Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Penularan Krisis yang Sangat Menakutkan

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Ehwan Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALARM dari emas makin kencang menyala, bertalu-talu bunyinya. Di pasar keuangan, emas bukanlah sekadar wahana investasi. Logam mulia ini juga dapat menjadi sinyal datangnya krisis. Ketika aset finansial lain terancam runtuh, emas kerap menjadi tempat berlindung paling aman. Maka, ketika harga emas melonjak sangat cepat, inilah pertanda bahwa investor di pasar finansial perlu benar-benar bersiaga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak awal tahun, harga emas sudah meroket lebih dari 35 persen menjadi US$ 2.066 per troi ons per Jumat, 7 Agustus lalu. Ini rekor kenaikan harga paling cepat dalam empat dekade terakhir. Tren ini sepertinya bakal masih panjang. Bank of America Corp memperkirakan ada kemungkinan cukup besar bahwa harga emas akan terus menanjak hingga US$ 3.000 per troi ons dalam tempo 18 bulan mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prediksi ini cukup beralasan karena biang kerok meroketnya harga emas adalah pagebluk Covid-19. Hingga kini, pandemi belum juga reda menghajar ekonomi hampir semua negara. Kabar baik tentang vaksin yang mulai memasuki tahap uji coba belum mampu mendorong optimisme pasar dan mendongkrak harapan.

Kian lama kian jelas, kerusakan ekonomi sedunia karena wabah ini sangat parah. Kecuali ekonomi Cina yang kini mulai menggelinding, kecil kemungkinan akan muncul pemulihan cepat di berbagai ekonomi yang telanjur terpuruk. Usaha pemerintah di banyak negara, termasuk menyuntik ekonomi dengan likuiditas melimpah, seolah-olah sia-sia. Padahal, demi upaya penyelamatan ekonomi itu, defisit anggaran dan utang pemerintah di mana-mana harus melambung tak tertahankan.

Membanjirnya likuiditas justru telah menimbulkan dampak jangka pendek yang mulai menyulitkan. Itu juga terjadi di Amerika Serikat. Sebetulnya suku bunga dan imbal hasil obligasi riil di Amerika saat ini praktis sudah negatif. Dalam keadaan normal, bunga rendah dan biaya berutang yang amat murah semestinya mendorong aktivitas ekonomi bergerak lebih kencang. Tapi krisis kali ini memang bukan soal ekonomi semata. Ada wabah yang membuat orang belum merasa aman beraktivitas. Bagaimana ekonomi bisa bergerak cepat jika virus kian merajalela dan interaksi fisik terbatas? Setidaknya ada sebagian produktivitas ekonomi yang lenyap karena ketakutan pada pandemi ini.

Sementara ekonomi masih macet, ekspektasi akan terjadinya inflasi justru meningkat. Inilah skenario munculnya stagflasi yang amat menakutkan. Pasokan dolar baru dari The Federal Reserve yang kian deras bak air bah memicu inflasi kendati gagal mendorong ekonomi bergerak. Antisipasi terhadap kemungkinan terburuk ini membuat nilai dolar Amerika pelan-pelan tergerus. Itu tecermin pada Dollar Index, yang mengukur nilai dolar Amerika terhadap enam mata uang negara maju. Sejak mencapai titik tertingginya tahun ini pada 20 Maret lalu, Dollar Index sudah rontok hampir 10 persen hingga akhir pekan pertama Agustus.

Di Indonesia, sayangnya, rontoknya dolar Amerika tidak berefek positif. Nilai rupiah terhadap dolar justru kian terpuruk sejak 3 Juni, ketika harga satu dolar Amerika hanya Rp 13.878. Hingga 7 Agustus, kurs rupiah makin melemah menjadi 14.625 per dolar. Kian lemahnya rupiah tentu berkaitan dengan memburuknya kinerja ekonomi Indonesia. Selama kurun antara Juli 2019 dan akhir Juni 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi atau mengerut 5,32 persen. Inilah kontraksi ekonomi paling buruk semenjak krisis 1998.

Ada pula soal lain yang tak kalah serius. Sebagai sesama pasar negara berkembang, Indonesia sebenarnya sedang terkena imbas persoalan lebih berat yang tengah menimpa Turki. Nilai lira Turki ambruk menjadi 7,23 per dolar, pada saat tulisan ini naik cetak 7 Agustus lalu. Jika dihitung sejak awal tahun, lira Turki sudah ambles 21,4 persen. Bila tak teratasi segera, buruknya pengelolaan ekonomi yang membuat lira Turki ambrol dapat memicu krisis baru yang meledak ketika krisis global masih menggelegak.

Masalahnya, krisis negara berkembang punya tabiat seperti Covid-19. Ia mudah menular ke sesama negara berkembang meski kondisinya jauh berbeda. Itulah yang menjatuhkan Indonesia pada 1998.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus