Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jika dolar naik dan turun lagi

Dolar terus menguat karena as dapat menutup defisit neraca perdagangannya dengan investasi modal asing. di tengah kondisi ekonomi as membaik menyebabkan dolar pulang kandang sementara rp menyusut. (eb)

6 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua tahun terakhir ini punya dolar berarti punya senyum lebar. Sebagai salah satu alat investasi, kedudukannya juga istimewa: gampang dicairkan, mudah disimpan, dan daya belinya cukup tinggi karena hanya sedikit dimakan inflasi. Nilainya pun cenderung menguat terhadap semua mata uang di dunia. Dengan sedikit dolar, pelbagai barang dan jasa kini bisa lebih banyak didapat di bandingkan sebeiumnya, terutama bila melancong ke Eropa Barat. Tak heran, dolar akhirnya jadi buron paling populer. Dan apa boleh buat, Bank Indonesia terpaksa juga memperhitungkan tingkah laku para pemburu dolar ini, setiap akan menyesuaikan kurs rupiah. Sekalipun jumlah orang yang mampu mengejar mata uang Amerika ltu tak sebesar penduduk Indonesia, kemampuan mereka melalap dolar dalam volume tak terbatas kadang bisa menciutkan nyali pihak otorias moneter. Permintaan biasanya dengan cepat meningkat, jika dampak tanda-tanda bahwa rupiah menyusut dengan deras, seperti terjadi pada ulan Agustus sampai awal September yang baru lalu. Pada hari-hari resah itu, penjualan dolar di pelbagai tempat penukaran uang dan bank naik 30% di atas transaksi normal, yang biasanya cuma sekitar US$ 700 ribu. Hanya 24 jam sesudah kurs tengah naik sembilan point, dalam dua hari transaksi pada 8 September, penjualan dolar tunai (banknotes) menanjak jadi US$ 8 juta. Hari itu, loket penjualan dolar BI dibuka hingga sore. Pihak bank sentral bahkan juga nerasa perlu mengedrop dolar ke kantor cabang BI di sejumlah provinsi. Syukur, orang di daerah lebih suka berkepala dingin. Tapi para Importir, yang mendadak bagal kena demam, buru-buru meningkatkan pembelian devisa, untuk memperkecil naiknya pengeluaran rupiah mereka bila kelak arus mengimpor barang. Di hari-hari panas itu, Bursa Valuta Asing BI bukan main sibuknya melayani pembelian devisa. Karena permintaan lebih besar dibandingkan masuknya devisa dari hasil ekspor, pada dua minggu pertama September BVA menalami defisit devisa US$ 200 juta. Gawatkah? Belum. Berkurangnya devisa sebesar itu tampaknya belum mengkhawatirkan benar, mengingat bahwa pemerintah masih punya cadangan US$ 9,4 milyar pada akhir Austus lalu. Situasinya memang berbeda dengan hari rawan menjelang devaluasi Maret 1983. Kuatnya nilai rupiah, yang dianggap sangat berlebihan saat itu, diam-diam telah mendorong munculnya kurs dobel: di dalam negeri tetap berkiblat ke BI, tapi di Singapura mengekor pada kekuatan pasar. Bagi pihak Bank Sentral, soal menetapkan kurs tengah yang dijadikan patokan dalam transaksi devisa itu jelas tidak mudah. Selain harus mengamankan keseimbangan antara volume ekspor dan impor pelbagai barang dan jasa, faktor psikologi massa juga turut diperhitungkan dalam penetapan kurs tengah itu. Besar kecilnya penurunan, atau kenaikan kurs pada suatu hari, juga turut dipengaruhi oleh tinggi rendahnya volume transaksi perdagangan Indonesia, yang pembayarannya dikaitkan dengan dolar. Sejak rupiah diambangkan mulai Maret tahun lalu, naik turunnya mata uang itu tidak perlu lagi harus 100% mengikuti lemahnya mark Jerman ataupun franc Prancis. Juga tidak harus sepenuhnya mengekor pada kenaikan nilai dolar. Sebab, salah-salah malah akan memacetkan ekspor mata dagangan dari sini ke Eropa, karena importir di sana segan mengeluarkan uang lebih banyak untuk membayar komoditi tadi. Sekalipun berbagai faktor tadi sudah diperhitungkan, toh para pemilik uang tetap panik ketika depresiasi rupiah berlangsung cepat. "Masyarakat rupanya belum terbiasa melihat cepatnya kenaikan kurs dolar," kata seoran pejabat di BI. Pendeknya, kesulitan menetapkan kurs tengah itu antara lain akibat saraf pemegang uang panas disini belum seliat saraf pemilik uang di Jerman Barat dan Inggris, misalnya. Penubrukan dolar besar-besaran tidak terjadi di kedua negeri mapan itu, sekalipun, untuk pertama kalinya sejak sistem kurs mengambang diperkenalkan 11 tahun lalu, dolar menembus batas kurs tiga mark Jerman. Pada awal September itu, setiap dolar bisa digunakan untuk membeli mark sebesar 3,12. Dengan demikian, dibandingkan empat tahun lalu, mark jelas telah merosot 75%. Namun, jika dilihat perbandingan antara gejolak kurs di Jerman dan di Indonesia, orang yang tidak liat saraf memang bertanya: Tidakkah rupiah dihargakan terlalu tinggi oleh para penentu kurs tengah? (Lihat: Grafik). Rasa syak ini tentu saja makin menambah suhu demam dolar. Menguatnya dolar secara spektakuler, sejak awal bulan lalu hingga hari-hari ini, memang kelihatan sangat mengkhawatirkan pelbagai kalangan. Nilai tukarnya tampak sudah tak tunduk lagi pada hukum-hukum ekonomi konvensional. Jika neraca perdagangan luar negeri AS defisitnya melonjak, seharusnya nilai tukar mata uang itu jatuh. Sebab, defisit tadi harus ditutup dengan pencetakan dolar baru. Juga ketika sejumlah bank, seperti Morgan Guaranty Trust Co., pekan lalu, menurunkan suku bunganya dari 13% jadi 12,75%, dolar tetap belum juga terpojok. Kenapa keanehan ini? Amerika ternyata mampu menutup besarnya defislt neraca perdagangannya pada semester pertama tahun ini, yang US$ 45 milyar lebih itu, dengan pemasukan investasi asing yang mencapai US$ 158,3 milyar. Padahal, selama seluruh tahun 1983, investasi asing itu hanya meliputi US$ 33,9 milyar. Dengan demikian, secara keseluruhan neraca pembayaran luar negeri AS, untuk semester pertama tahun ini, sesungguhnya sangat kukuh. Pada bulan-bulan ini, penanaman modal asing itu tampaknya akan makin hebat. Salah satu di antara yang terbesar adalah rencana pembelian Carnation Co., yang menghasilkan pelbagai barang kebutuhan konsumen di A.S oleh Nestle dari Swiss, yang mengajukan tawaran sebesar US$ 3 milyar. Tak dapat disangkal lagi, "Sejak sekarang ekonomi AS adalah yang terkuat di dunia dan karenanya banyak menarik penanaman modal dari luar," ujar Robert Heller, wakil presiden senior Bank of America. Salah satu daya tarik bagi calon investor adalah rendahnya tingkat inflasi di sana. Dalam 21 bulan terakhir ini, angka inflasi hanya 4% - jauh di bawah angka 1979 yang mencapai 12,8%. Selama 21 bulan terakhir itu, pertumbuhan ekonominya pun mencapai 12%. Sedang negara-negara Eropa Barat, dan Jepang, pada periode yang sama, hanya tumbuh masing-masing 4% dan 7,5%. Kata seorang pengamat, meningkatnya prospek keuntungan yang bakal diraih investor juga merupakan salah satu daya tarik bagi investasi asing. Kondisi ekonomi AS kini juga dianggap makin bersaing. Kenaikan gaji buruh bisa dilakukan secara moderat, dan buruh di sana bersedia menerima kehadiran teknologi baru untuk mendorong efisiensi. Dengan situasi politik yang stabil, AS hakikatnya adalah surga, tempat para investor kini membayangkan bisa memetik laba besar. "Emas dan deposito berjangka kini bukanlah investasi menarik di sana," ujar seorang bankir di Jakarta. Kondisi ekonomi seperti itulah yang rupanya, bisa memaksa dolar pulang kandang ke negeri leluhurnya. Besarnya repatriasi dolar itu, yang akan makin hebat di hari-hari mendatang, tentu saja, makin mendorong pihak Federal Reserve Bank (Fed.) AS, tak ingin terlalu bernafsu menambah suplai mata uang tadi. Sejak semula memang sekalipun sudah ditekan berulang kali, Fed. selalu menolak melakukan ekspansi moneter. Alasannya ketika itu: penambahan uang di saat permintaan masih lemah hanya akan membakar laju inflasi. Karena Fed. tetap ngotot tak mau melonggarkan keran, peredaran uang itu tentu tak banyak bertambah: jumlah dolar makin kecil di pasar sesudah pemerintah AS ikut pula terjun ke pasar uang menyedot mata uang itu, dengan menerbitkan obligasi di Eropa dan AS, untuk menutup defisit anggaran belanjanya. Tak heran bila tindakan tadi, dan juga larinya dolar ke AS, menyebabkan persediaan mata uang itu di Eropa Barat makin tipis. Terbatasnya persediaan di tengah meluapnya permintaan itu, tentu saja menyebabkan dolar naik lagi ke atas menara angin. Deutsche Bundesbank rupanya tak tahan melayani rongrongan itu. Bank Sentral Jerman Barat ini, sejak pertengahan September, mulai mengintervensi pasar dengan menyuplai dolar secara besar-besaran. Sampai akhir pekan lalu, upaya intervensi, yang dilakukan dengan membeli mark memakai dolar itu, ditaksir telah meliputi nilai US$. Hasilnya sudah tampak: pekan lalu, harga setiap dolar setara dengan 3,00 mark, sedang sepekan sebelumnya 3,16 mark. Dolar, ternyata, juga bisa jatuh hanya oleh pengumuman indikator ekonomi. Pada 21 September lalu kursnya mendadak anjlok sesudah angka inflasi di AS diumumkan lebih tinggi dari perkiraan. Dalam satu hari kurs mata uang itu turun 4% melawan mark. Dan di Jakarta dolar nilainya turun dua point sekaligus 22 September itu kurs tengah ditetapkan Rp 1.057. Gejolak rupanya tetap belum akan berakhir. Karena itu, seorang bankir pemerintah meminta, "Agar masyarakat bisa hidup dalam gelombang-gelombang, sebab begitulah keadaan ekonomi sekarang." Gayung pun bersambut. PT Federal Motor, perakit motor Honda, memahami betul betapa gejolak kurs itu kelak menyebabkan biaya dana perusahaan bakal melonjak, jika utang valuta asingnya tidak dikendalikan Karena ltu, dalam upaya mengurangi rugi kurs, anak perusahaan Astra itu berusaha melakukan diversifikasi dalam meminjam mata uang asing. Artinya, utang Federal guna membiayai impor sekitar 28 % komponen motornya tidak hanya dikaitkan dengan dolar, tapi juga dengan yen atau mark, misalnya. Mungkin saja upaya perusahaan semacam ini akan menyebabkan transaksi swap, pembelian dolar untuk jangka tertentu, bisa meningkat di BI. Apa boleh buat: selama suatu negara sedang menghadapi perubahan kurs tidak menentu, kegiatan investasi pun biasanya akan berubah. Terjadi perpindahan dari kegiatan investasi nyata (industri dan perdagangan) ke kegiatan investasi finansiil (spekulasi di pasar uang). Di similah biasanya terjadi perbenturan antara kepentingan pemilik modal dan masyarakat umum, yang membutuhkan barang produksi serta lapangan kerja. Menurut seorang ahli moneter, dalam jangka pendek, perpindahan aktivitas itu memang tidak banyak pengaruhnya dalam menghambat laju pertumbuhan. Tapi dalam jangka panjang, besar kemungkinan hal itu justru bisa jadi malapetaka. Apalagi, saat ini, investasi di bidang jasa keuangan nilainya sangat tinggi. Bila terjadi depresiasi rupiah, "Akibatnya akan lebih terasa di sektor ini, karena terlalu besar memukul kekayaan," kata ahli moneter itu memperingatkan. Pandangan hati-hati ini, tentu, menarik dipikirkan dengan kepala dingin, jika Anda tak ingin jatuh miskin karena menanam uang di pasar uang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus