Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Karet Tumbang, Emas Melayang

Lesunya ekonomi membuat harga beberapa komoditas andalan ekspor anjlok. Target dipangkas, petani merana terkena imbas.

27 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesialan mulai menimpa Rusdi bersamaan dengan menurunnya harga karet. Mewarisi kebun dari leluhurnya, petani di Desa Rantau, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, itu akhirnya menyerah. Dia jual warisan itu ke perusahaan kelapa sawit. "Pertengahan tahun ini saya jual," katanya kepada Tempo, Ahad dua pekan lalu.

Hasil jual kebun itu ia belikan mesin diesel merek Dongfeng, yang kemudian digunakannya untuk memompa air di lokasi tambang emas di kampungnya. Ia memutuskan alih profesi, mengikuti banyak rekan dan tetangganya yang lebih dulu tergoda berburu emas. Apes bagi Rusdi, di lubang pertama yang ia gali itu tak ditemukan konsentrat emas. Dia mulai bangkrut.

Kepalang tanggung, Rusdi mencoba peruntungan ke lokasi lain di Gua Boma, area penambangan lain di Monterado. Hasilnya lumayan, setidaknya dibanding saat dia menoreh karet. "Paling sedikit bisa dapat Rp 200 ribu per hari dari menambang," katanya.

Tapi keberuntungan Rusdi tak bertahan lama. Longsor yang terjadi pada 4 Oktober lalu menutup Gua Boma yang jadi tumpuan mata pencariannya. Di sana ia juga kehilangan 18 rekannya sesama penambang yang terkubur longsoran.

Seperti halnya Rusdi, kisah para penambang di Gua Boma itu tak jauh beda. Banyak dari mereka sebelumnya adalah petani atau pekebun, yang terpaksa mencari alternatif sumber rezeki setelah harga getah karet tak mampu lagi mencukupi hidup mereka. Penurunan harga komoditas perkebunan di pasar dunia dalam beberapa bulan belakangan telah berimbas jauh sampai ke pelosok-pelosok daerah tempat karet dan hasil kebun itu berasal.

Dari Kabupaten Landak, misalnya, Bety dan sang suami dulu biasa pergi sejak subuh untuk menyadap karet. Sampai pukul 8 pagi, keduanya bisa mengumpulkan 10-13 kilogram getah. Dengan harga getah karet mentah sampai Rp 11 ribu per kilogram, paling kurang Rp 100 ribu sudah di tangan dari kerja tak sampai setengah hari. "Setelah itu saya bisa mengurus keluarga," kata ibu tiga anak ini.

Lain dulu, lain sekarang. Sejak beberapa bulan lalu harga getah terus menurun, dan kini tinggal Rp 2.000 per kilogram. Menyadap karet tak lagi bisa diharapkan. Bety mulai mencari tambahan dengan bekerja serabutan di toko kelontong atau menjadi buruh cuci di rumah tetangga. Penghasilannya Rp 25 ribu dari jaga toko dan Rp 20 ribu dari upah mencuci. "Sekarang kerjanya seharian penuh, anak-anak enggak terurus."

Jauh di seberang pulau, persoalan yang dialami Dahlan sama belaka. Petani di Desa Dosan, Kecamatan Pusako, Kabupaten Siak, Riau itu juga merasakan imbas gejolak harga hasil kebun sawit yang anjlok dari harga sebelumnya yang rata-rata Rp 1.600 per kilogram. Sejak Agustus lalu, tandan buah sawit segar dari kebunnya hanya terjual Rp 800 per kilogram atau tinggal separuhnya. "Uang kiriman ke anak mau tak mau saya kurangi," ujarnya Ahad dua pekan lalu.

Anak pertama Dahlan sedang kuliah di Universitas Riau di Pekanbaru. Uang saku si sulung, yang biasa mendapat Rp 1 juta per bulan, sejak Agustus lalu dipotong jadi Rp 800 ribu saja. Bukan cuma itu, tiga anaknya yang lain juga terpaksa tak mendapat baju baru pada Lebaran lalu. "Untung sekarang harga sudah mulai naik lagi jadi Rp 1.200 per kilogram, jadi agak longgar," ujar pemilik 4 hektare kebun sawit ini.

l l l

Direktur Eksekutif Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan memprediksi harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar dunia masih stagnan hingga akhir Oktober pada angka US$ 700-730 per ton. "Jika ada kenaikan pun tak akan signifikan, karena stok minyak nabati lainnya melimpah, sehingga harga CPO tidak akan terdongkrak," ujarnya pada Rabu pekan lalu.

Bila prediksi Fadhil benar, bukan hanya petani seperti Dahlan yang merugi, negara juga akan kehilangan sumber pemasukan dari pengenaan bea ekspor atas komoditas ini. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223 Tahun 2008, bea keluar CPO dihapus bila harganya di bawah US$ 750 per ton.

Kendati demikian, kata Fadhil, pengusaha tak akan mengambil kesempatan itu untuk jorjoran mengekspor CPO. Menurut dia, sejak bulan lalu, saat harga di kisaran US$ 680-730 per ton, ekspor CPO dan produk turunannya hanya 1,695 juta ton atau turun 1,6 persen dibanding Agustus, yang mencapai 1,72 juta ton.

Secara kumulatif, kinerja ekspor sampai kuartal ketiga juga tercatat turun 1,75 persen, dari 15,3 juta ton per September 2013 menjadi hanya 15 juta ton per September 2014. "Penurunan ini dikarenakan daya beli negara tujuan ekspor utama, yaitu Cina dan India, yang lemah," Fadhil menjelaskan.

Dia mencatat, pada September lalu, volume ekspor CPO Indonesia ke India hanya 305 ribu ton. Angka itu turun 38 persen dari bulan sebelumnya, yang mencapai 490 ribu ton. Hal yang sama terjadi dengan pasar Cina, yang pada September lalu ekspor CPO kita tercatat hanya 56,26 ribu ton, atau turun 31 persen dibanding Agustus, yaitu 81 ribu ton.

Volume ekspor CPO Indonesia ke negara-negara Eropa juga turun 12 persen, dari 341 ribu ton pada Agustus menjadi 302 ribu ton pada September. Angka penjualan ke Pakistan pun tergelincir 7 persen dari 194 ribu ton pada Agustus menjadi 181 ribu ton pada September 2014.

Yang menarik, kata Fadhil, volume ekspor ke Amerika Serikat justru naik 86 persen menjadi 68,8 ribu ton pada September lalu, dibanding angka Agustus sebanyak 36,9 ribu ton. Besar kemungkinan pembeli di Amerika sengaja menampung pada saat harga sedang jeblok. Sebab, pada saat bersamaan, produksi kedelai di Amerika Selatan juga sedang melimpah dan harganya jatuh. "Minyak sawit bukanlah satu-satunya komoditas yang harganya lesu. Sumber minyak nabati lain juga turun karena stoknya melimpah."

Jebolnya harga karet juga membuat pening para pengekspor di negara-negara penghasil. Pada 10 Oktober lalu, Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) menghadiri panggilan Ketua Eksekutif International Rubber Consortium (IRCo) bersama empat ketua asosiasi perdagangan karet lain. Mereka berasal dari Thai Rubber Association (TRA), Malaysia Rubber Board (MRB), Vietnam Rubber Association (VRA), dan Association for Rubber Development of Cambodia (ARDC). Pertemuan digelar di Melaka, Malaysia. "Semua ikut bingung, semua kedodoran," ujar Dewan Penasihat Gapkindo, Asril Sutan Amir, Kamis pekan lalu.

Hasil pertemuan itu, kata Asril, adalah kesepakatan untuk mendesak anggota asosiasi masing-masing agar tidak menjual karet pada tingkat lebih rendah dari harga saat ini. "Harga sudah rendah, jangan makin diobral."

Selain itu, menurut Asril, forum mengimbau anggota asosiasi mengurangi pasokan karet 5-10 persen. Dengan begitu, Indonesia diharapkan memangkas target produksinya dari 2,95 juta ton tahun ini menjadi antara 2,65 juta ton dan 2,8 juta ton.

Pengaturan pasokan itu, kata Asril, perlu dilakukan karena sebagian besar karet yang dihasilkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara diekspor sebagai bahan baku industri otomotif, kesehatan, perkakas rumah tangga, dan sebagainya. Hanya 15 persen yang diserap oleh industri di dalam negeri. Maka, bila ada satu negara yang membanjiri dunia dengan stoknya, harga di pasar dunia akan semakin hancur. "Yang harus dilakukan sekarang adalah agar semua pihak menahan diri."

Penurunan harga komoditas ekspor dalam beberapa bulan ini dirasakan telah menjadi masalah nasional. Pada hari terakhir berkantor sebagai Menteri Perdagangan, Jumat, 17 Oktober lalu, Muhammad Lutfi sampai harus merevisi target ekspor 2014, dari semula US$ 190 miliar menjadi US$ 184,3 miliar.

"Dengan berat hati kami harus melakukan koreksi target ini," ujarnya saat itu. Apalagi kemerosotan harga tak cuma menimpa produk pertanian, tapi juga hasil tambang. Harga batu bara, tembaga, dan bijih besi ikut pula melorot. Kisarannya 5-35 persen sepanjang Januari-September 2014.

Penyebabnya, kata Lutfi, adalah koreksi pertumbuhan ekonomi di Cina dan India, serta stagnasi di Amerika Serikat dan kawasan Eropa. "Akibatnya, kebutuhan mereka akan produk kita turun. Harga ikut anjlok."

Agar menteri baru pengganti Lutfi lebih ringan melangkah, target ekspor harus dibuat lebih realistis. Maklum, ekspor Indonesia saat ini masih bergantung pada hasil alam, bukan produk industri. Tiga yang paling mendominasi adalah batu bara, sawit, dan karet berikut produk turunannya. Setidaknya, sampai Agustus lalu, 34,42 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia disumbang oleh pengiriman ketiga jenis komoditas tersebut.

Lesunya ekonomi telah pula membuat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengoreksi target pertumbuhan perdagangan dunia tahun ini dari 4,7 persen menjadi hanya 3,1 persen. Mereka mencatat, harga rata-rata semua komoditas yang diperdagangkan di dunia turun 3,2 persen pada Agustus. "Penurunan terjadi di hampir semua sektor utama, tapi yang paling rendah adalah sektor energi dan pertanian," demikian pernyataan tertulis WTO pada 24 September lalu.

Bagi Rusdi dan rekan-rekannya di Bengkayang, situasinya benar-benar buntu. Kebun karetnya melayang sudah. Gua tambang emas pun kini terkubur bersama belasan kawannya. Lebih sial lagi, sekarang ia harus berurusan dengan polisi karena aktivitas penambangannya dianggap ilegal. Meski begitu, dia masih merasa beruntung. "Setidaknya bukan nyawa saya yang melayang."

Pingit Aria, Aseanty Pahlevi, Riyan Nofitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus