Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kalangan Minyak Asing Tak ...

Pemerintah memberikan perangsang kepada kontraktor dari perusahaan minyak bagi hasil. Tapi, kalangan minyak asing masih menganggap pemerintah pelit dalam memberi perangsang. (eb)

5 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALANGAN minyak asing kelihatannya tak merasa senang. Mengapa? Bukankah pemerintah sudah menyetujui untuk memberikan beberapa perangsang baru? Seorang kontraktor dari perusahaan minyak 'bagi-hasil' yang cukup besar, kepada TEMPO pekan lalu mengatakan "untuk sementara kami akan bertahan pada produksi yang sekarang". Tapi dengan cepat seorang rekannya menyelak. "Posisi kami sekarang memang begitu, tapi kalau ekspor tetap membaik, mungkin saja kami akan mencari minyak lebih banyak". Kapan? "Yah, kami ingin lihat-lihat dulu sampai setelah pemilu", jawabnya diplomatis. Seorang kontraktor yang belum beroleh minyak lain lagi jawabnya. "Saya berani bertaruh, tak ada yang merasa gembira", katanya. Si kontraktor yang mungkin merasa kesal karena belum juga mendapat minyak -- mulai mengenang masa lalu. "Suasana sekarang memang tak begitu menguntungkan bagi kami yang kecil-kecil", ucapnya, Tapi ia tak segera menjawab ketika ditanya, apakah itu berarti perusahaannya akan pamit dari sini. "Itu juga sedang merupakan pemikiran", katanya. Agaknya para kontraktor yang ditemui pekan lalu itu seperti berharap banyak. Terutama setelah adanya seminar sehari yang diadakan CSIS pertengahan Januari lalu dengan prakarsa Let. Jen. Ali Moertopo. yang diakhiri dengan foto bersama Presiden serta makan siang bersama di proyek Miniatur. Tapi baik Menteri Pertambangan Sadli maupun Dirut Pertamina Piet Haryono, sudah mengingatkan bahwa perangsang itu tak akan meruban ketentuan baru yang sudah diputuskan sejak awal Agustus tahun lalu. Pas-Pasan Menteri Sadli ketika ditemui pekan lalu rupanya sudah mengetahui sikap dingin para kontraktor. Kepada Fikri Jufri dari TEMPO, Sadli berkata: "Perangsang itu memang pas-pasan". Adapun isi perangsang itu menyangkut tiga hal:  Kewajiban untuk menyisihkan 20% dari produksi yang harus dijual dengan harga 20 sen dollar per barrel pada Pertamina kini dihapuskan. Kewajiban yang dikenal sebagai prorata crude, tetap harus mereka serahkan kepada pemerintah. Tapi dengan perhitungan harga minyak yang berlaku sekarang. Juga pembagian prorata yang tadinya 89:11 diturunkan menjadi 85:15 untuk Indonesia, sesuai dengan ketentuan 'bagi hasil' yang berlaku. Semua itu berlaku untuk lima tahun pertama, dengan maksud agar perangsang itu digunakan untuk membantu usaha eksplorasi.  Untuk perusahaan-perusahaan yang akan mengebor sumur baru di tempat tempat yang dipandang sulit, mereka dibolehkan menyisihkan 20% dari produksinya kelak dalam tahun pertama. Penyisihan itu bisa mereka lakukan sebelum dilakukan pembagian yang 85: 15. Tempat-tempat yang dipandang sulit itu adalah daerah baru yang terpisah 56 Km dari pantai atau pangkalan minyak. Sedang untuk 'lepas pantai' berlaku bagi pengeboran yang lebih dari 100 M (300 kaki).  Masa penghapusan bagi semua investor berlaku rata 7 tahun dengan menggunakan metode depresiasi DDB double declining balance). Metode ini membolehkan perusahaan melakukan penyusutan barang-barang modalnya dua kali lipat selama 7 tahun. Berbeda dengan ketentuan 'bagi-hasil' yang berlaku sekarang, perusahaan yang memiliki cadangan minyak lebih dari 7 tahun dikenakan masa depresiasi yang lebih berat: 14 tahun. Perangsang tersebut tampaknya memng menarik, kalau saja ada perusahaan minyak baru ataupun yang sekarang ada di sini berniat mencari sumur baru. Seperti kata Sadli: "Perangsang ini hanya berlaku bagi sumur-sumur baru dan minyak baru". Tapi adakah tanda-tanda bahwa perangsang itu akan menggalakkan eksplorasi minyak yang kini terasa mandeg? "Yah, kita lihat saja dalam bulan-bulan ini", kata Sadli. Perlu "Jual Mahal" Ia mengakui adanya anggapan bahwa pemerintah bersikap "pelit" dalam memberikan perangsang. Tapi dengan produksi Indonesia Yang di luar dugaan meningkat hingga 1,6 juta barrel sehari, Mcnteri Pertambangan tak merasa khawatir bahwa produksi akan turun. "Kalaupun tak ada yang terangsang, efeknya baru akan terasa tiga tahun dari sekarang", katanya. Optimisme itu didasarkan pada produksi Caltex yang menurut Sadli akan bertahan rata-rata 830 ribu barrel sehari. Ditambah dengan produksi 'enam besar' perusahaan bagi hasil serta yang kecil-kecil lainnya, Sadli merasa yakin produksi tak akan terganggu selama tia tahun. Tapi ada juga dikemukakan alasan lain mengapa pemerintah merasa perlu untuk jual mahal. "Kekayaan minyak kita ini 'kan terbatas", katanya. "Jadi masuk akal kalau pemerintah sekarang mulai berhemat-hemat dan tidak lagi seroyal dulu". Benar juga. Tapi apakah persyaratan plus perangsang yang disodorkan pemerintah sekarang itu masih lumayan dibandingkan dengan negara lain? Menurut Sadli memang begitu. "Paling tidak kita ini kira-kira sama dengan Malaysia", katanya. Menyodorkan sebuah daftar yang dikeluarkan Komisi konomi OPEC (Economic Commission Boatd) di Wina, Sadli menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh perusahaan minyak di Indonesia masih lumayan. Hasil ECB itu menunjukkan bahwa selama Juli tahun lalu, masih ada selisih sebanyak $ 1,15 per barrel setelah biaya penjualan langsung ($ 12.80) dikurangi biaya operasi perusahaan ($ 10,65). Kini dengan adanya perangsang baru, perusahaan minyak, menurut perhitungan Sadli, akan bisa menarik keuntungan sekitar $ 1,40 - $ 1,45 per barrel, kalau mereka bersedia melanjutkan pencarian minyak baru. Beberapa kalangan minyak asing yang dihubungi peka[l lalu mengakui: "Kami memang masih beruntung kalau dilihat dari perhitungan biaya begitu". Tapi yang rupanya mereka inginkan adalah formula yang berlaku seperti di Aljazair dan beberapa negara lainnya yang mengenal prinsip 'bagi-hasil'. Yakni: biaya pembangunan (development cost) dan selama masa eksplorasi menjadi tanggungan pemerintah. Sedang di Indonesia biaya itu menjadi tanggungan para kontraktor. Sembari tersenyum Prof. Sadli mengakui itu di banyak negara menjadi urusan pemerintah. Mengapa di Indonesia tidak? "Yah, soalnya kita tak punya uang", jawabnya menghela nafas (lihat wawancara dengan Piet Haryono).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus