Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mengisap Listrik di Otak

Stroke ringan bisa disembuhkan dengan terapi elektromagnetik. Cukup manjur, tapi tak semua percaya.

16 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aminah Harsini, 65 tahun, pusing mendadak setelah makan siang. Ia mengira masuk angin karena telat makan. Karena lemas, Aminah memutuskan tidur siang. Bukan merasa lebih baik, ia malah semakin lemas dan pusing. Aminah terpaksa dipapah kedua anaknya ke rumah sakit terdekat di Depok, Jawa Barat. Selama diobservasi di rumah sakit, Aminah merasa satu sisi tubuhnya hilang.

Aminah tidak merespons saat diajak bicara oleh anak-anaknya, yang berdiri di sebelah kirinya. "Saya tidak menyadari bahwa sisi kiri tubuh saya benar-benar lumpuh. Ini sangat aneh, karena tubuh saya seolah-olah mengakui sisi kanan saja. Perasaan ini membuat saya sangat frustrasi," ujarnya.

Dokter menyebut keadaan Aminah sebagai hemispatial neglect atau pengabaian salah satu sisi tubuh. Penyebabnya adalah kerusakan di sisi otak yang berlawanan. Pada kebanyakan penderita hemispatial neglect, otak yang rusak adalah otak bagian kanan (stroke hemisfer) di wilayah depan (temporo pariental). Ketika otak kanan rusak, bagian tubuh yang lumpuh adalah sebelah kiri.

Beberapa peneliti memperkirakan 25-48 persen penderita stroke mengalami kondisi ini. "Angka kejadiannya meningkat seiring dengan luasnya kerusakan otak yang terjadi pada saat awal," ujar ahli neurologi yang juga dokter spesialis saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Julintari Indriyani.

Biasanya, untuk menormalkan keadaan pasien stroke dengan kondisi pengabaian sisi tubuh sebelah, dokter menggunakan terapi gerak atau latihan konsentrasi. Media yang digunakan bisa berupa pensil atau buku, bahkan komputer. Namun, sebulan yang lalu, sebuah penelitian di Italia membuktikan, pasien stroke yang mengalami masalah pengabaian salah satu sisi tubuh dapat disembuhkan dengan cara dirangsang otaknya dengan medan magnet.

Dalam dunia kedokteran, metode merangsang otak secara magnetis disebut transcranial magnetic stimulation (TMS). Pada awalnya metode TMS digunakan untuk memantau pasien yang mengalami kelainan saraf, seperti epilepsi, atau alzheimer. Namun, seiring dengan perkembangannya, TMS dapat digunakan sebagai sarana penyembuhan stroke.

Ini memang bukan cara baru. Di Indonesia bahkan sudah dipakai sejak 2-3 tahun lalu. Penelitian yang dipimpin Profesor Giacomo Koch itu hanya membuktikan keampuhan terapi yang banyak diragukan ini.

Penelitian dilakukan terhadap 20 pasien stroke yang mengalami pengabaian salah satu sisi tubuh. Koch membagi pasien ke dalam dua kelompok, yaitu yang menerima rangsangan magnetis dan yang hanya meminum obat secara biasa. Pada dua minggu pertama, otak pasien yang dirangsang secara magnetis pulih hingga 16 persen. Dua minggu berikutnya meningkat 23 persen. "Bagian otak pasien yang menghasilkan aktivitas listrik berlebihan, ketika menerima rangsangan magnetis, kembali menjadi normal," ujar Koch.

Menurut penelitian Koch, merangsang otak dengan medan magnet tidak hanya berguna bagi penderita stroke pengabaian salah satu sisi tubuh, tapi juga pada pasien yang dalam masa pemulihan setelah terkena stroke ringan. "Teknik ini membantu proses pemulihan pasien setelah terserang stroke," ujar Koch. Hasil penelitian Koch ini dipublikasikan dalam World Journal of Neurology.

Bagaimana alat ini bekerja? Untuk mengetahuinya, kita harus tahu terlebih dulu penyebab hemispatial neglect. Rusaknya otak sebelah kanan ini karena kelebihan aktivitas di otak kiri. Menurut Julintari, kelebihan aktivitas di otak kiri disebabkan oleh meningkatnya aktivitas listrik di sana.

TMS digunakan untuk menormalkan aktivitas otak dengan mengurangi aktivitas listriknya melalui medan magnet. "Stimulasi magnetis ini secara aman dapat menembus jaringan saraf otak, tanpa mempengaruhi tulang atau lemak, dan tanpa rasa sakit," ujar Julintari.

Penggunaan TMS tidak memerlukan tindakan invasif atau memasukkan alat atau obat ke tubuh pasien. Tindakan ini juga tidak memerlukan operasi. TMS menggunakan arus listrik yang dihantarkan melalui kumparan kawat tembaga dan diletakkan di atas kulit kepala. Arus kemudian menghasilkan medan magnet yang menembus kulit kepala serta tulang dengan leluasa.

Menurut Julintari, tidak ada persiapan khusus untuk memulai terapi TMS. Namun, ia menegaskan, ada beberapa kondisi pasien yang tidak diperbolehkan menerima terapi TMS, yaitu pasien yang menggunakan alat pacu jantung dan pasien yang salah satu organ tubuhnya menggunakan implan tembaga.

"Selain itu, saat TMS dilakukan, benda bermagnet, seperti kartu kredit, kartu kunci hotel, disket, harus dijauhkan sekitar 50 sentimeter dari lempeng tembaga," ujar Julintari. "Sebab, ada kemungkinan data yang ada dalam benda-benda tersebut bisa terhapus saat didekatkan dengan lempeng tembaga pada TMS," ujar dokter yang juga kepala staf medik fungsional neurologi di sebuah rumah sakit di Jakarta ini.

Walaupun praktis, penggunaan TMS tetap berisiko, yaitu mengakibatkan kejang, mempengaruhi mood, mengganggu pendengaran, membuat telinga berdenging, mengakibatkan luka bakar pada kulit kepala, dan menyebabkan nyeri di beberapa bagian kepala. "Meski begitu, secara umum penggunaan TMS relatif aman, asal memperhatikan indikasi dan kontraindikasinya," ujar Julintari.

Selain itu, biaya operasional yang relatif mahal tidak memungkinkan metode ini digunakan di banyak rumah sakit umum. Saat ini di Jakarta hanya ada tujuh rumah sakit yang menyediakan terapi TMS, antara lain Rumah Sakit Gatot Subroto, Medistra, Jakarta, Melia, Cipto Mangunkusumo, dan Budhi Asih.

Tidak semua dokter setuju dengan konsep penyembuhan melalui rangsangan medan magnet pada otak ini. Masih banyak dokter yang menganggap TMS sama sekali tidak bekerja pada pasien stroke. Alasan mereka, stroke hanya memiliki dua konsekuensi akhir, yaitu meninggal atau cacat permanen.

"Kalau hanya saraf tepi yang masih terserang, mungkin masih bisa diperbaiki. Tapi, kalau sudah otak utama yang kena, tidak ada lagi yang dapat dilakukan," ujar ahli neurologi dari Rumah Sakit PMI Bogor, dokter Yoeswar A. Darisan, SpS.

Menurut Yoeswar, hanya ada satu cara menghindari stroke, yaitu menghindari tiga faktor risiko stroke, seperti hipertensi, diabetes, dan kolesterol. "Mau pakai apa pun, satu-satunya cara menghindari stroke harus menghindari faktor risikonya. Jika telanjur memiliki faktor risiko, ada baiknya dijaga dan sering memeriksakan diri ke dokter," ujarnya.

Cheta Nilawaty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus