Sobary mundur. Sobary mundur...," hardikan itu menggema di lantai 19 Wisma Antara, Jakarta, pekan lalu. Beberapa orang berorasi, menghujat berbagai kebijakan kantor mereka: Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Sekitar 200 karyawan mendengarkan sambil menunggu kedatangan Mohamad Sobary, sang pemimpin umum. Sesekali mereka bertepuk tangan. Sejurus, muncul petugas keamanan yang mengumumkan bahwa Sobary tak datang. Terdengar teriakan kecewa. Satu per satu karyawan meninggalkan ruangan yang sesak dengan asap rokok itu.
Kisruh di Antara memuncak dalam pertikaian antara Mohamad Sobary, Pemimpin Umum Antara, dan dua karyawannya: Adi Lazuardi dan Sukirman Anwar. Kebetulan, Adi dan Sukirman adalah ketua dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja Antara, yang baru berdiri Juli 2002 lalu.
Menurut versi Adi Lazuardi cs, Sobary tak mampu memimpin Antara. Salah satu buktinya—seperti dikatakan Adi—adalah kebangkrutan yang menimpa Indonesia Market Quote (IMQ). Anak perusahaan Antara yang memberikan layanan data real time untuk transaksi perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta itu merugi hingga miliaran rupiah. "Sobary biang kebangkrutan IMQ," ujar Adi Lazuardi.
Tapi, Sobary punya cerita lain. Menurut peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, penurunan kinerja IMQ sudah menggejala sejak Sobary menjadi Pemimpin Umum Antara pada Mei 2000. Kinerja bisnis IMQ memang merosot tajam. Sobary sendiri menduga, langkah Lazuardi merupakan buntut dari konflik lama. "Dia pernah mengemis ingin jadi Sekjen Antara. Tentu saya tolak," ujar Sobary, tanpa menyebutkan alasannya.
Berpedoman pada peraturan karyawan kantor berita Antara, Sobary memecat Adi dan Sukirman. Ternyata langkah ini belum mengakhiri konflik internal. Apalagi kedua pentolan Serikat Pekerja Antara itu menempuh jalur hukum. Di luar konflik, kinerja Antara tak memperlihatkan prestasi yang memuaskan. Maklum, instansi pelat merah itu selalu dimanfaatkan penguasa untuk mengontrol arus informasi. Sikap profesionalisme yang seharusnya dikembangkan malah sering dikalahkan oleh kepentingan penguasa itu sendiri.
Saat Antara didirikan oleh "Empat Serangkai"—Sumanang, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Adam Malik—pada 13 Desember 1937, awak kantor berita itu memiliki etos kerja dan daya juang yang tinggi. Pada Agustus 1945, misalnya, Antara menjadi ujung tombak penyebar informasi yang tanpa gentar menyiarkan detik demi detik perjuangan kemerdekaan Indonesia waktu itu.
Kini, pamor Antara sedang surut. Kondisi keuangannya tak menggembirakan. Setiap tahun pendapatan Antara berkisar pada angka Rp 30 miliar. Sebagian besar (75 persen) didapat dari kerja sama dengan kantor berita asing seperti Reuters dan AFP. Sisanya diperoleh dari penjualan jasa informasi ke para pelanggan. Tentu saja pendapatan ini tidak memadai. Untuk gaji karyawan, misalnya, harus dialokasikan Rp 20 miliar. Tak aneh, bila ingin mengembangkan usaha, Antara masih harus mengandalkan bantuan pemerintah.
Penghasilannya yang relatif rendah tidak sejalan dengan jaringan kerjanya yang luas. Antara memiliki kantor di semua provinsi di Tanah Air, bahkan juga punya kantor biro di beberapa kota besar dunia seperti New York, Tokyo, dan Berlin. Tak berlebihan jika pengamat media Veven S.P. Wardhana berkomentar bahwa kondisi Antara menyesakkan dada. Hal ini diperparah oleh mental birokrat yang melekat pada karyawannya.
Selain itu, independensinya sebagai kantor berita layak diragukan. Veven mencontohkan saat Antara berada di bawah kepemimpinan Parni Hadi, yang dekat dengan Presiden Habibie. "Pemberitaannya sangat pro-Habibie," katanya, mengenang. Mengenai Sobary, ia berpendapat bahwa cendekiawan ini tak terlalu cocok untuk Antara. Karena Sobary tak memiliki latar belakang wartawan, "Susah untuk nyambung," ujarnya.
Tentang kualitas karyawannya, Sobary membenarkan analisis Veven. Menurut karib bekas presiden Abdurrahman ini, kualitas karyawan Antara "di bawah standar". Maklum, banyak karyawan yang dulu masuk lewat jalur perkoncoan. Selain itu, jumlahnya mencapai 1.300 orang sehingga Antara dipaksa memikul beban yang berat. Dan ada ketimpangan yang mencolok, yakni jajaran redaksi—yang merupakan tulang punggung sebuah kantor berita—berjumlah hanya 350 orang. Di luar itu, sebanyak 950 orang justru memadati jajaran non-redaksi. Selain timpang, 1.300 karyawan jelas terlalu banyak. "Idealnya 800 orang saja," Sobary menambahkan.
Kemelut Antara tampaknya tak berbeda dengan keruwetan TVRI. Sebagai badan usaha, alat-alat produksinya lengkap, tapi kinerjanya mengkhawatirkan. Daya saingnya pun lemah sekali. Kini Antara terpaku di persimpangan, dan kepemimpinan Sobary benar-benar dalam cobaan.
Setiyardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini