Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kalau cuma kik

Komplek lingkungan industri kecil (lik) di beberapa tempat ditinggalkan para pengusaha kecil penghuninya, karena tidak mampu mencicil pinjaman kik. para pengusaha tersebut. tidak mendapat kmkp. (eb)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI sekarang, kompleks Lingkungan Industri Kecil (LIK) itu kelihatan lengang. Sejak ditinggalkan 30 pengusaha kecil penghuninya, wajah LIK, terletak 5 km dari Tasikmalaya, bagaikan perkampungan sehabis dilanda gempa. Padahal baru 8 Februari lalu Menteri Perindustrian A.R. Soehoed ketika itu, meresmikannya. Sejumlah 14 orang yang angkat kaki dari situ ternyata pengusaha bordir pakaian asal Kecamatan Kawalu, Tasikmalaya. Mereka terpaksa meninggalkan LIK, kata Haji Nunu, ketua Koperasi Unit Desa Talagasari, karena tidak mampu lagi mencicil pinjaman Kredit Investasi Kecil (KIK). Untuk pengusaha, yang mendapat bangunan dengan KIK Rp 7,6 juta, misalnya, sebap bulan harus membayar cicilan Rp 150 ribu -- sesudah tiga bulan pertama membayar angsuran bunga yang Rp 70 ribu sebulan. Celakanya, menurut Haji Nunu, mereka tak mendapat Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP). Karuan saja para pengusaha yang nyaris tak bermodal itu, jadi terjengkang. "Pengusaha kecil diberi KIK, tapi tak dikasih KMKP, sama saja dengan menyuruh mereka tak mel?kukan apa-apa," ujar Nunu. Pak Haji ini sebelumnya pernah juga mencoba tinggal di LIK itu. Tapi sesudah KMKP yang dijanjikan tak juga muncul, dia pun angkat kaki sesudah di situ selama sebulan. Pada mulanya ketika gagasan menampung pengusaha lemah di sana dicetuskan, tercatat 109 pengusaha yang berminat. Dari jumlah itu, pihak pengelola hanya bisa menerima 12 pengusaha kecil, yang dianggap layak menerima KIK dan KMKP, sekalipun bangunan yang sudah siap ditempati berjumlah 64 buah. Di tempat itulah pengelola berusaha mengumpulkan pengusaha kecil yang bergerak di bidang konveksi, bordir pakaian, anyaman, dan sepatu. Selain sarana bangunan berikut aliran listrik dan air, pengelola biasanya juga menyediakan fasilitas ruang pameran, gudang, tempat penjualan, dan pusat pelayanan, yang bisa dimanfaatkan pengusaha. "Pokoknya tinggal menempati," kata Bambang Indiarto, kepala kantor PT Tanah Makmur, yang menangani LIK Bugangan Baru, Semarang. Tapi karena lokasi LIK itu jauh dari pusat pemasaran -- juga LIK di Sidoardjo -- banyak pengusaha kecil beranggapan, itu hanya menambah ongkos transpor. Karena alasan itulah, dari 80 bangunan di LIK Bugangan Baru, yang diperuntukkan bagi pengusaha logam, tahu sampai tempe, hanya 30% yang ditempati. Itu pun tidak sepenuhnya dipakai untuk melakukan kegiatan usaha. Banyak di antaranya yang justru memanfaatkan bangunan di situ untuk gudang. Maklum bangunan seluas 39 meter persegi dengan harga Rp 2,2 juta, dan boleh dicicil 10 bulan itu, dianggap cukup murah dibandingkan menyewa ruangan di kota. Dari LIK Medan, terletak di KM 10,2 kompleks Mabar Jalan Medan-Belawan, muncul pula berita kurang sedap. Tukio, 56 tahun, pengusaha perabot terpaksa pula harus meninggalkan tempat itu belum lama ini, sekalipun baru masuk ke sana Januari lalu. Dia merasakan berat jika setiap kali harus mengeluarkan Rp 2.500 untuk mengangkat barang dari situ ke kota. Sewa bangunan Rp 54 ribu, ditambah lagi biaya sewa listrik dan air Rp 90 ribu sebulan, menambah beban pula. "Selama tiga bulan di sana, boleh dikatakan Rp 250 ribu uang saya hangus," kata Tukio. Dibangun dengan dana Rp 725 juta -- masih akan ditambah Rp 53 juta lagi -- kompleks LIK di Medan itu siap menyediakan sarana 30 bangunan, yang ditawarkan pada pengusaha logam dan kayu. Tapi karena pemakaian kawasan itu belum diresmikan, hingga kini baru 3 bangunan yang masuk. Meskipun ada tercatat 27 pengusaha yang tadinya menaruh minat. Akankah LIK Medan mengalami nasib sama dengan LIK Yogyakarta? Belum jelas benar. LIK Yogya, yang dijadikan model pengembangan industri kecil pertama -- terletak di atas kawasan 4,6 ha (5 km sebelah timur pusat kota) -- diresmikan Presiden Soeharto dua tahun lalu. Di situ tercatat 33 pengusaha kecil, menjajakan kerajinan batik, tas kulit, wayang kulit, perak bakar, dan ukiran rotan di dalam ruangan berkaca riben. Pada awalnya memang LIK model ini dibangun untuk justru memudahkan turis memperoleh barang kerajinan dan industri dari suatu tempat. Tapi entah mengapa, turis luar negeri dan lokal, toh tetap mencari barang keramik, misalnya, di desa asalnya: Kasongan, Bantul. Saking sepinya pembeli, kios wayang kulit Moel Josuhardio, misalnya, mengaku rata-rata seminggu hanya mendapat Rp 5.000. Juga karena jengkel tidak dibeli, pemilik kios akhirnya memindahkan sebagian besar dagangannya ke tokonya sendiri yang lain di Taman Sari, yang ternyata lebih laris. Tentu bukan hanya cerita suram yang datang dari pelbagai LIK itu. Ii Apandi, 46 tahun, pengusaha mendong di LIK Tasikmalaya justru maju sesudah pindah ke situ. Dulu ketika masih berusaha di Desa Sukawangun, Kecamatan Karangnunggal, dia hanya bisa menjual 2.000 anyaman mendong sebulan. Segera sesudah mendapat KMKP Rp 4,2 juta, di LIK Tasikmalaya itulah Apandi berhasil meningkatkan penjualan mendongnya jadi 6.000 helai sebulan, dengan harga jual Rp 7.000, sebelumnya Rp 5.000 sehelai. Cerita sukses serupa tentu menggembirakan pemerintah. Dengan pertimbangan itulah, pemerintah dalam beleid barunya di bidang perbankan, tetap mempertahankan bunga KIK dan KMKP 12% setahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus