Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Setelah kasasi ditolak Mahkamah Agung, Sritex berencana kembali melakukan upaya hukum berupa pengajuan peninjauan kembali (PK).
Hingga saat ini, Sritex telah merumahkan sekitar 3.000 karyawan. Ruang gerak perusahaan untuk beroperasi pun kian sempit lantaran sebagian bahan baku harus didatangkan dari luar negeri.
Guru besar hukum kepailitan Universitas Airlangga, Hadi Subhan, menjelaskan tiga kemungkinan skenario dampak kepailitan terhadap karyawan.
PUTUSAN Mahkamah Agung yang menolak kasasi PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex bagai petir di siang bolong bagi Slamet Kaswanto. Koordinator Serikat Pekerja Sritex Group tersebut awalnya berharap Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan perusahaan terbesar di bidang tekstil itu terhadap putusan Pengadilan Niaga Semarang.
"Ini menjadi bayang-bayang yang sangat mencekam bagi kami semua," kata Slamet saat dihubungi pada Jumat, 20 Desember 2024.
Pada Rabu, 18 Desember 2024, ketua majelis hakim agung, Hamdi; serta dua anggotanya, yakni hakim agung Nani Indrawati dan Lucas Prakoso, membacakan putusan yang menolak permohonan kasasi Sritex soal vonis pailit yang dijatuhkan Pengadilan Niaga Semarang. Dengan turunnya putusan penolakan kasasi Nomor Perkara: 1345 K/PDT.SUS-PAILIT 2024 itu, status pailit Sritex sah secara hukum atau inkrah.
Kasasi diajukan Sritex setelah pada 23 Oktober 2024 Pengadilan Niaga Semarang memutuskan Sritex pailit. Pengadilan menyatakan Sritex beserta anak-anak usahanya, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, lalai memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon selaku pemasok berdasarkan perjanjian perdamaian atau homologasi tertanggal 25 Januari 2022.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo