Inilah intro yang lengang. Beberapa nada yang tampaknya berpretensi mengikuti Arabian scale muncul, tapi kemudian cepat tenggelam, ditelan sepi. Beberapa kali potongan melodi yang pendek itu terdengar lagi, kadang dengan sedikit perubahan. Namun, itu semua semakin gamblang menunjukkan adanya ruang-ruang yang sengaja dibiarkan menganga di antara nada-nada. Komponis Trisutji Kamal mengaku, ia membuat bagian ini berdasarkan irama tajwid alias pelafalan ayat-ayat Quran. Tapi para penonton mungkin menangkap sebuah kesan lain yang mengalir dari atas panggung Gedung Kesenian Jakarta, Kamis pekan silam: "ada" dan "tiada" merupakan dua hal yang saling melengkapi, silih berganti.
Isra' Mi'raj, sebuah komposisi Trisutji Kamal yang dimainkan pianis Pudjiwati I. Effendi, tidak berhenti pada permainan ruang. Usai bagian yang singkat itu, tampaklah bahwa sang komponis berhasil menggiring penonton ke suasana kontemplatif. Melalui denting piano Pudjiwati, terasa betapa sang komponis bergegas mengisi jarak di antara dua garis birama dengan lebih banyak nada. Lantas, di atas partitur tampak pula bahwa Trisutji Kamal, yang di sepanjang nomor ini tetap setia pada prinsip satu nada dasar (tonalitas), mengakhiri Isra' Mi'raj dengan ritme yang biasa dipakai oleh orang berzikir.
Sebuah komposisi yang istimewa tapi tak jamak bagi seorang Trisutji Kamal. Lazimnya, komponis perempuan itu fasih berkata-kata dalam "bahasa" musik yang lebih konvensional. Cuma, kali ini sebenarnya, sejak menggeluti komposisi musik religius beberapa tahun terakhir, Trisutji seakan-akan kehabisan kata-kata, merasa tak sanggup melukiskan peristiwa yang dianggapnya sakral itu dengan "kata-kata" musikal miliknya sendiri. Sebaliknya, ia meminjam rangkaian nada-nada disonan, nada-nada yang terdengar asing, sumbang, dan tak bersahabat dengan telinga pendengarnya—satu gejala yang justru menjadi ciri khas para pemusik kontemporer. Dengan kata lain, ia telah berubah dari gaya konvensional menjadi kontemporer?
Trisutji, yang sudah banyak makan garam dalam dunia penciptaan musik itu, memang telah menjadi muara dari sejumlah pengalaman musiknya. Lingkungan keluarga di Kota Medan pada tahun 1950-an telah menanamkan akar kecintaan mendalam pada musik Jawa. Tapi pengalamannya belajar di seberang lautan di konservatori Jenewa, Roma, dan Amsterdam membawanya lebih dekat pada pengaruh-pengaruh para komponis besar Eropa seperti Debussy, Ravel, ataupun si maestro piano nomor wahid, Friedrich Chopin. Anehnya, dalam diri Trisutji Kamal pengaruh-pengaruh tersebut—termasuk yang bertolak belakang sekalipun—tak saling bertarung atau menihilkan satu sama lain, tapi membentuk suatu persenyawaan yang perlahan-lahan lantas menjadi identitas khas karya-karya Trisutji.
Memang agak susah dipercaya, proses dialektika seperti ini benar-benar berlangsung di dalam diri seorang komponis di posisinya saat ini. Trisutji Kamal yang telah 50 tahun berkarya itu adalah sosok yang telah berjalan jauh, tapi ia tidak larut dalam drama-drama menawan yang diperolehnya di sepanjang pengembaraan. Sesungguhnya ia tak pernah meninggalkan ide tentang "rumah", dan karena itulah ia selalu punya alasan untuk pulang, kembali ke jatidiri karya-karyanya.
Trisutji tentu adalah sosok yang melawan arus di antara para seniman kontemporer yang terpesona oleh keragaman ekspresi seni tapi sering memandang rendah pada identitas kesenimanannya. Ia tetap berkutat dengan pandangan-pandangan yang kolot: karya seni itu sakral dan tak akan lekas pudar dimakan usia—kendati sikap itu tidak diungkapkannya sebagai manusia romantik pemberontak khas abad ke-19. Ia menyajikannya bak orang Jawa, yang bersikap sinkretis—mungkin dengan dasar itu pula ia meminjam tangan musik kontemporer untuk menciptakan Isra' Mi'raj yang istimewa.
Dan banyak orang menghargai pendirian ini. Dalam peringatan 50 tahun karya-karyanya di Gedung Kesenian Jakarta, Kamis malam, sembilan orang pianis senior menemaninya membawakan karya-karyanya, termasuk nama-nama besar seperti Iravati M. Sudiarso, Aisha Pletscher, Iswargia R. Sudarno, Laksmi Pamuntjak, dan Dr. Kuei Pin Yeo. Pada kesempatan yang sama, ia juga meluncurkan karya-karyanya dalam tiga buku piano solo: Indonesian Folk Melodies Vol. I, Sunda Seascapes Vol. I, dan Younger Years Selected Composition Vol. I. Di usianya yang matang, ia merasa perlu mengerek bendera identitas itu.
Idrus F. Shahab
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini