Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI depan peturasan di dekat ruang sidang Komisi Keuangan dan Perbankan DPR di Senayan, rapat kecil itu berlangsung dalam nada rendah. Sebelumnya, Edward Cornelis William Neloe meminta rehat lima menit rapat dengar pendapat dengan komisi itu, Rabu pekan lalu. Direktur Utama Bank Mandiri ini agaknya perlu melakukan konsolidasi dengan anggota direksi lainnya untuk menjawab pertanyaan anggota parlemen, terutama dari Dradjad H. Wibowo.
Anggota Fraksi Partai Amanat Nasional itu menanyakan teguran keras Bank Indonesia melalui surat yang dikirim pada 1 Oktober 2004 kepada direksi Bank Mandiri, yang dinilai melanggar sejumlah peraturan perbankan. Surat itu ditandatangani Direktur Pengawasan Bank II Bank Indonesia, Ahdi Jumhari Luddin, perihal laporan hasil pemeriksaan Bank Mandiri per 30 September 2003.
Dalam surat itu diungkapkan empat masalah yang dipersoalkan bank sentral, yakni soal keuangan (CAMEL), aspek manajemen, kepatuhan (compliance), risiko, dan risk mitigation (pengurangan risiko). Bagi orang awam, surat itu terkesan sangat teknis dan santun. Tapi, bagi bankir berpengalaman, surat itu bisa sangat memalukan. "Seandainya disampaikan ke saya, dapat dikatakan itu merupakan mosi tidak percaya," kata Dradjad.
Dalam soal risiko, misalnya, BI menilai risiko kredit Bank Mandiri tergolong tinggi. Beberapa di antaranya menyangkut rasio kredit seret (nonperforming loan) kotor yang masih cukup besar. Lebih dari 50 persen kreditnya diberikan ke sektor korporasi, yang sebagian masih dalam status restrukturisasi—alias di luar kategori lancar.
Manajemen Bank Mandiri juga dianggap tidak konsisten karena tetap memberikan kredit kepada perusahaan yang dalam penilaian Bank Mandiri sendiri tidak direkomendasikan untuk dibiayai karena mengandung risiko tinggi, seperti perkayuan dan perhotelan. Padahal, ditulis dalam surat BI, sistem kontrol risiko (risk control system) Bank Mandiri dianggap masih lemah.
Bank Indonesia mencontohkan masih tingginya ekspansi kredit Mandiri pada 2003, meskipun bank itu belum memenuhi rasio secondary reserve sekurang-kurangnya 12 persen dari total aset. Kelemahan lain yang juga disorot adalah kualitas aset Bank Mandiri.
BI menganggap kebijakan restrukturisasi kredit Bank Mandiri belum dianalisis secara komprehensif. Ini bisa dilihat dari berulang-ulangnya restrukturisasi pada sejumlah perusahaan tertentu. Juga soal pemberian masa tenggang pembayaran (grace period) yang panjang terhadap kredit yang direstrukturisasi. Akibatnya, kualitas kredit restrukturisasi Bank Mandiri kurang mencerminkan tingkat risiko yang sebenarnya.
Penghapusbukuan yang dilakukan Mandiri sepanjang Januari-Desember 2003 juga lumayan besar, yakni Rp 2,16 triliun. Jumlah itu setara dengan 215 persen target rencana kerja tahun 2003. Ini mencerminkan tingkat risiko kredit yang tinggi. Contoh yang paling aktual adalah pemberian kredit korporasi kepada Great River International. Pencairan kredit senilai Rp 100 miliar dan US$ 9,8 juta (setara Rp 90 miliar dengan kurs Rp 9.200) mengandung keanehan.
Dalam nota yang dikeluarkan Divisi Korporasi Perbankan pada 15 Oktober 2004, disebut bahwa dewan komisaris bank menyetujui pencairan kredit itu. Belakangan, melalui surat pada 11 Februari 2005, dewan komisaris menyatakan kredit sejumlah itu tidak memerlukan keputusan dewan komisaris. Juga tidak pernah ada permintaan persetujuan kepada komisaris untuk mencairkan kredit kepada Great River. "Artinya, mereka mencatut nama komisaris," kata Dradjad.
Soal lain adalah penghapusbukuan kredit macet PT Radja Garuda Mas senilai US$ 294,2 juta, atau sekitar Rp 2,7 triliun, dari total utangnya Rp 5,55 triliun per 31 Desember 2004. Atas perintah Bank Indonesia, utang itu kemudian dicatat kembali (write back) dalam buku Bank Mandiri dengan kolektabilitas lima (macet). Tapi kredit itu kembali dihapus oleh Bank Mandiri. "Sebagian dimasukkan kembali ke off balance sheet," kata Dradjad.
Dalam kenyataannya, berbagai rekayasa tadi tak membuat kredit seret bank Mandiri lebih rendah daripada bank pemerintah lain. Dibandingkan dengan dua bank pelat merah lain, BNI dan BRI, utang tak lancar Bank Mandiri masih lebih tinggi. Per September 2004, utang tak lancar Bank Mandiri 7,49 persen, sementara BRI hanya 5,75 persen dan BNI 6,12 persen.
Di luar berbagai masalah tadi, banyak lagi temuan BI. Misalnya pengawasan yang lemah dalam pencegahan risiko, penghindaran risiko, dan pengurangan risiko, yang tecermin dalam pemberian kredit yang tidak sehat kepada sejumlah debitor, dan pembelian kredit dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang tergolong macet.
Tak mengherankan jika BI menulis, "Oleh karena itu kami mengharapkan organ-organ organisasi bank saudara yang memiliki fungsi kontrol seperti Board of Commissioner, Dewan Audit, Direktur Kepatuhan, Direktur Risk Management, dan SKAI, lebih optimal melakukan fungsinya menilai risiko bisnis bank yang makin kompleks."
Di luar pengawasan, Bank Mandiri juga dianggap tidak mematuhi aturan yang ditetapkan Bank Indonesia. Ada 242 debitor dengan 245 fasilitas yang kualitas kreditnya dilaporkan tidak sesuai dengan surat keputusan Direktur Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif. Dradjad menilai, pengawasan dan kepatuhan merupakan titik utama kelemahan manajemen Bank Mandiri.
Surat Bank Indonesia itu juga membuka fakta lain bahwa laporan keuangan dan penghitungan laba rugi, dalam istilah Dradjad, hanya hasil "kosmetika" akunting. Per September 2003, laba perusahaan ditopang keuntungan non-operasional yang berasal dari cadangan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP) Rp 2,1 triliun dan revaluasi aktiva tetap Rp 3,05 triliun.
Pada saat yang sama, Bank Mandiri melaporkan penurunan rasio kecukupan modal (CAR) selama periode itu menjadi 27,94 persen. Bank sentral menilai, jika menggunakan pendekatan arus kas riil, penurunan itu mestinya lebih besar karena komponen modal bank yang berasal dari laba tahun berjalan ditopang sumber artifisial tadi.
Tiga lembar pernyataan tertulis yang dibacakan Dradjad menjelang sore itu sebenarnya sudah sampai ke tangan Neloe pada siang harinya. Dia langsung terbenam pada lembaran di tangannya, sementara salah satu koleganya melakukan presentasi. Keseriusannya diinterupsi anggota DPR, yang meminta paparan Bank Mandiri tak bertele-tele. Rapat kemudian vakum sepuluh menit karena silang pendapat para wakil rakyat. Ketika kembali dilanjutkan, Neloe kembali memelototi kertas di tangannya.
Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Nimrod Sitorus, mengatakan surat teguran itu barang lama yang sudah mereka jawab. Menurut Nimrod, wajar jika BI sebagai auditor melakukan cek dan ricek. "Jadi, tidak bisa dikatakan surat itu merupakan mosi tidak percaya BI terhadap Bank Mandiri," katanya. Bank Mandiri, katanya, memakai prinsip dalam mengucurkan kredit. Keputusan kini tak hanya di tangan satu orang, harus melalui dua unit kerja. Selain itu, Bank Mandiri menerapkan sistem penilaian dan peringkat.
Soal debitor macet yang tidak diekspos, menurut Nimrod, harus melalui kebijakan nasional. Daftar nama debitor bandel sebenarnya sudah ada di BI, sehingga kalau mau dibuka harus seluruhnya, tidak hanya dari Bank Mandiri. Penghapusbukuan utang juga selalu mengikuti kebijakan BI. Write off tak menambah keuntungan, malah buntung karena keuntungan ditahan sebagai cadangan. Dengan itu semua, Nimrod tak setuju kalau laporan keuangan Bank Mandiri hanya "kosmetika" akunting. "Kita pakai Ernst and Young sebagai auditor," katanya.
Direktur Pengawasan Bank Indonesia, Ahdi Jumhari Luddin, juga mengatakan surat teguran itu biasa dilayangkan. "Ini bukan hal luar biasa," katanya. Sebagai penilik, jika melihat penurunan kinerja, BI segera melayangkan surat teguran.
Leanika Tanjung, Mawar Kusuma, Agricelli
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo