Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dan naiklah bunga kredit

Pembebasan pagu pertumbuhan kredit. bunga modal kerja diperkirakan akan naik. (eb)

11 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI-hari ini para pengusaha diduga tidak akan sulit lagi mencari kredit untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Dihapusnya pagu pertambahan kredit sejak 1 Juni setidaknya akan mendorong bank berusaha semaksimal mungkin menawarkan dananya. Bila perlu, dengan sedikit melonggarkan persyaratan peminjaman. Sukamdani Sahid Gitosardjono, Ketua Kamar Dagang dan Industri, termasuk salah satu yang gembira menyambut peniadaan pagu itu. "Saya berharap dengan kebijaksanaan baru itu, para pengusaha akan bisa bertahan hingga masa resesi nanti berakhir," katanya. Beberapa bulan terakhir ini memang banyak pengusaha di lingkungan Kadin yang merasa sulit memperoleh kredit modal kerja dengan bunga rendah. Bunga kredit modal kerja di bank swasta naik dari rata-rata 22% menjadi 26%, sesudah Januari lalu BI mengisyaratkan bahwa pagu pertambahan kredit tahun ini akan diperketat. Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, BI sebagai sang penentu memang tiap tahun selalu berusaha menetapkan pagu pertambahan kredit. Tujuannya, agar bank sentral itu secara langsung bisa mengendalikan arus likuiditas rupiah ke masyarakat, dan mengontrol tingkat inflasi. Tapi kini Gubernur BI Arifin Siregar beranggapan, sudah waktunya "pemerintah mengendalikan perkembangan moneter dengan cara yang sophisticated." Caranya? Salah satu adalah melalui simpanan wajib dalam jumlah tertentu, yang harus disetorkan pihak bank ke rekening BI Lewat cara itulah, pertambahan volume kredit ke masyarakat bisa dikontrol dengan cermat. Cara lain, yang kelak bisa digunakan dan sudah disebut Menteri Keuangan Radius Prawiro pekan lalu adalah melalui beleid diskonto. Dengan kata lain, sewaktu-waktu otoritas moneter bisa mengurangi likuiditas rupiah di masyarakat, jika suatu saat dianggap berlebihan, dengan cara membeli surat-surat berharga yang diterbitkan lembaga perbankan. Atau bisa pula BI menerbitkan semacam obligasi untuk mengurangi likuiditas yang berlebih di masyarakat. Sekalipun pagu pertambahan kredit sudah ditiadakan, Jim Wiryawan, direktur Pemasaran Borsumij Wehry Indonesia, masih was-was. Dibebaskannya bank pemerintah untuk menetapkan bunga deposito, menurut dia, sudah pasti akan membuat bunga kredit modal kerja naik. Beberapa waktu lalu, perusahaan distribusi terkemuka ini pernah mendapat kredit Rp 4,5 milyar dari BBD dengan bunga 15% per tahun. Tingkat bunga sebesar itu di hari-hari mendatang jelas tak akan diperolehnya lagi dari bank pemerintah tadi. Ini mengingat deposito, salah satu alat penghimpun dana, bunganya ratarata sudah 17% per tahun. Mungkin dia benar. Menurut Dirut BNI 1946, Somala Wiria, kemungkinan tingkat bunga pinjaman banknya akan berada "dekat-dekat dengan tingkat bunga bank swasta, yang kini 24-26%." Tapi tentu saja, kata Somala, tidak semua sektor industri mampu menyerap modal kerja dengan tingkat bunga setinggi itu. Hanya sektor industri konstruksi, kayu lapis, dan karet yang, menurut dia, sudah mulai pulih, dianggapnya mampu menampung beban bunga itu. Menghadapi kenyataan kurang menggembirakan itu, Borsumij, kata Jim Wiryawan, mungkin akan berpaling lagi ke pinjaman luar negeri (Singapura), yang hanya akan mengenakan bunga 12% setahun. Langkah seperti itu tampaknya juga akan dilakukan PT Mantrust, induk perusahaan Borsumij, yang sudah melakukan ekspor bawang Bombay, dan sejumlah komoditi pertanian lain dengan nilai Rp 200 juta tahun lalu. Maklum, Mantrust kini tak bisa lagi secara mudah menikmati fasilitas kredit eksDor dengan bunga lunak 6%, yang sudah dihapuskan. Baru Januari tahun lalu fasilitas kredit ekspor itu diperkenalkan pemerintah. Berbagai bank pemerintah dan swasta, yang mendapat pinjaman likuiditas murah dengan bunga 3% untuk menunjang program itu, turut dilibatkan. Tapi karena terjadi penyalahgunaan atas fasilitas itu, pemeriritah kemudian memperketat pemanfaatannya. "Sekarang tingkat bunga kredit ekspor itu ditetapkan masingmasing bank pemerintah," ujar Menko Ekuin Ali Wardhana. "Buktikan dulu eksportir bisa merealisasi ekspornya maka kredit ekspor 9% baru bisa diberikan." Ada alasan lain kenapa pemerintah menghapuskan bunga kredit ekspor yang 6% itu, yang biasanya berlaku bagi barang tradisional, seperti karet dan kopi. "Devaluasi rupiah yang lalu membuat para eksportir dengan sendirinya memperoleh rupiah yang lebih banyak untuk nilai tukar satu dollar AS," kata Ali Wardhana. Selain itu, mungkin, pemerintah beranggapan di masa resesi ekonomi sekarang upaya untuk mendorong ekspor ternyata tak berarti banyak. Permintaan di negara industri 'kan lagi kendur?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus