HARI-hari ini para pengusaha diduga tidak akan sulit lagi
mencari kredit untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Dihapusnya
pagu pertambahan kredit sejak 1 Juni setidaknya akan mendorong
bank berusaha semaksimal mungkin menawarkan dananya. Bila perlu,
dengan sedikit melonggarkan persyaratan peminjaman.
Sukamdani Sahid Gitosardjono, Ketua Kamar Dagang dan Industri,
termasuk salah satu yang gembira menyambut peniadaan pagu itu.
"Saya berharap dengan kebijaksanaan baru itu, para pengusaha
akan bisa bertahan hingga masa resesi nanti berakhir," katanya.
Beberapa bulan terakhir ini memang banyak pengusaha di
lingkungan Kadin yang merasa sulit memperoleh kredit modal kerja
dengan bunga rendah. Bunga kredit modal kerja di bank swasta
naik dari rata-rata 22% menjadi 26%, sesudah Januari lalu BI
mengisyaratkan bahwa pagu pertambahan kredit tahun ini akan
diperketat.
Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, BI sebagai sang penentu
memang tiap tahun selalu berusaha menetapkan pagu pertambahan
kredit. Tujuannya, agar bank sentral itu secara langsung bisa
mengendalikan arus likuiditas rupiah ke masyarakat, dan
mengontrol tingkat inflasi. Tapi kini Gubernur BI Arifin Siregar
beranggapan, sudah waktunya "pemerintah mengendalikan
perkembangan moneter dengan cara yang sophisticated."
Caranya? Salah satu adalah melalui simpanan wajib dalam jumlah
tertentu, yang harus disetorkan pihak bank ke rekening BI Lewat
cara itulah, pertambahan volume kredit ke masyarakat bisa
dikontrol dengan cermat. Cara lain, yang kelak bisa digunakan
dan sudah disebut Menteri Keuangan Radius Prawiro pekan lalu
adalah melalui beleid diskonto.
Dengan kata lain, sewaktu-waktu otoritas moneter bisa mengurangi
likuiditas rupiah di masyarakat, jika suatu saat dianggap
berlebihan, dengan cara membeli surat-surat berharga yang
diterbitkan lembaga perbankan. Atau bisa pula BI menerbitkan
semacam obligasi untuk mengurangi likuiditas yang berlebih di
masyarakat.
Sekalipun pagu pertambahan kredit sudah ditiadakan, Jim
Wiryawan, direktur Pemasaran Borsumij Wehry Indonesia, masih
was-was. Dibebaskannya bank pemerintah untuk menetapkan bunga
deposito, menurut dia, sudah pasti akan membuat bunga kredit
modal kerja naik. Beberapa waktu lalu, perusahaan distribusi
terkemuka ini pernah mendapat kredit Rp 4,5 milyar dari BBD
dengan bunga 15% per tahun. Tingkat bunga sebesar itu di
hari-hari mendatang jelas tak akan diperolehnya lagi dari bank
pemerintah tadi. Ini mengingat deposito, salah satu alat
penghimpun dana, bunganya ratarata sudah 17% per tahun.
Mungkin dia benar. Menurut Dirut BNI 1946, Somala Wiria,
kemungkinan tingkat bunga pinjaman banknya akan berada
"dekat-dekat dengan tingkat bunga bank swasta, yang kini
24-26%."
Tapi tentu saja, kata Somala, tidak semua sektor industri mampu
menyerap modal kerja dengan tingkat bunga setinggi itu. Hanya
sektor industri konstruksi, kayu lapis, dan karet yang, menurut
dia, sudah mulai pulih, dianggapnya mampu menampung beban bunga
itu.
Menghadapi kenyataan kurang menggembirakan itu, Borsumij, kata
Jim Wiryawan, mungkin akan berpaling lagi ke pinjaman luar
negeri (Singapura), yang hanya akan mengenakan bunga 12%
setahun. Langkah seperti itu tampaknya juga akan dilakukan PT
Mantrust, induk perusahaan Borsumij, yang sudah melakukan ekspor
bawang Bombay, dan sejumlah komoditi pertanian lain dengan nilai
Rp 200 juta tahun lalu. Maklum, Mantrust kini tak bisa lagi
secara mudah menikmati fasilitas kredit eksDor dengan bunga
lunak 6%, yang sudah dihapuskan.
Baru Januari tahun lalu fasilitas kredit ekspor itu
diperkenalkan pemerintah. Berbagai bank pemerintah dan swasta,
yang mendapat pinjaman likuiditas murah dengan bunga 3% untuk
menunjang program itu, turut dilibatkan. Tapi karena terjadi
penyalahgunaan atas fasilitas itu, pemeriritah kemudian
memperketat pemanfaatannya. "Sekarang tingkat bunga kredit
ekspor itu ditetapkan masingmasing bank pemerintah," ujar Menko
Ekuin Ali Wardhana. "Buktikan dulu eksportir bisa merealisasi
ekspornya maka kredit ekspor 9% baru bisa diberikan."
Ada alasan lain kenapa pemerintah menghapuskan bunga kredit
ekspor yang 6% itu, yang biasanya berlaku bagi barang
tradisional, seperti karet dan kopi. "Devaluasi rupiah yang lalu
membuat para eksportir dengan sendirinya memperoleh rupiah yang
lebih banyak untuk nilai tukar satu dollar AS," kata Ali
Wardhana.
Selain itu, mungkin, pemerintah beranggapan di masa resesi
ekonomi sekarang upaya untuk mendorong ekspor ternyata tak
berarti banyak. Permintaan di negara industri 'kan lagi kendur?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini