Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH kalangan mengkritik masuknya Tentara Nasional Indonesia dalam pendisiplinan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan pada masa pandemi corona. Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan pelibatan itu menunjukkan niat pemerintah menerapkan kebijakan darurat sipil. “Militer turun untuk menegakkan aturan,” kata Feri, Rabu, 5 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua Bidang Akademik dan Penelitian pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan pelibatan militer dalam kegiatan sipil bertentangan dengan Undang-Undang TNI. Menurut dia, militer seharusnya berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan. Ia khawatir tentara akan mendisiplinkan masyarakat dengan pendekatan keamanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelibatan TNI itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin yang ditandatangani pada Senin, 3 Agustus lalu. Dalam instruksi tersebut, Presiden juga memerintahkan kepala daerah melibatkan TNI untuk menerapkan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, memperkirakan instruksi tersebut tak akan efektif. Seharusnya pemerintah mendorong munculnya inisiatif masyarakat melalui pendekatan kesehatan.
Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Sisriadi mengatakan lembaganya belum memutuskan metode pendekatan untuk mengawasi kepatuhan masyarakat. “Metodenya pasti akan berbeda-beda di setiap daerah karena tak semua daerah punya aturan yang memberikan sanksi untuk pelanggar protokol,” ucapnya.
Anggota staf khusus presiden, Dini Purwono, menyatakan pelibatan TNI sesuai dengan aturan. Sebab, Undang-Undang TNI menyatakan tugas militer tak hanya menangani pertahanan perang dan operasi militer, tapi juga memulihkan kondisi keamanan negara akibat bencana. “Tak ada tugas dan fungsi TNI yang dilampaui,” ujarnya.
Masuk Terlalu Jauh
KEPUTUSAN Presiden Joko Widodo melibatkan TNI dalam mendisiplinkan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan makin menambah peran TNI dalam pengendalian wabah. Namun TNI dinilai terlalu jauh masuk ke ranah sipil.
Instruksi kepada Panglima
- Menggerakkan kekuatan TNI untuk mengawasi pelaksanaan protokol kesehatan.
- TNI bersama Kepolisian RI dan lembaga lain berpatroli menerapkan protokol kesehatan.
- Membina masyarakat untuk berpartisipasi dalam pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Penerapan Sanksi
Kepala daerah berkoordinasi dengan lembaga terkait, TNI, dan Polri dalam melaksanakan penerapan sanksi atas peraturan daerah.
Peran TNI Menangani Wabah
- Mengurus rumah sakit darurat
TNI dipercaya memimpin penanganan pasien di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta Pusat, dan di Pulau Galang, Kepulauan Riau.
- Petugas data wabah
Sejak akhir April lalu, Gugus Tugas Covid-19 bermitra dengan TNI mengawasi pasokan data dari daerah ke aplikasi Bersatu Lawan Covid.
- Mengendalikan wabah di Jawa Timur
Akhir Mei lalu, TNI mengutus Marsekal Muda Imran Baidirus untuk membantu menangani virus corona di Jawa Timur.
- Melacak kontak
Sejumlah pemerintah daerah di Jawa Barat dan Jawa Timur meminta TNI dan Polri membantu pelacakan kontak dari kasus positif corona.
- Pemakaman jenazah
Beberapa pemerintah daerah meminta bantuan personel TNI dan Polri untuk mengawasi pemulasaran jenazah karena sejumlah kalangan menolak penerapan prosedur pemakaman Covid-19.
PDIP Dorong Anggotanya Mengurus PKH
SEJUMLAH pegiat antikorupsi mengkritik sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang memerintahkan anggotanya mengikuti seleksi koordinator Program Keluarga Harapan (PKH). Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Gunadi Ridwan, dan Koordinator Divisi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengatakan masuknya anggota partai merupakan pelanggaran aturan.
“Kader partai berpotensi melakukan penyimpangan penyaluran dana program,” kata Donal pada Selasa, 5 Agustus lalu. Adapun Menteri Sosial Juliari Batubara mengatakan kader partai tak boleh menjadi pengurus program senilai Rp 37,4 triliun itu.
Surat tertanggal 15 Juli lalu yang ditandatangani Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua Nusyirwan Soejono memerintahkan pengurus cabang mengikuti rekrutmen koordinator PKH. “Kepentingan partai adalah memastikan program pemerintah tepat sasaran,” ujar Ketua PDIP Sri Rahayu.
Presiden Joko Widodo dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Komjen Pol Budi Gunawan, di Istana Negara, Jakarta, September 2016. TEMPO/Subekti
Posisi BIN Tuai Kritik
PEGIAT hak asasi manusia mengkritik keputusan Presiden Joko Widodo yang menempatkan Badan Intelijen Negara langsung di bawah kendalinya. Koordinator peneliti Imparsial, Ardi Marto, mengatakan BIN berpotensi menjadi alat politik kekuasaan. “Menempatkan BIN di bawah presiden bukan pilihan bijak di era demokrasi,” kata Ardi pada Jumat, 7 Agustus lalu.
Perubahan posisi BIN itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2020 tertanggal 3 Juli. Semula, BIN berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Ardi menilai seharusnya BIN ditempatkan dalam posisi menjaga keamanan dan pertahanan negara.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan perubahan itu terjadi karena, “Produknya bersifat rahasia dan sangat dibutuhkan langsung oleh Presiden.” Kendati demikian, Mahfud menyatakan tetap bisa meminta informasi intelijen dari BIN.
Indonesia-Amerika Tukar Buron
PEMERINTAH Indonesia dan Amerika Serikat bersepakat untuk bertukar buron. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Awi Setyono mengatakan pemerintah Amerika akan memulangkan dua buron Indonesia yang tertangkap di sana. “Pada 4 Agustus, kami menyetujui langkah deportasi dengan jaminan resiprositas dari Amerika,” kata Awi pada Rabu, 5 Agustus lalu.
Dua buron asal Indonesia adalah Indra Budiman, tersangka penipuan dan pencucian uang dalam penjualan Condotel Swiss-Belhotel di Bali, dan Sai Ngo Ng, tersangka kasus korupsi kredit fiktif Bank Jawa Timur cabang Wolter Monginsidi, Jakarta.
Adapun pemerintah akan memulangkan Marcus Beam. Ia ditangkap di Bali pada 23 Juli lalu karena terlibat kasus pembuatan konten pornografi.
Terdakwa mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum RI, Wahyu Setiawan mengikuti sidang pembacaan surat tuntutan di Pegadilan Tindak Pidana Korupsi secara daring dari gedung KPK Jakarta, 3 Agustus 2020. TEMPO/Imam Sukamto
Eks Anggota KPU Dituntut 8 Tahun
JAKSA penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa juga menuntut hak politik Wahyu dicabut selama empat tahun. “Kami menuntut hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi,” kata jaksa KPK, Takdir Suhan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 3 Agustus lalu.
Menurut jaksa, Wahyu terbukti menerima suap Rp 600 juta dari kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Saeful Bahri. Suap itu terkait dengan pergantian antarwaktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang akan digantikan oleh calon legislator Harun Masiku. Hingga kini, Harun yang berstatus tersangka masih dalam pelarian.
Wahyu juga diduga menerima Rp 500 juta untuk memuluskan pemilihan anggota KPU Papua Barat pada 2020-2025. Jaksa pun menolak permohonan Wahyu menjadi justice collaborator.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo