SAMPAI sekarang, kompleks Lingkungan Industri Kecil (LIK) itu
kelihatan lengang. Sejak ditinggalkan 30 pengusaha kecil
penghuninya, wajah LIK, terletak 5 km dari Tasikmalaya, bagaikan
perkampungan sehabis dilanda gempa. Padahal baru 8 Februari lalu
Menteri Perindustrian A.R. Soehoed ketika itu, meresmikannya.
Sejumlah 14 orang yang angkat kaki dari situ ternyata pengusaha
bordir pakaian asal Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya. Mereka
terpaksa meninggalkan LIK, kata Haji Nunu, ketua Koperasi Unit
Desa Talagasari, karena tidak mampu lagi mencicil pinjaman
Kredit Investasi Kecil (KIK). Untuk pengusaha, yang mendapat
bangunan dengan KIK Rp 7,6 juta, misalnya, sebap bulan harus
membayar cicilan Rp 150 ribu -- sesudah tiga bulan pertama
membayar angsuran bunga yang Rp 70 ribu sebulan.
Celakanya, menurut Haji Nunu, mereka tak mendapat Kredit Modal
Kerja Permanen (KMKP). Karuan saja para pengusaha yang nyaris
tak bermodal itu, jadi terjengkang. "Pengusaha kecil diberi KIK,
tapi tak dikasih KMKP, sama saja dengan menyuruh mereka tak
mel?kukan apa-apa," ujar Nunu. Pak Haji ini sebelumnya pernah
juga mencoba tinggal di LIK itu. Tapi sesudah KMKP yang
dijanjikan tak juga muncul, dia pun angkat kaki sesudah di situ
selama sebulan.
Pada mulanya ketika gagasan menampung pengusaha lemah di sana
dicetuskan, tercatat 109 pengusaha yang berminat. Dari jumlah
itu, pihak pengelola hanya bisa menerima 12 pengusaha kecil,
yang dianggap layak menerima KIK dan KMKP, sekalipun bangunan
yang sudah siap ditempati berjumlah 64 buah. Di tempat itulah
pengelola berusaha mengumpulkan pengusaha kecil yang bergerak di
bidang konveksi, bordir pakaian, anyaman, dan sepatu.
Selain sarana bangunan berikut aliran listrik dan air, pengelola
biasanya juga menyediakan fasilitas ruang pameran, gudang,
tempat penjualan, dan pusat pelayanan, yang bisa dimanfaatkan
pengusaha. "Pokoknya tinggal menempati," kata Bambang Indiarto,
kepala kantor PT Tanah Makmur, yang menangani LIK Bugangan Baru,
Semarang. Tapi karena lokasi LIK itu jauh dari pusat pemasaran
-- juga LIK di Sidoardjo -- banyak pengusaha kecil beranggapan,
itu hanya menambah ongkos transpor.
Karena alasan itulah, dari 80 bangunan di LIK Bugangan Baru,
yang diperuntukkan bagi pengusaha logam, tahu sampai tempe,
hanya 30% yang ditempati. Itu pun tidak sepenuhnya dipakai untuk
melakukan kegiatan usaha. Banyak di antaranya yang justru
memanfaatkan bangunan di situ untuk gudang. Maklum bangunan
seluas 39 meter persegi dengan harga Rp 2,2 juta, dan boleh
dicicil 10 bulan itu, dianggap cukup murah dibandingkan menyewa
ruangan di kota.
Dari LIK Medan, terletak di KM 10,2 kompleks Mabar Jalan
Medan-Belawan, muncul pula berita kurang sedap. Tukio, 56 tahun,
pengusaha perabot terpaksa pula harus meninggalkan tempat itu
belum lama ini, sekalipun baru masuk ke sana Januari lalu. Dia
merasakan berat jika setiap kali harus mengeluarkan Rp 2.500
untuk mengangkat barang dari situ ke kota. Sewa bangunan Rp 54
ribu, ditambah lagi biaya sewa listrik dan air Rp 90 ribu
sebulan, menambah beban pula. "Selama tiga bulan di sana, boleh
dikatakan Rp 250 ribu uang saya hangus," kata Tukio.
Dibangun dengan dana Rp 725 juta -- masih akan ditambah Rp 53
juta lagi -- kompleks LIK di Medan itu siap menyediakan sarana
30 bangunan, yang ditawarkan pada pengusaha logam dan kayu. Tapi
karena pemakaian kawasan itu belum diresmikan, hingga kini baru
3 bangunan yang masuk. Meskipun ada tercatat 27 pengusaha yang
tadinya menaruh minat.
Akankah LIK Medan mengalami nasib sama dengan LIK Yogyakarta?
Belum jelas benar. LIK Yogya, yang dijadikan model pengembangan
industri kecil pertama -- terletak di atas kawasan 4,6 ha (5 km
sebelah timur pusat kota) -- diresmikan Presiden Soeharto dua
tahun lalu. Di situ tercatat 33 pengusaha kecil, menjajakan
kerajinan batik, tas kulit, wayang kulit, perak bakar, dan
ukiran rotan di dalam ruangan berkaca riben. Pada awalnya memang
LIK model ini dibangun untuk justru memudahkan turis memperoleh
barang kerajinan dan industri dari suatu tempat.
Tapi entah mengapa, turis luar negeri dan lokal, toh tetap
mencari barang keramik, misalnya, di desa asalnya: Kasongan,
Bantul. Saking sepinya pembeli, kios wayang kulit Moel
Josuhardio, misalnya, mengaku rata-rata seminggu hanya mendapat
Rp 5.000. Juga karena jengkel tidak dibeli, pemilik kios
akhirnya memindahkan sebagian besar dagangannya ke tokonya
sendiri yang lain di Taman Sari, yang ternyata lebih laris.
Tentu bukan hanya cerita suram yang datang dari pelbagai LIK
itu. Ii Apandi, 46 tahun, pengusaha mendong di LIK Tasikmalaya
justru maju sesudah pindah ke situ. Dulu ketika masih berusaha
di Desa Sukawangun, Kecamatan Karangnunggal, dia hanya bisa
menjual 2.000 anyaman mendong sebulan. Segera sesudah mendapat
KMKP Rp 4,2 juta, di LIK Tasikmalaya itulah Apandi berhasil
meningkatkan penjualan mendongnya jadi 6.000 helai sebulan,
dengan harga jual Rp 7.000, sebelumnya Rp 5.000 sehelai.
Cerita sukses serupa tentu menggembirakan pemerintah. Dengan
pertimbangan itulah, pemerintah dalam beleid barunya di bidang
perbankan, tetap mempertahankan bunga KIK dan KMKP 12% setahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini