Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah sebulan belalangan Firdaus Rokhman melihat-lihat tawaran dan iklan properti di pinggiran kota Jakarta. Pegawai swasta di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jakarta Selatan yang masuk dalam golongan kelas menengah itu mengaku sudah membicarakan tentang rencana memiliki hunian pribadi dengan istrinya. Namun hingga kini ia belum juga memutuskan untuk mengambil kredit perumahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Beli rumah belum jadi prioritas utama sekarang,” kata Firdaus kepada Tempo, Sabtu 31 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia masih lebih memilih tinggal di rumah kontakan dengan biaya Rp 26 juta per tahun yang lokasinya dekat dengan tempat kerja. Alasannya, biaya untuk kredit rumah yang masih tinggi, sementara perumahan murah umumnya tersisa di pinggiran kota Jakarta.
“Rumah juga butuh biaya perawatan yang tidak sedikit. Lebih baik uangnya saya simpan dengan cara beli emas,” ujarnya.
Firdaus hanya satu dari beberapa kelas menengah yang tidak menanggap punya rumah pribadi sebagai prioritas utama. Rekannya, Geril Dwira, juga memiliki pandangan serupa. Ditemui di lokasi yang sama, mereka menyatakan rumah bukan kebutuhan penting saat ini.
Cicilan yang makin melambung, menurut Geril, otomatis menjadikan rumah bukan kebutuhan utama. “Ada alternatif sewa yang lebih murah. Lagi pula harga-harga sekarang naik dan peningkatan UMR (Upah Minimum Regional) enggak setara dengan laju harga properti,” kata Geril.
Mahalnya kredit rumah juga jadi alasan Ade masih mengubur niatnya membeli rumah pribadi, setidaknya hingga saat ini. Pekerja di Jakarta Barat tersebut mengaku masih ada pengeluaran prioritas lain yang lebih mendesak.
Dengan gaji sedikit di atas UMR Jakarta berarti Ade harus mencari cicilan rumah sekitar Rp 1- 2 juta. Namun cicilan KPR non-subsidi yang ditawarkan beberapa bank berada pada kisaran Rp 2,5 - 4 juta. “Gaji Rp 6 juta jangan berharap punya rumah komersil,” kata dia.
Fenomena menurunnya belanja perumahan warga kelas menengah sebelumnya telah dipaparkan Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik, Amalia Adininggar Widyasanti. BPS mencatat prioritas pengeluaran kelas menengah berupa perumahan dan makanan menurun, sementara belanja hiburan dan keperluan pesta naik.
“Ada pergeseran atau shifting prioritas pengeluaran kelas menengah dalam 10 tahun terakhir,” ujar Amalia dalam rapat degan komisi XI di DPR, Rabu 28 Agustus 2024.
Satu dekade lalu, Amalia menyatakan sebesar 45,5 persen pengeluaran kelas menengah untuk makanan minuman, namun saat ini hanya 41,67 persen. Belanja perumahan yang tadinya lebih dari 32 persen, sekarang hanya sekitar 28,5 persen.
Strategi Meningkatkan Belanja Perumahan
Untuk meningkatkan daya beli rumah kelas menengah, pemerintah menerapkan kebijakan pengurangan pajak perumahan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengumumkan pemerintah memutuskan memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sektor perumahan sebesar 100 persen sampai Desember 2024.
Bekas Pemimpin Partai Golkar itu mengatakan rencana perpanjangan telah disetujui Presiden Joko Widodo atau Jokowi. “PMK (peraturan menteri keuangannya)-nya sedang disiapkan Menkeu,” ujarnya di Kantor Kemenko Perekonomian, beberapa waktu lalu.
Pengamat perumahan dari Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, mengatakan dari datanya PPN DTP saat ini tidak terlalu signifikan dampaknya bagi daya beli. “Bagi pengembang relatif tidak berpengaruh pada profit namun penjualan bisa diharapkan meningkat dan konsumen akan terbantu,” ujarnya lewat pesan singkat, 27 Agustus 2024.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky mengatakan pemerintah perlu mendorong peningkatan kelas menengah juga daya belinya. Jika dibiarkan terus turun, maka pertumbuhan ekonomi tinggi akan sulit dicapai.
BPS mengkategorikan kelas menengah sebagai masyarakat yang pengeluarannya sekitar Rp 2,04 juta sampai 9,9 juta per kapita per bulan. Dalam satu dekade terkahir, kelas menengah RI menurun 9,48 juta orang, bahkan angka pengeluarannya makin lama kian mendekati batas bawah.
Artinya banyak kelas menengah terancam turun kasta kasta lebih rendah atau aspiring middle class (calon kelas menengah) atau bahkan turun lebih rendah lagi ke kelompok rentan miskin.