MASALAH pmbelian kapal Tampomas II, dahulu Great Emerald,
nampaknya makin menarik perhatian orang. Pekan lalu harian Suara
Karya dalam tajuknya menekankan "masih ada segi-segi yang juga
memerlukan kejernihan, antara lain rnengenai proses pembelian
yang menggunakan perantara."
Masalah yang rupanya cukup pelik itu secara resmi memang belum
banyak diungkapkan oleh pemerintah. Menteri Perhubungan Roesmin
Noerjadin sendiri, dalam jawaban tertulis atas pertanyaan Komisi
V DPR, tak banyak berbicara soal itu. Dalam jawaban setebal 75
halaman itu, yang baru dibagikan awal pekan ini, Menteri Roesmin
hanya menjawab, bahwa "kontrak jual beli antara Komodo dan pihak
Jepang terjadi pada 10 Desember 1979, sedangkan kontrak dengan
Indonesia pada 23 Februari 1980."
Menyinggung soal harga, Menteri Roesmin mengatakan, "harga kapal
US$ 6,4 juta sesuai dengan kelayakan harga yang didukung oleh
expert IMCO, adalah terendah dibanding yang lain."
Dalam jawaban itu belum terdapat apa yang pernah dijanjikan
Menteri Perhubungan kepada para anggota Komisi V DPR,
"Memorandum Bank Dunia." Memorandum yang dijanjikan tadi,
menurut Wakil Ketua Komisi V T.A.M. Simatupang, belum sampai di
Senayan sampai Senin kemarin. Tapi agaknya Menteri Roesmin ingin
memberi kesan bahwa pembelian kapal itu sudah disetujui oleh
Bank Dunia. Adanya deking dari Bank Dunia itu memang sudah
dikemukakan oleh Menteri Perhubungan, beberapa hari setelah
tenggelamnya kapal sial itu, meskipun belum mendetil.
Tapi justru karena itu, harian Merdeka, dalam tajuknya, telah
mencurigai pihak Bank Dunia dan lembaga bantuan dari Norwegia
(NORAD). "Mereka ingin melihat bagaimana Great Emerald bisa
terjual, supaya keuntungan bisa diperoleh dan bunga pinjaman
bisa dipungut."
Pungutan Ekstra
Benarkah Bank Dunia terlibat? Sampai sekarang belum keluar
keterangan apa pun dari lembaga internasional yang berpusat di
Washington DC, AS itu. Bank Dunia sendiri memang dikenal suka
memberi bantuan (baca: pinjaman) untuk memperbaiki wajah dunia
perkapalan dan pelayaran di Indonesia. "Penyaluran bantuan
tersebut, seperti halnya shipping loan yang pertama, disalurkan
melalui Bappindo," kata seorang pejabat perhubungan.
Menurut pejabat yang mengetahui itu, di tahun 1976 Bank Dunia
menandatangani lagi pinjaman sebanyak US$ 50 juta, disebut
shipping loan kedua. Dari jumlah itu, tersedia dana untuk
peremajaan kapal-kapal dalam negeri -- antara lain US$ 5,8 juta
untuk pembelian kapal Great Emerald, yang dilaksanakan oleh PT
PANN.
Dalam waktu yang sama, datang pula bantuan dari pemerintah
Norwegia, melalui NORAD (Norwegian Agency for International
Development). Lembaga ini ketika itu menandatangani dana
sebanyak hampir US$ 100 juta untuk peremajaan kapal-kapal
Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak US$ 2,5 juta disisihkan
sebagai hibah (grant) untuk digunakan membeli kapal Tampomas II.
Maka tercapailah dana sebanyak US$ 8,3 juta harga Great Emerald
yang dibeli melalui perusahaan Komodo Marine, Hongkong, termasuk
biaya konversi yang US$ 1,9 juta. Itu tercantum dalam perjanjian
jual-beli (memorandum of agreement), tertanggal 23 Februari
1980, yang antara lain ditandatangani oleh George Hendra, dari
Komodo Marine (penjual), dan Dir-Ut PT PANN Nuzwari Chatab
(pembeli).
Surat Bank Dunia
Sekalipun begitu, baru dua bulan kemudian, pada 29 April 1980,
Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Richard D. Stern
menulis memorandum kepada pimpinan NORAD di Oslo, ibukota
Norwegia. Antara lain memuat persyaratan teknis agar pihak
Indonesia mengajukan laporan dari kantor akuntan Parman-Coopers
Lybrand, yang mendapat rekomendasi Bank Dunia. Juga perlunya
kenaikan tarif kapal sampai 25%, serta tentang pungutan ekstra
untuk bahan bakar bila terjadi kenaikan bahan bakar melebihi
tingkat 33-1/3%, dan pengembalian modal yang diinvestasikan
(amortisasi) sebanyak US$ 5,8 juta selama 15 tahun.
Bila semua persyaratan yang menyangkut masalah manajemen dan
keuangan itu telah dipenuhi oleh PT PANN, Pelni dan Ditjen
Perla, surat dari Bank Dunia itu menganjurkan agar pihak NORAD
mencairkan hibah yang US$ 2,5 juta. Untuk apa uang ini? Menurut
surat tersebut, hibah tadi dimaksudkan untuk menambah modal
Pelni. Sedang menurut Dir-Ut PT Pelni, Husseyn Umar kepada TEMPO
dua hari setelah Tampomas II tenggelam, hadiah dari Norwegia itu
digunakan untuk uang muka (downpayment) kepada penjual. Tapi
dari pihak penjual sendiri, Komodo Marine, diperoleh keterangan
bahwa semua pembayaran baru dilakukan pada bulan Juni 1980 --
tanpa uang muka.
Mana yang benar, itu pula yang masih perlu dijernihkan. Begitu
pula kejernihan terhadap pertanyaan Siapa yang bertindak sebagai
pensurvei (surveyor) Bank Dunia? Sampai sekarang yang
disebut-sebut adalah Tomo & Son, pensurvei dari pihak Komodo
Marine. Kepada TEMPO, Dir-Ut Tomo & Son, Harsoyo Tomo, 52
tahun, mengatakan tak ada hubungannya dengan pihak Bank Dunia
dalam proses pembelian Tampomas II. Pihaknya, sebagai pensurvei
independen yang ditunjuk oleh Komodo Marine, berhadapan dengan
"tim survei dari Pihak PANN dan Pelni," katanya.
Sebuah sumber yang banyak mengetahui tentang penyaluran bantuan
Bank Dunia itu menerangkan, bahwa lazimnya, dalam soal jual-beli
seperti ini Bank Dunia memakai perusahaan pensurvei yang
"independen". Artinya, "pensurvei yang tidak mewakili pihak
pembeli maupun penjual -- tapi mewakili kepentingan Bank
Dunia," katanya.
Adanya "kelaziman" itu jelas tercantum dalam pasal-pasal
perjanjian (articles of agreement) yang dibuat oleh Bank Dunia
sendiri. Di situ antara lain disebutkan bahwa Bank,
"berkepentingan agar dana yang mereka pinjamkan itu digunakan
secara ekonomis dan efisien, termasuk dalam proses pengadaan
barang-barang dan pelaksanaan pekerjaannya.
Pasal-pasal perjanjian itu juga mengharuskan Bank Dunia membuka
kemungkinan adanya "kesempatan bersaing terhadap semua negara
anggota, baik negeri maju maupun yang sedang berkembang, . . .
untuk memperoleh barang-barang dan pekerjaan yang dibiayai oleh
Bank." Dengan kata lain, perlu ada suatu tender terbuka dalam
pembelian kapal Great Emerald.
Tapi sejauh mana prosedur yang biasa dari Bank Dunia itu
dilanggar oleh pejabat Bank itu sendiri? Dari perwakilan Bank
Dunia di akarta tak mudah diperoleh keterangan. Sekretaris
Kepala Perwakilan Bank yang berkantor di Gedung Artaloka
Jakarta, ketika ditemui TEMPO, hanya menjawab: "Semua soal
pembelian kapal Tampomas II sudah disrahkan ke Pelni. Silakan
berhubungan dengan mereka."
Bappindo, yang biasanya dikaitkan dengan pinjaman Bank Dunia,
disebut-sebut dalam hubungan ini. Sementara itu untuk
berhubungan dengan Pelni, juga dengan PT PAN, hari-hari ini
tak mudah. Tapi sebuah sumber di PT PANN dengan senang hati
memberitahukan kepada TEMPO, bagaimana prosedur yang biasa
ditempuh perusahaannya sebelum melakukan pembelian sebuah kapal.
Menurut sumber ini, biasanya PT PANN menggunakan jasa-jasa
kantor perantara (broker) Anthony Veder & Co. BV. Perantara
itulah yang melakukan pemesanan kapal kepada pihak penjual.
Mengapa harus melalui perantara itu? "Yah, Anthony Veder itu
adalah langganan PT PANN, antara lain karena mendapat
rekomendasi Bank Dunia," katanya. Tapi khusus dalam kasus Great
Emerald, menurut orang PANN itu, pembelian telah dilakukan tanpa
melalui perantara Anthony Veder & Co.
Dalam kasus Tampomas II itu, demikian sumber tadi, telah
dilakukan pembelian lewat panitia yang dibentuk berdasarkan
keputusan Sekjen Departemen Perhubungan. Tim pembeli terdiri
dari Pengarah dan Penanggungjawab -- yang dalam hal ini dipegang
oleh Sekditjen Perla, Dir-Ut PT PANN, Dir-Ut PT Pelni, Kepala
Biro Keuangan Deperhub, juga Kepala Biro Perlengkapan dan
Penanaman Modal Deperhub.
Laporan Close
Meskipun prosedur pembelian nampak luar biasa, beberapa pihak
berpendapat kondisi kapal Tampomas II dalam keadaan baik ketika
dibeli PT PANN. Mengenai geladak penumpang, yang kabarnya tak
dilapisi bahan bitumastic-campuran semen dengan aspal yang tahan
panas -- Harsoyo Tomo merasa perlu memberi penjelasan. Menurut
dia, yang biasanya dilapisi bahan tahan panas itu hanya
bagian-bagian tertentu dari kapal, seperti dapur dan beberapa
tempat lain yang dianggap perlu. "Andaikata seluruh kayu di
bagian geladak penumpang itu harus dilapisi bahan asbes itu,
maka boleh dibilang seluruh kapal perlu menggunakan bahan
tersebut," katanya.
Demikian pula mengenai pemadam api otomatis (automatic
sprinkles) -- yang berisi air dan menempel di langit-langit --
menurut Tomo biasanya terdapat di tempat-tempat penumpang.
"Sedang di tempat-tempat barang (palka), atau dalam hal kapal
Tampomas II, geladak mobil (car-deck), boleh menggunakan alat
penyemprot yang dijalankan dengan tangan (manual sprinkles),"
katanya.
Keterangan Harsoyo Tomo juga terdapat dalam laporan seorang
konsultan asing bernama H.F. Close. Close, yang dikabarkan kini
bekerja di Inggris, dalam laporannya kepada PT PANN menyebutkan
kedudukannya sebagai advisur teknis, yang melakukan survei dan
percobaan terhadap kapal Great Emerald. Laporan H.F. Close itu
juga menyebut: bahwa kapal tersebut memiliki alat pendeteksi
asap yang peka di ruang generator darurat dan di kamar-kamar
mesin utama serta kamar-kamar mesin yang biasa.
Tapi seperti tanggal surat Bank Dunia kepada pihak NORAD,
laporan Close juga bertanggal setelah kapal itu dibeli PT PANN.
Laporan Close bertanggal 29 Februari -- sementara kapal sudah
dijual oleh Komodo Marine 23 Februari.
Lalu mengapa PT PANN membeli kapal itu dari Komodo Marine?
Kenapa pihak PANN tak langsung berhubungan dengan Hayashi
Marine, perantara dari perusahaan Arimura Sangyo, pemilik Great
Emerald di Jepang? Dir-Ut Komodo Marine Santoso Sumarli, dikenal
sebagai Tuan Lie, balik berkelit. "Kenapa tidak tanyakan hal itu
kepada PT PANN?"
Itulah soalnya. Pihak PT PANN, berbeda sewaktu baru terjadinya
musibah Tampomas II, sejak dua pekan lalu rupanya tetap belum
mau berkomentar. Begitu juga pihak Pelni dan Ditjen Perla. Entah
nanti setelah Direksi Pelni diganti
Kabarnya tak lama lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini