Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kalau Boleh Berhenti Langganan

Kenaikan tarif listrik yang berlaku mulai mei'80 di rasa sangat memberatkan langganan, 3 fraksi dpr minta kenaikan tersebut ditinjau kembali. (eb)

28 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGANKAN menghemat, tanpa menyalakan samasekali, seorang langganan bisa kena tagihan Rp 18.000. Inilah buntut kenaikan tarif listrik yang berlaku sejak Mei. Kenaikan tarif tenaga listriknya sendiri bervariasi. Yang mendapatkan sambungan dengan batas daya sampai 250 watt kenaikan bea pemakaian 13%, sedangkan yang 6600 watt ke atas kena 175%. Variasi itu menurut Dirjen Ketenagaan Departemen Pertambangan dan Energi, Prof Dr Semaoen Samadikun merupakan satu kebijaksanaan "subsidi antarkelompok konsumen". Tetapi bea beban (jumlah tenaga listrik yang tersedia) naik dari RP 480 menjadi RP 2.800/ 1000 watt. Tanpa pandang bulu. Sehingga seorang langganan dengan batas daya 6600 watt, belum apa-apa sudah terkena RP 18.480/bulan. Kenaikan bea pemakaian sendiri yang didasarkan pada kenaikan BBM yang 50%, nampaknya masih bisa diterima konsumen. Yang membikin langganan kaget adalah kenaikan batas daya yang melonjak 483%. Batas daya yang dalam kolom tarif yang dikeluarkan PLN disebutkan sebagai 'bea beban', sekarang benar-benar menjadi beban. Seorang pembaca harian Konpas bertanya dari mana dasar kenaikan yang hampir 5 kali itu? Sebuah sumber yang mengetahui di PLN menyebutkan: "Andaikata kenaikan BBM ditambah dengan Kenop 15 dan akibat yang dititnbulkan resesi ekonomi dunia dijadikan patokan, kenaikan bea beban toh takkan sampai 400%." Dalam jumpa pers pertengahan Juni, Semaoen menyebutkan kenaikan tarif listrik sekarang bukan saja karena adanya penyesuaian dengan harga BBM, "tapi terutama bertujuan meningkatkan investasi dan biaya operasi PLN sendiri." Beban yang dilimpahkan kepada masyarakat konsumen itu mencapai 21% dari investasi PLN. Dana yang diperoleh PLN dari APBN sebesar RP117 milyar ditambah lagi dana valuta asing yang mencapai RP 269,2 milyar. Seluruh dana berjumlah Rp 386,2 milyar. "Maka investasi yang harus ditanggung konsumen adalah Rp 81,1 milyar." Menutup Investasi Menjadi pertanyaan "PLN 'kan bukan perum tapi public utility. Oleh karena itu bagaimana duduk soalnya sebagian investasi menjadi tanggungan konsumen " ujar Ir. Soenarjo dari F-KP dan anggota Komisi Vl DPR-RI. Menurut Soenarjo kenaikan tarif listrik seharusnya diputuskan oleh Menteri. Tetapi yang dia dengar kenaikan tarif sekarang itu sebagai keputusan Direksi PLN, seizin Menteri. Menurut sumber di PLN, jika dikelola dengan efisien perusahaan itu tak perlu menempuh kenaikan tarif berlipat ganda untuk menutup biaya investasi. Pada tahun 1977 direksi PLN kabarnya melaporkan kerugian sekitar Rp 1 milyar."Beitu dihitung kembali oleh dinas akuntan negara PLN bukannyl rugi tapi malahan untung RP8 milyar," kata beberapa sumber TEMPO. "Kenaikan tarif dari bea beban ni semata-mata hanya didasarkan pada sikap yang ingin bekerja dengan ikat pinggang longgar, kata seorang ahli masalah kehstrikan. Kenaikan tarif listrik sekarang ini mendapat reaksi 3 fraksi di DPR, kecuali F-ABRI. Ketiga fraksi menganggap kenaikan itu perlu ditinjau kembali, karena memberatkan masyarakat. Ongkos listrik di sini dianggap sudah terlalu tinggal. "Seharusnya masyarakat tidak boleh membayar lebih 3% dari penghasilannya," kata Sunaryo Hadade dari F-KP. "Dengan tarif listrik seperti sekarang ini konsumsi listrik bisa mencapai 20% dari pendapatan. Dengan bea beban yang naik hampir 500% tiap langganan terkena pembayaran pada tingkat 10% dari pendapatannya, walaupun listriknya dimatikan," tambah Rachmat Mulyomiseno dari FPP. Seorang purnawirawan TNI AD berpangkat peltu di Jalan Cidurian, Jakarta bulan Mei membayar Rp 9.570. Sebelumnya ia membayar Rp 4.520. "Padahal saya selalu berhemat. Lampu yang tak perlu saya matikan," katanya. Dari uang pensiunnya yang Rp 80.000 dia menghabiskan 8,3% hanya untuk listrik. Tak Ada Pilihan Konsumen lain mengecam kenaikan ini, karena PLN selama ini belum memadai pelayanannya. Voltase tidak stabil, hingga langganan harus mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk membeli stabilisator. "Lagi pula kalau terjadi pemutusan listrik apakah PLN bersedia mengurangi bea beban sesuai dengan jumlah waktu tidak adanya listrik," tanya seorang langganan. Sampai pekan lalu belum terdengar ada langganan yang meminta ke pada pihak PLN untuk menciutkan pemakaian listriknya. Sekalipun ada yang akan menghemat dengan jalan ini, pelaksanaannya akan memakan waktu lama. Maklum PLN masih kekurangan tenaga, sampai-sampai untuk mengecek stand meter yang seharusnya dikerjakan sebulan sekali, diulur menjadi 3 bulan. Para pengusaha sendiri melihat pelayanan PLN selama ini belum bisa menjamin kesinambungan aliran. Pabrikpabrik memasang pembangkit tenaga listrik sendiri. Tapi karena adanya semacam keharusan yang ditimbulkan dengan mewajibkan pabrik langganan PLN -- kalau ingin mendapat izin pemasangan generator -- pabrik-pabrik terpaksa langganan. Di Surabaya, Pepsi Cola yang didirikan tahun 1977 memperhitungkan dengan berlangganan pada PLN akan menelan biaya sekitar Rp 800.000/bulan. Sedang dengan generator sendiri hanya Rp 500.000. Tapi karena adanya kewajiban, Pepsi langganan 20.000 watt. dibandingkan tarif 1977 saja PLN diperhitungkan masih lebih mahal. Apalagi sekarang. "Kalau biaya listrik beginl tinggi saya akan memilih generator saja kalau boleh," ulas Hasan Fathurrahman, direktur Pepsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus