JANGANKAN menghemat, tanpa menyalakan samasekali, seorang
langganan bisa kena tagihan Rp 18.000. Inilah buntut kenaikan
tarif listrik yang berlaku sejak Mei. Kenaikan tarif tenaga
listriknya sendiri bervariasi. Yang mendapatkan sambungan dengan
batas daya sampai 250 watt kenaikan bea pemakaian 13%, sedangkan
yang 6600 watt ke atas kena 175%.
Variasi itu menurut Dirjen Ketenagaan Departemen Pertambangan
dan Energi, Prof Dr Semaoen Samadikun merupakan satu
kebijaksanaan "subsidi antarkelompok konsumen". Tetapi bea beban
(jumlah tenaga listrik yang tersedia) naik dari RP 480 menjadi
RP 2.800/ 1000 watt. Tanpa pandang bulu. Sehingga seorang
langganan dengan batas daya 6600 watt, belum apa-apa sudah
terkena RP 18.480/bulan.
Kenaikan bea pemakaian sendiri yang didasarkan pada kenaikan BBM
yang 50%, nampaknya masih bisa diterima konsumen. Yang membikin
langganan kaget adalah kenaikan batas daya yang melonjak 483%.
Batas daya yang dalam kolom tarif yang dikeluarkan PLN
disebutkan sebagai 'bea beban', sekarang benar-benar menjadi
beban. Seorang pembaca harian Konpas bertanya dari mana dasar
kenaikan yang hampir 5 kali itu? Sebuah sumber yang mengetahui
di PLN menyebutkan: "Andaikata kenaikan BBM ditambah dengan
Kenop 15 dan akibat yang dititnbulkan resesi ekonomi dunia
dijadikan patokan, kenaikan bea beban toh takkan sampai 400%."
Dalam jumpa pers pertengahan Juni, Semaoen menyebutkan kenaikan
tarif listrik sekarang bukan saja karena adanya penyesuaian
dengan harga BBM, "tapi terutama bertujuan meningkatkan
investasi dan biaya operasi PLN sendiri." Beban yang dilimpahkan
kepada masyarakat konsumen itu mencapai 21% dari investasi PLN.
Dana yang diperoleh PLN dari APBN sebesar RP117 milyar ditambah
lagi dana valuta asing yang mencapai RP 269,2 milyar. Seluruh
dana berjumlah Rp 386,2 milyar. "Maka investasi yang harus
ditanggung konsumen adalah Rp 81,1 milyar."
Menutup Investasi
Menjadi pertanyaan "PLN 'kan bukan perum tapi public utility.
Oleh karena itu bagaimana duduk soalnya sebagian investasi
menjadi tanggungan konsumen " ujar Ir. Soenarjo dari F-KP dan
anggota Komisi Vl DPR-RI.
Menurut Soenarjo kenaikan tarif listrik seharusnya diputuskan
oleh Menteri. Tetapi yang dia dengar kenaikan tarif sekarang itu
sebagai keputusan Direksi PLN, seizin Menteri.
Menurut sumber di PLN, jika dikelola dengan efisien perusahaan
itu tak perlu menempuh kenaikan tarif berlipat ganda untuk
menutup biaya investasi. Pada tahun 1977 direksi PLN kabarnya
melaporkan kerugian sekitar Rp 1 milyar."Beitu dihitung kembali
oleh dinas akuntan negara PLN bukannyl rugi tapi malahan untung
RP8 milyar," kata beberapa sumber TEMPO.
"Kenaikan tarif dari bea beban ni semata-mata hanya didasarkan
pada sikap yang ingin bekerja dengan ikat pinggang longgar,
kata seorang ahli masalah kehstrikan.
Kenaikan tarif listrik sekarang ini mendapat reaksi 3 fraksi di
DPR, kecuali F-ABRI. Ketiga fraksi menganggap kenaikan itu perlu
ditinjau kembali, karena memberatkan masyarakat. Ongkos listrik
di sini dianggap sudah terlalu tinggal.
"Seharusnya masyarakat tidak boleh membayar lebih 3% dari
penghasilannya," kata Sunaryo Hadade dari F-KP. "Dengan tarif
listrik seperti sekarang ini konsumsi listrik bisa mencapai 20%
dari pendapatan. Dengan bea beban yang naik hampir 500% tiap
langganan terkena pembayaran pada tingkat 10% dari
pendapatannya, walaupun listriknya dimatikan," tambah Rachmat
Mulyomiseno dari FPP.
Seorang purnawirawan TNI AD berpangkat peltu di Jalan Cidurian,
Jakarta bulan Mei membayar Rp 9.570. Sebelumnya ia membayar Rp
4.520. "Padahal saya selalu berhemat. Lampu yang tak perlu saya
matikan," katanya. Dari uang pensiunnya yang Rp 80.000 dia
menghabiskan 8,3% hanya untuk listrik.
Tak Ada Pilihan
Konsumen lain mengecam kenaikan ini, karena PLN selama ini belum
memadai pelayanannya. Voltase tidak stabil, hingga langganan
harus mengeluarkan uang yang tak sedikit untuk membeli
stabilisator. "Lagi pula kalau terjadi pemutusan listrik apakah
PLN bersedia mengurangi bea beban sesuai dengan jumlah waktu
tidak adanya listrik," tanya seorang langganan.
Sampai pekan lalu belum terdengar ada langganan yang meminta ke
pada pihak PLN untuk menciutkan pemakaian listriknya. Sekalipun
ada yang akan menghemat dengan jalan ini, pelaksanaannya akan
memakan waktu lama. Maklum PLN masih kekurangan tenaga,
sampai-sampai untuk mengecek stand meter yang seharusnya
dikerjakan sebulan sekali, diulur menjadi 3 bulan.
Para pengusaha sendiri melihat pelayanan PLN selama ini belum
bisa menjamin kesinambungan aliran. Pabrikpabrik memasang
pembangkit tenaga listrik sendiri. Tapi karena adanya semacam
keharusan yang ditimbulkan dengan mewajibkan pabrik langganan
PLN -- kalau ingin mendapat izin pemasangan generator --
pabrik-pabrik terpaksa langganan.
Di Surabaya, Pepsi Cola yang didirikan tahun 1977
memperhitungkan dengan berlangganan pada PLN akan menelan biaya
sekitar Rp 800.000/bulan. Sedang dengan generator sendiri hanya
Rp 500.000. Tapi karena adanya kewajiban, Pepsi langganan 20.000
watt. dibandingkan tarif 1977 saja PLN diperhitungkan masih
lebih mahal. Apalagi sekarang. "Kalau biaya listrik beginl
tinggi saya akan memilih generator saja kalau boleh," ulas Hasan
Fathurrahman, direktur Pepsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini