Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kini Bank Dunia Ditanya

Masalah proses pembelian km. Tampomas II, selain PT Pann, Pelni, Perla & komodo marina, kini Bank Dunia yang memberi kredit untuk pembelian kapal tersebut di pertanyakan. (eb)

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH pmbelian kapal Tampomas II, dahulu Great Emerald, nampaknya makin menarik perhatian orang. Pekan lalu harian Suara Karya dalam tajuknya menekankan "masih ada segi-segi yang juga memerlukan kejernihan, antara lain rnengenai proses pembelian yang menggunakan perantara." Masalah yang rupanya cukup pelik itu secara resmi memang belum banyak diungkapkan oleh pemerintah. Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin sendiri, dalam jawaban tertulis atas pertanyaan Komisi V DPR, tak banyak berbicara soal itu. Dalam jawaban setebal 75 halaman itu, yang baru dibagikan awal pekan ini, Menteri Roesmin hanya menjawab, bahwa "kontrak jual beli antara Komodo dan pihak Jepang terjadi pada 10 Desember 1979, sedangkan kontrak dengan Indonesia pada 23 Februari 1980." Menyinggung soal harga, Menteri Roesmin mengatakan, "harga kapal US$ 6,4 juta sesuai dengan kelayakan harga yang didukung oleh expert IMCO, adalah terendah dibanding yang lain." Dalam jawaban itu belum terdapat apa yang pernah dijanjikan Menteri Perhubungan kepada para anggota Komisi V DPR, "Memorandum Bank Dunia." Memorandum yang dijanjikan tadi, menurut Wakil Ketua Komisi V T.A.M. Simatupang, belum sampai di Senayan sampai Senin kemarin. Tapi agaknya Menteri Roesmin ingin memberi kesan bahwa pembelian kapal itu sudah disetujui oleh Bank Dunia. Adanya deking dari Bank Dunia itu memang sudah dikemukakan oleh Menteri Perhubungan, beberapa hari setelah tenggelamnya kapal sial itu, meskipun belum mendetil. Tapi justru karena itu, harian Merdeka, dalam tajuknya, telah mencurigai pihak Bank Dunia dan lembaga bantuan dari Norwegia (NORAD). "Mereka ingin melihat bagaimana Great Emerald bisa terjual, supaya keuntungan bisa diperoleh dan bunga pinjaman bisa dipungut." Pungutan Ekstra Benarkah Bank Dunia terlibat? Sampai sekarang belum keluar keterangan apa pun dari lembaga internasional yang berpusat di Washington DC, AS itu. Bank Dunia sendiri memang dikenal suka memberi bantuan (baca: pinjaman) untuk memperbaiki wajah dunia perkapalan dan pelayaran di Indonesia. "Penyaluran bantuan tersebut, seperti halnya shipping loan yang pertama, disalurkan melalui Bappindo," kata seorang pejabat perhubungan. Menurut pejabat yang mengetahui itu, di tahun 1976 Bank Dunia menandatangani lagi pinjaman sebanyak US$ 50 juta, disebut shipping loan kedua. Dari jumlah itu, tersedia dana untuk peremajaan kapal-kapal dalam negeri -- antara lain US$ 5,8 juta untuk pembelian kapal Great Emerald, yang dilaksanakan oleh PT PANN. Dalam waktu yang sama, datang pula bantuan dari pemerintah Norwegia, melalui NORAD (Norwegian Agency for International Development). Lembaga ini ketika itu menandatangani dana sebanyak hampir US$ 100 juta untuk peremajaan kapal-kapal Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak US$ 2,5 juta disisihkan sebagai hibah (grant) untuk digunakan membeli kapal Tampomas II. Maka tercapailah dana sebanyak US$ 8,3 juta harga Great Emerald yang dibeli melalui perusahaan Komodo Marine, Hongkong, termasuk biaya konversi yang US$ 1,9 juta. Itu tercantum dalam perjanjian jual-beli (memorandum of agreement), tertanggal 23 Februari 1980, yang antara lain ditandatangani oleh George Hendra, dari Komodo Marine (penjual), dan Dir-Ut PT PANN Nuzwari Chatab (pembeli). Surat Bank Dunia Sekalipun begitu, baru dua bulan kemudian, pada 29 April 1980, Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Richard D. Stern menulis memorandum kepada pimpinan NORAD di Oslo, ibukota Norwegia. Antara lain memuat persyaratan teknis agar pihak Indonesia mengajukan laporan dari kantor akuntan Parman-Coopers Lybrand, yang mendapat rekomendasi Bank Dunia. Juga perlunya kenaikan tarif kapal sampai 25%, serta tentang pungutan ekstra untuk bahan bakar bila terjadi kenaikan bahan bakar melebihi tingkat 33-1/3%, dan pengembalian modal yang diinvestasikan (amortisasi) sebanyak US$ 5,8 juta selama 15 tahun. Bila semua persyaratan yang menyangkut masalah manajemen dan keuangan itu telah dipenuhi oleh PT PANN, Pelni dan Ditjen Perla, surat dari Bank Dunia itu menganjurkan agar pihak NORAD mencairkan hibah yang US$ 2,5 juta. Untuk apa uang ini? Menurut surat tersebut, hibah tadi dimaksudkan untuk menambah modal Pelni. Sedang menurut Dir-Ut PT Pelni, Husseyn Umar kepada TEMPO dua hari setelah Tampomas II tenggelam, hadiah dari Norwegia itu digunakan untuk uang muka (downpayment) kepada penjual. Tapi dari pihak penjual sendiri, Komodo Marine, diperoleh keterangan bahwa semua pembayaran baru dilakukan pada bulan Juni 1980 -- tanpa uang muka. Mana yang benar, itu pula yang masih perlu dijernihkan. Begitu pula kejernihan terhadap pertanyaan Siapa yang bertindak sebagai pensurvei (surveyor) Bank Dunia? Sampai sekarang yang disebut-sebut adalah Tomo & Son, pensurvei dari pihak Komodo Marine. Kepada TEMPO, Dir-Ut Tomo & Son, Harsoyo Tomo, 52 tahun, mengatakan tak ada hubungannya dengan pihak Bank Dunia dalam proses pembelian Tampomas II. Pihaknya, sebagai pensurvei independen yang ditunjuk oleh Komodo Marine, berhadapan dengan "tim survei dari Pihak PANN dan Pelni," katanya. Sebuah sumber yang banyak mengetahui tentang penyaluran bantuan Bank Dunia itu menerangkan, bahwa lazimnya, dalam soal jual-beli seperti ini Bank Dunia memakai perusahaan pensurvei yang "independen". Artinya, "pensurvei yang tidak mewakili pihak pembeli maupun penjual -- tapi mewakili kepentingan Bank Dunia," katanya. Adanya "kelaziman" itu jelas tercantum dalam pasal-pasal perjanjian (articles of agreement) yang dibuat oleh Bank Dunia sendiri. Di situ antara lain disebutkan bahwa Bank, "berkepentingan agar dana yang mereka pinjamkan itu digunakan secara ekonomis dan efisien, termasuk dalam proses pengadaan barang-barang dan pelaksanaan pekerjaannya. Pasal-pasal perjanjian itu juga mengharuskan Bank Dunia membuka kemungkinan adanya "kesempatan bersaing terhadap semua negara anggota, baik negeri maju maupun yang sedang berkembang, . . . untuk memperoleh barang-barang dan pekerjaan yang dibiayai oleh Bank." Dengan kata lain, perlu ada suatu tender terbuka dalam pembelian kapal Great Emerald. Tapi sejauh mana prosedur yang biasa dari Bank Dunia itu dilanggar oleh pejabat Bank itu sendiri? Dari perwakilan Bank Dunia di akarta tak mudah diperoleh keterangan. Sekretaris Kepala Perwakilan Bank yang berkantor di Gedung Artaloka Jakarta, ketika ditemui TEMPO, hanya menjawab: "Semua soal pembelian kapal Tampomas II sudah disrahkan ke Pelni. Silakan berhubungan dengan mereka." Bappindo, yang biasanya dikaitkan dengan pinjaman Bank Dunia, disebut-sebut dalam hubungan ini. Sementara itu untuk berhubungan dengan Pelni, juga dengan PT PAN, hari-hari ini tak mudah. Tapi sebuah sumber di PT PANN dengan senang hati memberitahukan kepada TEMPO, bagaimana prosedur yang biasa ditempuh perusahaannya sebelum melakukan pembelian sebuah kapal. Menurut sumber ini, biasanya PT PANN menggunakan jasa-jasa kantor perantara (broker) Anthony Veder & Co. BV. Perantara itulah yang melakukan pemesanan kapal kepada pihak penjual. Mengapa harus melalui perantara itu? "Yah, Anthony Veder itu adalah langganan PT PANN, antara lain karena mendapat rekomendasi Bank Dunia," katanya. Tapi khusus dalam kasus Great Emerald, menurut orang PANN itu, pembelian telah dilakukan tanpa melalui perantara Anthony Veder & Co. Dalam kasus Tampomas II itu, demikian sumber tadi, telah dilakukan pembelian lewat panitia yang dibentuk berdasarkan keputusan Sekjen Departemen Perhubungan. Tim pembeli terdiri dari Pengarah dan Penanggungjawab -- yang dalam hal ini dipegang oleh Sekditjen Perla, Dir-Ut PT PANN, Dir-Ut PT Pelni, Kepala Biro Keuangan Deperhub, juga Kepala Biro Perlengkapan dan Penanaman Modal Deperhub. Laporan Close Meskipun prosedur pembelian nampak luar biasa, beberapa pihak berpendapat kondisi kapal Tampomas II dalam keadaan baik ketika dibeli PT PANN. Mengenai geladak penumpang, yang kabarnya tak dilapisi bahan bitumastic-campuran semen dengan aspal yang tahan panas -- Harsoyo Tomo merasa perlu memberi penjelasan. Menurut dia, yang biasanya dilapisi bahan tahan panas itu hanya bagian-bagian tertentu dari kapal, seperti dapur dan beberapa tempat lain yang dianggap perlu. "Andaikata seluruh kayu di bagian geladak penumpang itu harus dilapisi bahan asbes itu, maka boleh dibilang seluruh kapal perlu menggunakan bahan tersebut," katanya. Demikian pula mengenai pemadam api otomatis (automatic sprinkles) -- yang berisi air dan menempel di langit-langit -- menurut Tomo biasanya terdapat di tempat-tempat penumpang. "Sedang di tempat-tempat barang (palka), atau dalam hal kapal Tampomas II, geladak mobil (car-deck), boleh menggunakan alat penyemprot yang dijalankan dengan tangan (manual sprinkles)," katanya. Keterangan Harsoyo Tomo juga terdapat dalam laporan seorang konsultan asing bernama H.F. Close. Close, yang dikabarkan kini bekerja di Inggris, dalam laporannya kepada PT PANN menyebutkan kedudukannya sebagai advisur teknis, yang melakukan survei dan percobaan terhadap kapal Great Emerald. Laporan H.F. Close itu juga menyebut: bahwa kapal tersebut memiliki alat pendeteksi asap yang peka di ruang generator darurat dan di kamar-kamar mesin utama serta kamar-kamar mesin yang biasa. Tapi seperti tanggal surat Bank Dunia kepada pihak NORAD, laporan Close juga bertanggal setelah kapal itu dibeli PT PANN. Laporan Close bertanggal 29 Februari -- sementara kapal sudah dijual oleh Komodo Marine 23 Februari. Lalu mengapa PT PANN membeli kapal itu dari Komodo Marine? Kenapa pihak PANN tak langsung berhubungan dengan Hayashi Marine, perantara dari perusahaan Arimura Sangyo, pemilik Great Emerald di Jepang? Dir-Ut Komodo Marine Santoso Sumarli, dikenal sebagai Tuan Lie, balik berkelit. "Kenapa tidak tanyakan hal itu kepada PT PANN?" Itulah soalnya. Pihak PT PANN, berbeda sewaktu baru terjadinya musibah Tampomas II, sejak dua pekan lalu rupanya tetap belum mau berkomentar. Begitu juga pihak Pelni dan Ditjen Perla. Entah nanti setelah Direksi Pelni diganti Kabarnya tak lama lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus