli yang datang ke kios sehingga pendapatan semakin tipis. "Dulu masih bisa mencapai omzet Rp 1,5 juta sehari," kata pedagang kelontong itu. "Kini hanya Rp 750 ribu-Rp 1 juta." Jumlah pedagang Pasar Enjo pun semakin susut. Saat ini 20 persen dari sekitar 1.000 kios tak lagi berpenghuni.

Pedagang kaki lima yang berjubel di luar Pasar Enjo, kata Hasan, jumlahnya diperkirakan sama dengan pedagang kios, sekitar 600. "Di depan pagar Pasar Enjo saja ada sekitar 200 pedagang kaki lima," ujarnya. Menurut Ibih, pedagang informal yang menggurita sejak krisis ekonomi pada pertengahan 1997 ini telah menyebabkan pedagang pasar tradisional bagai dihantam dari atas dan dari bawah. Setelah dipukul hipermarket, dihadang lagi kaki lima.

Pedagang kaki lima, kata Ibih, merasa mendapat angin karena dipungut retribusi oleh petugas kebersihan dan keamanan pasar. Petugas itu seperti tak peduli akan keresahan pedagang di kios. Padahal mereka seharusnya menertibkan kaki lima. Sebetulnya, kata Budirama, tidak ada aturannya petugas memungut retribusi dari kaki lima. "Kalau ada petugas yang menagih, itu berarti oknum," katanya.

Menurut Direktur Retail dan Pengembangan Bisnis AC Nielsen Indonesia, Yongki Susilo, sensus retail Indonesia oleh AC Nielsen memang menunjukkan jumlah toko atau kios pedagang tradisional menurun 8,1 persen. Pada 2001, jumlah kios yang disurvei di Indonesia—kecuali Aceh, Papua, dan Ambon—hampir mencapai 1,9 juta. Tapi pada 2003 tinggal sekitar 1,75 juta. Sebaliknya, pasar modern bertambah dari 3.865 unit pada 2001 menjadi 5.079 unit pada 2003, atau tumbuh 31,4 persen.

Tapi, apakah berkurangnya kios pedagang tradisional karena makin banyaknya pasar modern? "Perlu dikaji dulu," kata Yongki. Studi AC Nielsen mengenai tren belanja di Indonesia 2004 menunjukkan, frekuensi kedatangan konsumen ke pasar tradisional sebetulnya masih jauh lebih tinggi daripada ke pasar modern. Dari 1.019 responden di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya, mereka mengaku datang ke pasar tradisional hingga 25 kali, dan hanya 2 kali ke hipermarket, dalam sebulan.

Karena itu, kata Yongki, uang yang beredar di pasar tradisional masih jauh lebih besar. "Sekitar 70 berbanding 30." Namun jumlah uang yang dibelanjakan konsumen setiap kali datang jauh lebih banyak ke pasar modern. "Pelanggan bisa menghabiskan uang Rp 300 ribu sekali datang, tapi di pasar tradisional hanya puluhan ribu atau bahkan Rp 5.000 saja," katanya.

Studi yang sama mengungkapkan frekuensi kunjungan konsumen ke pasar modern naik dari 2003 ke 2004. Ke hipermarket, misalnya, naik dari sekali sebulan menjadi dua kali, dan kunjungan ke minimarket naik dari tiga kali sebulan menjadi lima kali. "Pengecer modern memang mempelajari perilaku konsumen," ujar Yongki. Tak mengherankan bila pelayanan pasar modern semakin baik, dari sekadar kenyamanan menjadi tempat hiburan, bahkan edukasi.

Karena itu, tidak begitu mengagetkan bila pertumbuhan penjualan di pasar modern dari 2003 ke 2004 mencapai 20 persen. Penjualan di pasar tradisional juga tumbuh, meski hanya 8 persen. "Lebih kecil memang, tapi tetap tumbuh di atas angka inflasi 2004 sekitar 6,4 persen," kata Yongki. Ini menunjukkan, ada pedagang pasar tradisional yang tumbuh cemerlang di antara pedagang yang menutup kios dan omzet yang menciut.

Lagi pula, menurut Yongki, masih dari studi yang sama, 89-98 persen responden mengaku masih mendatangi pasar becek, pasar tradisional, dan gerobak sayur, untuk membeli produk segar seperti sayur, daging, dan ikan, termasuk seafood. Padahal, uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan produk segar ini mencapai 50 persen dari anggaran belanja mereka. Sebanyak 68 responden juga masih membeli buah-buahan di pasar tradisional itu.

Survei ini paling tidak bisa menenteramkan para pedagang pasar. Bagaimanapun, masing-masing memiliki pasar sendiri-sendiri. Dan jikapun terjadi pertempuran yang keras, areanya tak akan melewati batas Jabotabek atau kota besar seperti Surabaya. Korbannya pun bukan cuma pedagang pasar, tapi juga supermarket seperti Golden Truly atau hipermarket seperti Goro. Tapi, dalam situasi ini, masih bisakah diharapkan persaingan yang sehat dan adil?

Taufik Kamil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus