KINI Masuni tak lagi merasa perlu pinjam uang dari rentenir.
Penjual dawet di pasar Laren itu, baru saja mendapat Kredit
Usaha Rakyat Kecil (KURK) Rp 5.000 dari Koperasi Unit Desa,
Laren, Lamongan, Jawa Timur. Dengan pinjaman modal kerja itu,
yang diperolehnya tanpa menyerahkan agunan, Masuni, 29 tahun,
yang beranak lima, kini bisa berdagang dengan tenteram.
Maklum, pengecer kelas gurem ini hanya dikenai kewajiban
mengangsur utangnya Rp 600 setiap dua minggu, yang boleh dicicil
12 kali. Sekalipun sesungguhnya kredit itu jika dihitung
berbunga 95% per tahun, Masuni toh tak merasa jadi sapi perahan.
"Daripada saya pinjam rentenir, yang sehari mesti setor Rp 200,
cicilan sebesar itu tak terasa berat," katanya. "Sebab untuk
mencicil kredit itu saya hanya menyisihkan Rp 50 setiap hari."
KURK memang diperkenalkan untuk menandingi rentenir. "Kalau para
bakul itu bisa pinjam uang dengan bunga tinggi, mengapa tidak
memanfaatkan KURK, yang tanpa jaminan," kata Wayan Yona, staf
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Ja-Tim. Di daerah minus
seperti Laren, rentenir konon, bisa mengenakan bunga 120% per
tahun.
Secara resmi baru Januari lalu Gubenur Ja-Tim Soenandar
Prijosudarmo memperkenalkan KURK untuk dimanfaatkan calon
nasabah berpenghasilan rendah. Pada hakikatnya pula, KURK yang
menyerupai Kredit Modal Kerja Permanen ini, tidak mengenal bunga
atas utang pokok. Sebab kelebihan pembayaran utang itu, sebesar
Rp 2.200 untuk kasus Masuni, sebagian digunakan (Rp 1.000) untuk
honor para pengelola, dan sebagian lagi (Rp 1.200) ditabung
sebagai simpanan nasabah, yang kelak bisa diambil kembali.
Gubernur Soenandar menganggap pembagian honor untuk para
pengelola itu sebagai hal yang wajar. "Kasihan dong mereka yang
kerja keras di KUD itu," katanya pekan lalu.
Gagasan memperkenalkan KURK sesungguhnya sudah muncul sejak 4
tahun lampau. Ketika meninjau pelosok pedesaan di Madura saat
itu, Gubernur Soenandar melihat betapa sulitnya pedagang kaki
lima mencari pinjaman untuk usahanya. Dalam usaha menandingi
operasi rentenir itulah, dia lalu mencobakan fasilitas
peminjaman dalam skala kecil, yang bisa diperoleh cepat, dan
mudah di 55 desa Kabupaten Sumenep, Madura. Dalam tempo 3 tahun
(1979-1982), pinjaman itu ternyata telah dimanfaatkan 4.000
lebih nasabah dengan jumlah dana Rp 756 juta.
Tapi seperti juga pemakai KMKP, nasabah yang memanfaatkan
pinjaman itu ternyata tidak seluruhnya punya reputasi baik.
Buktinya kredit macet dalam proyek perintisan di Madura itu
mencapai Rp 35 juta lebih, atau 4,6% dari seluruh total kredit
yang disalurkan selama itu.
Tapi dari segi pengelolaan bank sehat, kredit macet sebesar itu
dianggap tak begitu mengkhawatirkan. Gubernur Soenandar sendiri,
sesudah secara resmi memperkenalkan fasilitas itu dengan nama
KURK, kemudian memperkenalkannya pula ke daerah rawan seperti
Bojonegoro, Trenggalek, Pacitan, dan Lamongan. Menurut pihak
Bappeda Ja-Tim, dana likuiditas untuk KURK itu, diperoleh dari
APBN, yang disalurkan lewat pelbagai fasilitas Inpres, dan
bantuan dari Bank Dunia.
Dana itu kemudian didistribusikan ke desa-desa (KUD), yang
minimal memperoleh Rp 500 ribu. Jika modal pokok ini dianggap
kurang, manajer KUD bisa mengajukan permintaan tambahan pada
Bank Pembangunan Daerah setempat. Dana inilah yang kemudian
dipinjamkan kepada para pedagang kecil, minimal Rp 5.000, dan
maksimal Rp 100 ribu. Nasabah kecil itu juga bisa memilih cara
angsuran: 1 mingguan, 2 mingguan, atau 4 mingguan. Jika angsuran
yang dipakai 4 mingguan, dalam tabel yang dikeluarkan Gubernur
Soenandar, volume cicilannya lebih besar dibandingkan yang 1
mingguan.
Merasa bahwa manfaat KURK ini besar sekali bagi rakyat kecil,
Gubernur Soenandar dikabarkan telah meminta pemerintah pusat
agar mengirimkan dana likuiditas Rp 2 milyar. Departemen
Keuangan sebelumnya konon sudah memberi Rp 300 juta. Jakarta
yang besar perhatiannya pada si kecil ini agaknya tak keberatan
mengabulkan permintaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini