KRISIS likuiditas perbankan swasta rupanya cukup serius. Sejak kemudahan Kredit Khusus Bank Indonesia ditawarkan mulai 24 September lalu, sampai Senin pekan ini, sudah 18 bank swasta nasional dan 6 bank asing yang memanfaatkan fasilitas itu dengan nilai pinjaman Rp 260 milyar lebih. Jumlah utang rupiah itu besar. Tapi, tampaknya, ia akan terus menggelembung. Kantor Urusan Pasar Uang dan Modal BI setiap harinya didatangi tamu, rata-rata tak kurang dan lima bankir. Dalam keadaan terjepit, perbankan swasta, termasuk yang asing, memang tak bisa menolak injeksi dana itu, biarpun berbunga 26%. Sebab, kesempatan mereka untuk meminjam rupiah dari bank lain, yang selama ini mudah didapat dengan bunga bersaing, kini sudah makin dibatasi. Sejak 1 Oktober, Bank Sentral hanya memperbolehkan mereka menggunakan pinjaman antarbank itu sebesar 7,5% dari dana rupiah masyarakat, yang dapat mereka himpunkan. Pembatasan itu sebenarnya tak mudah untuk ditaati. Khususnya oleh bank asing. Jumlah pinjaman antarbank, yang harus segera digantikan dengan Kredit Khusus itu, volumenya ternyata terlalu besar. Sebuah bank asing terkemuka dari Amerika bahkan konon menggantungkan pinjaman antarbank ini sampai 30% dari seluruh volume dana pihak ketiga - berupa deposito, giro, dan tabungan. Itu suatu contoh bagaimana bank-bank swasta kepepet untuk mampu melakukan pembayaran yang segera dari koceknya sendiri. Dengan kata lain, krisis likuiditas. Krisis likuiditas itu, yang telah mengundang para pengendali moneter pemerintah melakukan intervensi langsung tadi, mungkin tak akan terjadi bila sejumlah lembaga keuangan itu mau menahan diri. Tapi apa lacur. Sejak pemerintah, mulai I Juni 1983, tak lagi memberi batas pertambahan ekspansi kredit, mereka seolah bagai kuda kacang lepas dari kandang. Apalagi sektor perdagangan, yang banyak membutuhkan dana jangka pendek, sedang tumbuh dengan menggiurkan. Jadi, jangan kaget bila laju pemberian pinjaman rupiah dari pelbagai bank di Jakarta, pada delapan bulan pertama tahun ini, naik seperti lift kilat di gedung jangkung mereka. Dari April sampai awal September saja, volume pertambahan kredit itu bisa mencapai Rp 1.880 milyar. Berarti, ekspansi kredit sebesar 25%. Dan itu bisa terjadi hanya dalam tempo kurang dari lima bulan. Dari pertambahan sebesar itu, sektor perdagangan kelihatan paling rakus: lebih dari Rp 1 trilyun diserapnya. Sayang, kecepatan pemberian pinjaman tadi tidak diimbangi dengan laju uan yang masuk ke dalam bank, dari dana di masyarakat. Kepincangan itu sesungguhnya sudah mulai terlihat pada bulan April. Saat itu pemberian kredit ternyata lebih besar dibandingkan dengan jumlah pemasukan dana dari pihak ketiga. Bank rupanya mengalami kesulitan menggaet dan mengerahkan dana dari masyarakat. "Sisa pendapatan masyarakat yang bisa ditabung ternyata rendah," ujar I Nyoman Moena, ketua Perhimpunan Bank-Bank Nasional Swasta (Perbanas). Anggapan itu tampaknya benar. Rupiah yang bisa ditabung oleh masyarakat turun drastis. Tanda-tanda itu sudah dilihat Bank Dunia pada tahun 1982. Pada tahun awal resesi itu, tabungan masyarakat diperkirakan tinggal 15% dari seluruh pendapatan kotor nasional. Padahal, pada 1980, saat boom minyak terjadi, tabungan itu bisa mencapai 26% dari seluruh pendapatan kotor nasional. Turunnya tabungan rupanya datang seiring dengan merosotnya dolar yang diterima pemerintah dari menjual minyak. Sementara itu, apa boleh buat, bank toh tetap tidak bisa menolak permintaan kredit. Mereka tak bisa mengatakan tak punya dana. Walhasil, simpanan lain pun digedor: dana cadangan mereka, yang mereka taruh di BI, mulai mereka ambil sedikit-sedikit. (lihat grafik I). Tapi jumlah dana cadangan itu tak boleh habis. Ia harus tetap meliputi sekitar 5% dari dana pihak ketiga, seperti yang ditentukan Bank Sentral. Karena itu, tentu saja, dengan permintaan kredit yang tetap deras, uang yang ditarik dan dana cadangan ini tetap belum mencukupi. Mereka lalu terjun mencari pinjaman dari bank lain. Lalu lintas antarbank pun riuh rendah. Jenis pinjaman ini biasanya berjangka sangat pendek: mulai dari satu minggu, dua minggu, sampai sebulan. Besar kecilnya dana dan bunga banyak ditentukan dari hasil hubungan baik dan perundingan kedua pihak. Overseas Express Bank (OEB), misalnya, sering meminjam dana dari Bank of Tokyo dengan harga 18% Bank partikelir nasional ini kemudian menjual kepada nasabahnya, yang kebanyakan pedagang mobil dan pengecer suku cadang itu, dengan bunga 22% sampai 2%. Pada mulanya, usaha menutupi kekurangan pengerahan dana ketiga dengan pinjaman antarbank ini hanya dllakukan secara kecil-kecilan. Tempo perputarannya juga mula-mula agak panjang. Ketika kemudian permintaan kredit, terutama dari sektor perdagangan, melaju dengan kecepatan orang kebelet, volume pemakaian dana jenis ini makin besar. Pasar uang pun mulai dilanda gejolak pinjam-meminjam. Bank Perniagaan Indonesia, misalnya, rata-rata menggunakan dana antarbank sekitar Rp 16 milyar. Artinya, sekitar 17% dari dana pihak ketiga. Besarnya ketergantungan 7I bank swasta domestik dan 11 bank swasta asing akan dana pinjaman antarbank ini, dari hari ke hari, ternyata makin berat. Seorang bankir pemerintah sampai menyebut tingkat ketergantungan mereka itu sudah sampai pada tahap ketagihan, seakan kegiatan utang mengutang ItU bagaikan madat. Sampai seberapa besar taraf ketagihan itu, tak jelas benar. Tapi besar kemungkinan hal itu bisa dilihat dari satu segi: tinggi rendahnya selisih antara jumlah pemberian kredit mereka dan jumlah dana pihak ketiga. (lihat grafik II). Sebuah bank asing dari Amerika, misalnya, punya selisih sampai 55% pada Juni lalu. Besarnya angka ini menunjukkan bahwa volume pinjaman yang diberikan bank itu satu setengah kali lebih banyak daripada dana pihak ketiga yang didapatkannya. Tak syak lagi, peranan dana antarbank itu sudah mereka sulap jadi sumber dana permanen untuk membiayai pemberian kredit pada nasabah. Padahal, asal usulnya adalah dana tak tetap. Demikianlah sang dana tak tetap bukan lagi dijadikan sekadar penambal sementara, untuk menombok bila bank itu suatu hari tak cukup uang buat memenuhi kewajibannya. Pemakaian pinjaman dari bank lain itu pun, belakangan, sering dilakukan dalam jangka yang sangat pendek, malah hanya mengmap semalam. Perputaran dana jenis ini setiap hari bahkan ditaksir meliputi nilai tak kurang dari Rp 500 milyar. Apa gerangan yang mendorong para bankir berbuat seperti orang sedang perang gerak cepat? Dalam nada hati-hati, direktur Pasar Uang dan Modal BI, Binhadi, menyebut alasan yang diduganya. Menurut dia, ada "pandangan yang berbeda dalam mengejar sasaran pertumbuhan". Para bankir itu tampaknya tergoda untuk mengulangi sukses tingginya angka pertumbuhan kekayaan, yang mereka nikmati pada periode 1977-1982 lalu. Waktu itu, pertumbuhan mencapai 32% setiap tahun. Mereka tentu tidak salah dan tidak bodoh. Peluang mengejar pertumbuhan dengan cara gali lubang tutup lubang itu memang dimungkinkan, karena persediaan dana antarbank cukup besar. Penyuplai utama dana ini adalah lima bank pemerintah: Bank Bumi Daya, BNI 1946, BRI Bank Dagang Negara, dan Bank Eksim. BNI 1946, misalnya, setiap harinya rata-rata melemparkan Rp 50 sampai Rp 100 milyar. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang, sejak April lalu, diberi tugas menyediakan pembiayaan pengadaan pangan bagi Bulog juga sudah terjun ke situ. Besarnya pembiayaan itu, yang untuk tahun anggaran ini dialokasikan Rp 1,8 trilyun, rupanya memungkinkan bank ini membagikan sedikit kelebihan likuiditasnya, yang dilahap bank-bank swasta. Bunga yang dikenakan oleh bank-bank pemeritah ini, untuk pinjamannya ke bank lain, ketika pasar uang masih normal, biasanya bergerak antara 18% dan 20%. Tingkat harga ini jelas cukup bersaing jika dibandingkan ongkos untuk menarik dana melalui deposito berjangka, yang rata-rata dibayar dengan bunga 20%-24%. Demikianlah, dengan dana-dana murah dari bank pemerintah itu, pelbagai bank swasta nasional dan asing itu bisa memenuhi rencana ekspansi kredit mereka. Kenyataan itu menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi sesungguhnya masih perlu didorong oleh uang pemerintah dalam volume cukup besar. Sektor swasta rupanya masih belum mekar dengan benar. (lihat grafik III). Celakanya, ada juga bank swasta nasional yang menggunakan dana antarbank ini untuk tujuan spekulasi. Pemegang saham sebuah bank partikelir di Jakarta, misalnya, menggunakan dana tadi untuk membeli ratusan hektar tanah. Sedang pemegang saham di bank lainnya menggunakan dana tadi untuk memenuhi pembiayaan bagi kepentingan perusahaannya. Pengamat ekonomi Kwik Kian Gie menganjurkan agar praktek "bank di dalam bank" ini diteliti lebih cermat. Pemerintah, kata Kwik, perlu mengetahui sampai sejauh mana dana tadi "digunakan untuk kepentingan spekulasi". Pihak otoritas moneter di pemerintah tentu kurang suka bila usaha mengejar pertumbuhan itu sampai menimbulkan usaha spekulasi. Apalagi akibatnya terbukti jelek: pelbagai bank swasta tadi akhirnya sangat tergantung pada dana antarbank untuk memenuhi kewajiban kredit mereka kepada nasabah. Ditambah lagi dengan kecemasan yang timbul di masyarakat, bahwa krisis likuiditas - yang sering disalahartikan sebagai "hilangnya rupiah" - itu gara-gara orang berjubel menghabiskan rupiahnya untuk beli dolar. Tapi tentu bukan karena alasan itu jika kurs tengah dolar awal September yang lalu "dimainkan": waktu itu, dalam dua hari transaksi, kurs itu naik sembilan point. Sebab, perubahan kurs tengah - yakni kurs yang ditentukan antara kurs beli dan kurs jual devisa - itu ternyata menyebabkan basis dana di pelbagai bank swasta, termasuk yang asing, jadi berantakan. Sejumlah nasabah, yang biasanya hanya menank kredit sampai 60%, buru-buru mengurungkan janji dan niat mereka membiayai kebutuhan modal kerja dan membeli valuta asing. Sejumlah pemilik dana rupiah besar, tak ayal lagi, ikut-ikutan pula membeli dolar. Karena basis dana bank itu rontok, sumber pinjaman antarbank lalu diserbu. Tingginya permintaan itu, pada akhirnya, menendang bunga pinjaman over night meroket dari 20% jadi 90% di awal September itu. Otoritas moneter mula-mula berusaha mengatasi krisis likuiditas pelbagai bank swasta itu dengan membuka fasilitas diskonto. Tapi pinjaman berjangka dua minggu itu hanya memberi ruang gerak terbatas. Pinjaman itu hanya bisa diperpanjang sekali. Maka, agar ruang gerak pengaturan dana mereka agak lebar, BI lalu menawarkan fasilitas Kredit Khusus: yang separuh diberikan dengan jangka enam bulan, dan sisanya makslmum setahun. Toh tali penolong bagi bank yang terjungkal ke dalam krisis likuiditas itu belum menyebabkan bankir bisa tidur nyenyak. "Kami kini sering lembur untuk konsolidasi," ujar James Riady, presiden direktur Bank Perniagaan Indonesia, yang terpaksa menelan Kredit Khusus Rp 4 milyar. Konsolidasi memang perlu. Para bankir harus menghitung berapa rata-rata harga dana mereka kini, sesudah banyak rupiah mahal yang didapat dari bank lain, juga diskonto dan Kredit Khusus, masuk ke perut mereka. Dengan kata lain, harga jual dana belum bisa ditetapkan. Tapi ada juga bank yang, dengan segera, menetapkan bunga baru untuk nasabahnya. PT Federal Motor, perakit Honda di Jakarta, misalnya, oleh banknya serta merta dikenai bunga 34% untuk penarikan kredit bulan September. (Bulan sebelumnya, bunga pinjaman itu baru 28% harganya). Kenaikan bunga itu memang dimungkinkan, karena baik pihak pemberi dana maupun si nasabah sepakat memakai suku bunga mengambang guna membiayai kebutuhan modal kerja tahunannya. Tapi, tak semua orang bisa sepakat dengan bankirnya. Ebuart John, direktur Maju Trading di Medan, mundur teratur ketika Bank Bumi Arta di kota itu menawarkan kredit baru dengan harga 35%. Bunga setinggi itu dianggapnya kelewat mahal, menginat baru Juli lalu dia diberi kredit dengan harga 20%. Dalam keadaan belum menentu itu, eksportir udang yang enggan menggunakan tingkat bunga mengambang ini lebih suka bersikap menunggu. Tapi sikap itu tak bisa dilakukan PT Indo Mobil Utama, yang berusaha memenuhi kebutuhan modal kerja tahunannya. Sebagian kebutuhan modal itu pun dikaitkan dengan suku bunga mengambang Tentu saja, kenaikan suku bunga itu menyebabkan ongkos yang harus dibayarnya guna mendapat modal untuk merakit dan menjual kendaraan Suzuki naik pula. Celakanya, penjualan secara kredit yang diiakukan perusahaan im semuanya dilakukan dengan harga dan bunga cicilan tetap. PT Indo Mobil Utama dengan demikian bisa jadi contoh bagaimana sebuah perusahaan harus beroperasi dengan dana yang bukan saja masih goyang harganya, tapi juga mahal. Singkatnya: sulit. Karena itu, dalam situasi serba tanggung ini, beberapa perusahaan yang tak ingin rugi banyak buru-buru menolak memberi kredit dengan rupiah. Sejak pertengahan September, mereka mengaitkan tiap pembayaran ansuran kredit dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terakhir. Pengaruh siasat seperti ini bisa serius sekali. Kata Ekonom Pande Radja Silalahi: jika gejala seperti itu dibiarkan, bukan mustahil wibawa Bank Sentral akan merosot. Sebab, itu menunjukkan, "Kepercayaan pengusaha terhadap rupiah lemah sekah," ujarnya. Lalu apa yang mesti dibuat? Belajar dari pengalaman mahal itu, bank swasta anggota Perbanas dan bank asing di Jakarta jelas dituntut harus mendandani sumber dana jangka pendek. Di samping itu, "Secara struktural dana jangka panjang mereka perlu pula diperbaiki," ujar Somala Wiria, presiden direktur BNI 1946. Sikap mereka melihat kesempatan pun tampaknya perlu diubah. Dan seperti tiap orang cerdik dalam dunia bisnis, mereka tampaknya memang sedang berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini