ESA hilang, dua terbilang. Siapa sangka pepatah lama ini—baik secara kiasan maupun harfiah—telah dengan sangat pas mencerminkan suratan takdir Surabaya Post. Belum lagi pupus ingatan orang akan nasib tragis yang menimpa koran kebanggaan warga Jawa Timur ini, pekan lalu terbit dua surat kabar yang menyandang nama yang sama dan langsung menyemarakkan pasar media cetak di Kota Pahlawan itu. Kedua koran baru tersebut juga sama-sama mengaku dititisi roh Surabaya Post yang dilikuidasi pemiliknya pada Juli 2002 lalu.
Sebutlah versi yang bernama Surabaya Post—persis sama dengan pendahulunya. Koran ini diterbitkan oleh PT Mitra Media Espe milik Muhammad Arianto, seorang pengusaha properti. Koran yang mempekerjakan 64 orang bekas karyawan Surabaya Post ini terbit tiap sore dengan 16 halaman. Surat kabar ini juga mempertahankan ciri-ciri khas koran versi lama berupa logo Surabaya Post mengapit lukisan Tugu Pahlawan Surabaya. Motonya juga dipertahankan: "Berdasarkan Ketuhanan untuk Keadilan Semua Golongan."
Tapi, sebelum kehadiran Surabaya Post terbitan sore itu, sudah tampil Harian Surabaya Pos (tanpa huruf "t") yang terbit pagi hari. Ulang tahun kemerdekaan 17 Agustus 2002 dipilih penerbitnya sebagai hari lahir koran tersebut. Surabaya Pos edisi pagi ini juga mendompleng ketenaran Surabaya Post yang asli. Pemimpinnya adalah Tatang Istiawan, bekas Pemimpin Perusahaan Surabaya Post yang lama. Mengapa terbit pagi hari? "Waktu edar koran pagi lebih lama," ujar Tatang, yang kini duduk di kursi pemimpin redaksi.
Kehadiran dua koran yang bernama sama itu tidak hanya mengejutkan masyarakat, tapi juga mengenyakkan pemilik lama Surabaya Post. Didy Indriyani, putri sulung pasangan Abdul Aziz dan Toety Aziz (pendiri Surabaya Post yang asli), menyatakan tak penah dimintai pendapat, konon pula izin, perihal penggunaan nama Surabaya Post. "Itu sudah dipatenkan. Seharusnya mereka bilang dulu," ujar Didy masygul. Didy dan ahli waris Abdul dan Toety Azis yang lain tentu dapat memerkarakan penyerobotan nama ini ke meja hijau.
Terlepas dari pro-kontra nama yang punya nilai komersial sekaligus nilai historis itu, dua koran "penerus" ini sebenarnya menghadapi tantangan berat. Memang, tantangan itu berbeda. Sementara Surabaya Post lama harus ditutup gaga-gara tak mampu mengatasi masalah keuangan, tantangan yang dihadapi dua koran baru itu justru datang dari luar berupa persaingan yang teramat sangat ketat. Setidaknya itulah yang dikatakan pengamat media Veven Sp. Wardhana.
Lihat saja pasar koran di Jawa Timur sesak dijejali pelbagai surat kabar. Selain koran nasional, ada Jawa Pos dan Harian Surya (milik Kelompok Kompas Gramedia). Menurut Veven, kedua koran baru itu akan sulit bersaing melawan raksasa Jawa Pos. Apalagi koran yang dipimpin Dahlan Iskan ini telah "menguasai" jaringan distribusi di Jawa Timur. Berdasarkan data Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), tiras Jawa Pos pada 2001 mencapai 400 ribu eksemplar. Harian Surya, yang memiliki jam terbang cukup lama, tampaknya juga sulit mengimbangi agresivitas Jawa Pos.
Tapi, kata Veven, itu bukan berarti tak ada peluang sama sekali. Di atas kertas, Surabaya Post yang terbit sore unggul dibandingkan dengan Harian Surabaya Pos yang terbit pagi. Koran ini masih memiliki captive market karena banyak pembaca lama yang masih setia. Selain itu, Surabaya Post dapat menjadi koran pelengkap bagi koran pagi. Syaratnya, "Mereka harus bisa mengembangkan berita koran pagi," ujar Direktur Institute for Media & Social Studies ini.
Analisis Veven cukup masuk akal. Tengok saja Phoa Tien Eng, seorang pelanggan setia Surabaya Post sejak 1953. Pemilik Toko Elektronik Delapan-Delapan di Surabaya ini mengaku akan kembali berlangganan Surabaya Post yang terbit sore. Selain ada alasan sejarah, "Saya selalu membaca koran setelah pulang kerja," ujar Phoa Tien Eng.
Toh, Pemimpin Redaksi Harian Surabaya Pos, Tatang Istiawan, tetap optimistis. Agar lebih terfokus, Tatang mengejar pembaca dari kalangan bisnis. Resepnya, berita konflik politik dan kekerasan, yang tak disukai pebisnis, akan sangat dibatasi. Menurut Tatang, tiap hari mereka mencetak 20 ribu eksemplar. "Daya serapnya mencapai 60 persen," ujarnya.
Yang pasti, bisnis koran bukanlah bisnis yang mudah. Selain dibutuhkan modal besar, pihak manajemen harus siap merugi untuk jangka waktu lama. Kalaupun mengandalkan brand yang sudah dikenal, kepercayaan pembaca dan pemasang iklan tak bisa direbut dalam waktu singkat. Dengan krisis ekonomi seperti sekarang, pengusaha koran hanya bisa survive kalau mengamalkan kiat seorang pelari maraton: napas panjang, daya tahan luar biasa, ambisi menggelora.
Setiyardi, Sunudyantoro (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini