GEDUNG bertingkat dua di Jl. R.E. Martadinata, Bandung, masih
terasa lengang. PT Propelat, perusahaan konstruksi industri dan
perdagangan umum milik Yayasan Kartika Siliwangi memang belum
pulih benar dari sakitnya, akibat kena sabet krisis pertamina
tempo hari. Karyawan yang dulu 300 sekarang tinggal 190. Tapi di
bawah Dir-Ut Letjen H.R. Dharsono -- yang memimpin PT Propelat
sejak 10 Desember 1978 -- perusahaan besar itu pelan-pelan mulai
merangkak lagi. Tiba-tiba, di luar dugaan banyak pegawainya,
bekas Panglima Siliwangi dan bekas Sekjen Asean itu, menyatakan
mundur dari Propelat.
"Dalam memelihara hubungan PT Propelat dengan pihak luar
umumnya, teristimewa dengan pihak pemerintah, saya merasa kurang
mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan," bunyi surat
pengunduran diri yang ditandatangani Letjen Dharsono. Dalam
surat itu juga disebutkan: "Karena atas pertimbangan tersebut,
kehadiran saya sebagai dir-ut PT Propelat jelas akan menghambat
kemajuan perusahaan yang akan dirasakan pula akibatnya oleh
Propelat Grup sebagai keseluruhan."
Utang
Ada apa? "Jelasnya, PT Propelat di bawah pimpinan saya tidak
dimungkinkan mendapat pekerjaan dan fasilitas dari pemerintah,"
ujar H.R. Dharsono. Ierkemeja warna krem, celana biru tua
dengan rambut mulai memutih, tokoh Siliwangi yang biasa
dipanggil Pak Ton ItU masih tetap ramping dan cekatan. Dia
sendiri belum tahu betul apa yang akan dilakukannya setelah ini.
"Tapi yang pasti saya ingin terus berkecimpung di bidang
bisnis," katanya.
Ayah dari tiga putra, tiga putri dan kakek dari dua cucu itu
pada 1 Juli mendatang memasuki masa pensiun, dalam usia yang
baru 55 tahun. Lahir di Kecamatan Pagunemungan, Pekalongan, ia
memang tak dikenal berdarah dagang. Ayahnya juga seorang camat.
Tapi beberapa karyawan mengakui adalah "Pak Ton yang sebenarnya
berhasil meletakkan dasar-dasar untuk bangunnya kembali
perusahaan yang hampir bangkrut itu."
Selain utang sudah menggunung, tak ada satu bank pun yang senang
memberi pinjaman kepada Propelat. Untuk membuktikan bahwa
Propelat masih anggup merangkak, dijalin kerjasama dengan PT
Mega Eltra, sebuah perusahaan negara. "Walaupun PT Propelat cuma
mendapat 10% dari proyekyangdigarap PT Mega Eltra, toh kami
tempuh juga sekedar untuk mendapat kepercayaan dari bank," kata
Dharsono.
Pihak Bank Dagang Negara pada akhir 1979 menyatakan bersedia
untuk membantu PT Propelat. Adapun proyek-proyek yang berhasil
dibangun dibawah konsorsium PT Mega Eltra adalah proyek
transmigrasi di Riau, jalan raya Suryalaya di Banten, dua proyek
PAM di Bekasi dan Pelabuhanratu. Seluruhnya berjumlah Rp 2
milyar. Ketika ditimpa kesulitan, kekayaan PT Propelat cuma
senilai Rp 4 milyar. Sekarang belum dilakukan inventarisasi,
tapi menurut Dharsono tak kurang dari Rp 5 milyar.
Ir Bambang Hendarto Parikesit, 33tahun, Dir-Ut PT Mettana, salah
sebuah anak perusahaan PT Propelat, punya penilaian sendiri
tentang Letjen Dharsono. "Dulu saya agak ragu Pak Ton bisa
berhasil memimpin Propelat, soalnya ia orang baru dalam dunia
bisnis. Tapi keraguan saya hilang setelah ternyata setapak demi
setapak PT Propelat maju kembali, " kata Bambang. "Memang
seorang dir-ut tidak mutlak orang yang menguasai masalah
teknis. Cukup dia bertindak sebagai pimpinan yang punya banyak
relasi. Dan khusus dalam soal relasi Pak Ton boleh diandalkan."
H.R. Dharsono, orang populer yang disukai banyak bawahan di
Propelat itu memang lincah dalam bergaul. Tapi dalam hal relasi
itu pula belakangan ini banyak pintu mulai ia rasakan tertutup.
"Apa boleh buat, lebih baik ia sendiri yang mundur daripada
timbul banyak korban," ujar Bambang pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini