Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selembar undangan diskusi pada Senin pekan lalu membuat Helmy Fauzi tersentak. Anggota Komisi Pertahanan, Luar Negeri, dan Informasi Dewan Perwakilan Rakyat ini baru menyadari bahwa Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring telah menerbitkan peraturan mengenai migrasi televisi analog ke televisi digital.
"Aturan itu sangat strategis dan punya implikasi bujet, tapi kami tak pernah diajak bicara. Sosialisasi juga tak ada," kata anggota Fraksi PDI Perjuangan itu, Kamis pekan lalu.
Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar alias free to air itu diteken Tifatul pada 22 September lalu. Beleid baru itu menggantikan aturan lama yang dikeluarkan Menteri Komunikasi Mohammad Nuh pada 16 Oktober 2009. Namun aturan ini tak pernah dimuat dalam situs resmi kementerian tersebut. "Jadi seperti sengaja dibuat diam-diam," ujar Helmy.
Aturan itu antara lain menetapkan bahwa layanan siaran analog akan dihentikan secara total pada 2018. Proses migrasi secara bertahap dimulai tahun ini, dengan mula-mula menerapkan simulcast atau penyelenggaraan siaran digital secara bersama-sama dengan siaran analog.
Menurut Helmy, migrasi ke teknologi digital dalam siaran televisi merupakan keniscayaan, seiring dengan kemajuan di sektor ini. "Yang jadi masalah, peraturan menteri ini seperti memfasilitasi kepentingan para pemodal besar untuk menguasai frekuensi secara kartel," katanya. "Ini bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran, yang mengharuskan negara menjaga dan melindungi spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam yang terbatas."
Kritik senada disampaikan Amir Effendi Siregar, pemimpin lembaga swadaya masyarakat Pemantau Regulasi dan Regulator Media. Menurut dia, peraturan menteri itu membuka peluang bagi korporasi besar yang selama ini sudah menjadi pemain utama dalam industri televisi untuk menguasai bisnis ini dari hulu ke hilir.
Helmy dan Amir merujuk pada pasal 5 ayat 4, misalnya, yang menyebutkan bahwa Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) dibolehkan menguasai multipleks lebih dari satu zona siaran. LPPPM adalah lembaga yang menyalurkan beberapa program siaran melalui satu perangkat multipleks dan perangkat transmisi kepada masyarakat di satu zona layanan. Kementerian membagi zona layanan menjadi 15 zona se-Indonesia.
Mantan Ketua Panitia Khusus Undang-Undang Penyiaran Paulus Widiyanto juga menilai beberapa ketentuan dalam peraturan ini dibuat untuk menutup peluang bagi pemain baru dalam dunia penyiaran. "Ini seperti ada ’kongkalikong’ antara para pemain lama dan pemerintah," ujarnya.
Semangat Undang-Undang Penyiaran justru ingin melarang dan mencegah monopoli. Penguasaan kanal frekuensi oleh segelintir pemodal besar dikhawatirkan akan mengarah pada penyeragaman opini publik dan membahayakan proses demokrasi.
Kecemasan banyak pihak tentang kemungkinan terganggunya keberagaman isi siaran ini dinilai tak masuk akal oleh Henry Subiakto, staf ahli bidang komunikasi dan media massa di kementerian yang dipimpin Tifatul. Menurut dia, pemilik kanal frekuensi tak selalu bisa mengontrol isi siaran. "Lagi pula, nanti kepemilikannya akan ditenderkan."
Tapi penjelasan Henry itu tak cukup meyakinkan Helmy. Dia sudah membicarakan soal ini kepada para koleganya di DPR dan mereka sepakat bahwa Kementerian Komunikasi telah bertindak melampaui kewenangannya.
"Pak Tifatul ini seperti menyalip di tikungan. Saat DPR sedang sibuk membahas amendemen Undang-Undang Penyiaran, tiba-tiba dia mengeluarkan aturan yang mestinya jadi domain undang-undang," ujar Helmy. "Saya akan minta agar peraturan itu dicabut."
Y. Tomi Aryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo