Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kurk untuk kaki lima

Gubernur jatim, soenandar prijosudarmo, memperkenalkan kredit usaha rakyat kecil untuk pedagang kecil. (eb)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI Masuni tak lagi merasa perlu pinjam uang dari rentenir. Penjual dawet di pasar Laren itu, baru saja mendapat Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) Rp 5.000 dari Koperasi Unit Desa, Laren, Lamongan, Jawa Timur. Dengan pinjaman modal kerja itu, yang diperolehnya tanpa menyerahkan agunan, Masuni, 29 tahun, yang beranak lima, kini bisa berdagang dengan tenteram. Maklum, pengecer kelas gurem ini hanya dikenai kewajiban mengangsur utangnya Rp 600 setiap dua minggu, yang boleh dicicil 12 kali. Sekalipun sesungguhnya kredit itu jika dihitung berbunga 95% per tahun, Masuni toh tak merasa jadi sapi perahan. "Daripada saya pinjam rentenir, yang sehari mesti setor Rp 200, cicilan sebesar itu tak terasa berat," katanya. "Sebab untuk mencicil kredit itu saya hanya menyisihkan Rp 50 setiap hari." KURK memang diperkenalkan untuk menandingi rentenir. "Kalau para bakul itu bisa pinjam uang dengan bunga tinggi, mengapa tidak memanfaatkan KURK, yang tanpa jaminan," kata Wayan Yona, staf Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Ja-Tim. Di daerah minus seperti Laren, rentenir konon, bisa mengenakan bunga 120% per tahun. Secara resmi baru Januari lalu Gubenur Ja-Tim Soenandar Prijosudarmo memperkenalkan KURK untuk dimanfaatkan calon nasabah berpenghasilan rendah. Pada hakikatnya pula, KURK yang menyerupai Kredit Modal Kerja Permanen ini, tidak mengenal bunga atas utang pokok. Sebab kelebihan pembayaran utang itu, sebesar Rp 2.200 untuk kasus Masuni, sebagian digunakan (Rp 1.000) untuk honor para pengelola, dan sebagian lagi (Rp 1.200) ditabung sebagai simpanan nasabah, yang kelak bisa diambil kembali. Gubernur Soenandar menganggap pembagian honor untuk para pengelola itu sebagai hal yang wajar. "Kasihan dong mereka yang kerja keras di KUD itu," katanya pekan lalu. Gagasan memperkenalkan KURK sesungguhnya sudah muncul sejak 4 tahun lampau. Ketika meninjau pelosok pedesaan di Madura saat itu, Gubernur Soenandar melihat betapa sulitnya pedagang kaki lima mencari pinjaman untuk usahanya. Dalam usaha menandingi operasi rentenir itulah, dia lalu mencobakan fasilitas peminjaman dalam skala kecil, yang bisa diperoleh cepat, dan mudah di 55 desa Kabupaten Sumenep, Madura. Dalam tempo 3 tahun (1979-1982), pinjaman itu ternyata telah dimanfaatkan 4.000 lebih nasabah dengan jumlah dana Rp 756 juta. Tapi seperti juga pemakai KMKP, nasabah yang memanfaatkan pinjaman itu ternyata tidak seluruhnya punya reputasi baik. Buktinya kredit macet dalam proyek perintisan di Madura itu mencapai Rp 35 juta lebih, atau 4,6% dari seluruh total kredit yang disalurkan selama itu. Tapi dari segi pengelolaan bank sehat, kredit macet sebesar itu dianggap tak begitu mengkhawatirkan. Gubernur Soenandar sendiri, sesudah secara resmi memperkenalkan fasilitas itu dengan nama KURK, kemudian memperkenalkannya pula ke daerah rawan seperti Bojonegoro, Trenggalek, Pacitan, dan Lamongan. Menurut pihak Bappeda Ja-Tim, dana likuiditas untuk KURK itu, diperoleh dari APBN, yang disalurkan lewat pelbagai fasilitas Inpres, dan bantuan dari Bank Dunia. Dana itu kemudian didistribusikan ke desa-desa (KUD), yang minimal memperoleh Rp 500 ribu. Jika modal pokok ini dianggap kurang, manajer KUD bisa mengajukan permintaan tambahan pada Bank Pembangunan Daerah setempat. Dana inilah yang kemudian dipinjamkan kepada para pedagang kecil, minimal Rp 5.000, dan maksimal Rp 100 ribu. Nasabah kecil itu juga bisa memilih cara angsuran: 1 mingguan, 2 mingguan, atau 4 mingguan. Jika angsuran yang dipakai 4 mingguan, dalam tabel yang dikeluarkan Gubernur Soenandar, volume cicilannya lebih besar dibandingkan yang 1 mingguan. Merasa bahwa manfaat KURK ini besar sekali bagi rakyat kecil, Gubernur Soenandar dikabarkan telah meminta pemerintah pusat agar mengirimkan dana likuiditas Rp 2 milyar. Departemen Keuangan sebelumnya konon sudah memberi Rp 300 juta. Jakarta yang besar perhatiannya pada si kecil ini agaknya tak keberatan mengabulkan permintaan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus