KALANGAN minyak asing kelihatannya tak merasa senang. Mengapa?
Bukankah pemerintah sudah menyetujui untuk memberikan beberapa
perangsang baru? Seorang kontraktor dari perusahaan minyak
'bagi-hasil' yang cukup besar, kepada TEMPO pekan lalu
mengatakan "untuk sementara kami akan bertahan pada produksi
yang sekarang". Tapi dengan cepat seorang rekannya menyelak.
"Posisi kami sekarang memang begitu, tapi kalau ekspor tetap
membaik, mungkin saja kami akan mencari minyak lebih banyak".
Kapan? "Yah, kami ingin lihat-lihat dulu sampai setelah pemilu",
jawabnya diplomatis.
Seorang kontraktor yang belum beroleh minyak lain lagi jawabnya.
"Saya berani bertaruh, tak ada yang merasa gembira", katanya. Si
kontraktor yang mungkin merasa kesal karena belum juga mendapat
minyak -- mulai mengenang masa lalu. "Suasana sekarang memang
tak begitu menguntungkan bagi kami yang kecil-kecil", ucapnya,
Tapi ia tak segera menjawab ketika ditanya, apakah itu berarti
perusahaannya akan pamit dari sini. "Itu juga sedang merupakan
pemikiran", katanya.
Agaknya para kontraktor yang ditemui pekan lalu itu seperti
berharap banyak. Terutama setelah adanya seminar sehari yang
diadakan CSIS pertengahan Januari lalu dengan prakarsa Let. Jen.
Ali Moertopo. yang diakhiri dengan foto bersama Presiden serta
makan siang bersama di proyek Miniatur. Tapi baik Menteri
Pertambangan Sadli maupun Dirut Pertamina Piet Haryono, sudah
mengingatkan bahwa perangsang itu tak akan meruban ketentuan
baru yang sudah diputuskan sejak awal Agustus tahun lalu.
Pas-Pasan
Menteri Sadli ketika ditemui pekan lalu rupanya sudah mengetahui
sikap dingin para kontraktor. Kepada Fikri Jufri dari TEMPO,
Sadli berkata: "Perangsang itu memang pas-pasan". Adapun isi
perangsang itu menyangkut tiga hal:
Kewajiban untuk menyisihkan 20% dari produksi yang harus dijual
dengan harga 20 sen dollar per barrel pada Pertamina kini
dihapuskan. Kewajiban yang dikenal sebagai prorata crude, tetap
harus mereka serahkan kepada pemerintah. Tapi dengan perhitungan
harga minyak yang berlaku sekarang. Juga pembagian prorata yang
tadinya 89:11 diturunkan menjadi 85:15 untuk Indonesia, sesuai
dengan ketentuan 'bagi hasil' yang berlaku. Semua itu berlaku
untuk lima tahun pertama, dengan maksud agar perangsang itu
digunakan untuk membantu usaha eksplorasi.
Untuk perusahaan-perusahaan yang akan mengebor sumur baru di
tempat tempat yang dipandang sulit, mereka dibolehkan
menyisihkan 20% dari produksinya kelak dalam tahun pertama.
Penyisihan itu bisa mereka lakukan sebelum dilakukan pembagian
yang 85: 15. Tempat-tempat yang dipandang sulit itu adalah
daerah baru yang terpisah 56 Km dari pantai atau pangkalan
minyak. Sedang untuk 'lepas pantai' berlaku bagi pengeboran yang
lebih dari 100 M (300 kaki).
Masa penghapusan bagi semua investor berlaku rata 7 tahun
dengan menggunakan metode depresiasi DDB double declining
balance). Metode ini membolehkan perusahaan melakukan penyusutan
barang-barang modalnya dua kali lipat selama 7 tahun. Berbeda
dengan ketentuan 'bagi-hasil' yang berlaku sekarang, perusahaan
yang memiliki cadangan minyak lebih dari 7 tahun dikenakan masa
depresiasi yang lebih berat: 14 tahun.
Perangsang tersebut tampaknya memng menarik, kalau saja ada
perusahaan minyak baru ataupun yang sekarang ada di sini berniat
mencari sumur baru. Seperti kata Sadli: "Perangsang ini hanya
berlaku bagi sumur-sumur baru dan minyak baru". Tapi adakah
tanda-tanda bahwa perangsang itu akan menggalakkan eksplorasi
minyak yang kini terasa mandeg? "Yah, kita lihat saja dalam
bulan-bulan ini", kata Sadli.
Perlu "Jual Mahal"
Ia mengakui adanya anggapan bahwa pemerintah bersikap "pelit"
dalam memberikan perangsang. Tapi dengan produksi Indonesia Yang
di luar dugaan meningkat hingga 1,6 juta barrel sehari, Mcnteri
Pertambangan tak merasa khawatir bahwa produksi akan turun.
"Kalaupun tak ada yang terangsang, efeknya baru akan terasa tiga
tahun dari sekarang", katanya. Optimisme itu didasarkan pada
produksi Caltex yang menurut Sadli akan bertahan rata-rata 830
ribu barrel sehari. Ditambah dengan produksi 'enam besar'
perusahaan bagi hasil serta yang kecil-kecil lainnya, Sadli
merasa yakin produksi tak akan terganggu selama tia tahun.
Tapi ada juga dikemukakan alasan lain mengapa pemerintah merasa
perlu untuk jual mahal. "Kekayaan minyak kita ini 'kan
terbatas", katanya. "Jadi masuk akal kalau pemerintah sekarang
mulai berhemat-hemat dan tidak lagi seroyal dulu".
Benar juga. Tapi apakah persyaratan plus perangsang yang
disodorkan pemerintah sekarang itu masih lumayan dibandingkan
dengan negara lain? Menurut Sadli memang begitu. "Paling tidak
kita ini kira-kira sama dengan Malaysia", katanya. Menyodorkan
sebuah daftar yang dikeluarkan Komisi konomi OPEC (Economic
Commission Boatd) di Wina, Sadli menunjukkan bahwa keuntungan
yang diperoleh perusahaan minyak di Indonesia masih lumayan.
Hasil ECB itu menunjukkan bahwa selama Juli tahun lalu, masih
ada selisih sebanyak $ 1,15 per barrel setelah biaya penjualan
langsung ($ 12.80) dikurangi biaya operasi perusahaan ($ 10,65).
Kini dengan adanya perangsang baru, perusahaan minyak, menurut
perhitungan Sadli, akan bisa menarik keuntungan sekitar $ 1,40 -
$ 1,45 per barrel, kalau mereka bersedia melanjutkan pencarian
minyak baru.
Beberapa kalangan minyak asing yang dihubungi peka[l lalu
mengakui: "Kami memang masih beruntung kalau dilihat dari
perhitungan biaya begitu". Tapi yang rupanya mereka inginkan
adalah formula yang berlaku seperti di Aljazair dan beberapa
negara lainnya yang mengenal prinsip 'bagi-hasil'. Yakni: biaya
pembangunan (development cost) dan selama masa eksplorasi
menjadi tanggungan pemerintah. Sedang di Indonesia biaya itu
menjadi tanggungan para kontraktor.
Sembari tersenyum Prof. Sadli mengakui itu di banyak negara
menjadi urusan pemerintah. Mengapa di Indonesia tidak? "Yah,
soalnya kita tak punya uang", jawabnya menghela nafas (lihat
wawancara dengan Piet Haryono).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini