Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bankir berkumpul mengukur bunga

Komite perbanas berunding untuk menetapkan tingginya suku bunga kredit. ada kekhawatiran para bankir akan membentuk semacam kartel (bunga seragam).(eb)

18 Juni 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USAHA pemerintah mengerahkan dana masyarakat, dengan menaikkan bunga Tabanas dan membebaskan bank pemerintah menetapkan sendiri tingkat bunga deposito, telah mendorong bank swasta membenahi diri. Suatu strategi baru kini tengah disusun sebuah komite kecil, yang dipimpin bankir terkemuka Mochtar Riady, menyusul pertemuan Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta (Perbanas) di Panin Bank Jakarta, pekan lalu. Komite itu, demikian Ketua Perbanas I Nyoman Moena, antara lain ditugasi menyiapkan suatu struktur tingkat bunga deposito rata-rata bank swasta, yang bisa cukup bersaing. Berapa persisnya, Nyoman Moena tidak mengungkapkannya. Dia hanya memberi ancar-ancar, tingkat bunga deposito 18% per tahun cukup memungkinkan sebuah bank swasta "bersaing sehat" dengan bank pemerintah untuk menyedot dana. Pendeknya, pihak Perbanas tidak ingin melihat timbulnya semacam perang bunga deposito. Sebab pada akhirnya, jika penarikan dana itu dilakukan dengan bersaing bunga tinggi, bunga kredit yang diberikan kepada peminjam pun harus naik. Situasi seperti isu jelas tidak dikehendaki pihak Perbanas, justru di saat dunia usaha yang sedang lesu butuh banyak likuiditas. "Kami tidak akan jor-joran mendapatkan dana deposito, sekarang segalanya harus dihitung cermat," ujar Prijatna Atmadja, direktur Bank Dagang Masional Indonesia (BDNI). Karena itulah tingkat bunga deposito berjangka BDNI tidak berubah. Untuk deposito berjangka 6 bulan, misalnya, BDNI memberikan bunga 17% per tahun. Tingkat bunga setinggi itu sampai pekan lalu juga masih diberikan oleh Overseas Express Bank (OEB), yang dipimpin Nyoman Moena, untuk deposito berjangka 6 bulan. Yang agak mengherankan, Bank Perkembangan Asia (BPA) justru menurunkan bunga depositonya. Untuk deposito berjangka 12 bulan, misalnya, bunganya turun dari 2% jadi 1,75% sebulan. Penurunan suku bunga sebesar itu juga dilakukan Bank Agung Asia. Kedua bank swasta itu terkenal paling berani memasang bunga deposito tinggi. Kenapa turun? "Karena dana terlalu banyak, untuk sementara kami mengadakan pembatasan," kata seorang pejabat di BPA. Dengan perkataan lain, bank ini yang punya dana Rp 17 milyar (per 30 April) dari deposito, rekening koran, dan pinJaman lain, kini sedang kelebihan likuiditas. Situasi kelebihan likuiditas itu sesungguhnya sudah terasa sejak awal tahun ini, hanya beberapa saat sesudah resesi ikut memukul dunia usaha di sini. Pelbagai lembaga keuangan, yang tidak ingin kreditnya macet di tangan nasabah, mulai ketat memberikan pinjaman kepada pengusaha. Sementara itu pemasukan dana rupiah, apalagi sesudah devaluasi, cenderung meningkat. Dalam usaha menekan membanjirnya dana rupiah itu, sejumlah bank swasta dan asing pernah saling menurunkan tingkat bunga depositonya. Karena posisi nasabah (pengusaha) hingga kini tak juga membaik, kesulitan dalam pemasaran dana itu terasa semakin hebat. Situasi kelebihan likuiditas yang dirasakan bankir swasta dan asing itu diibaratkan Nyoman Moena bagai "orang yang banyak makan, tapi sulit untuk ke belakang." Tempat pelepasan, empuk dengan sedikit risiko yang kemudian diterjuni ramai-ramai, adalah dengan memasarkan kelebihan likuiditas itu lewat pinjaman antarbank (call money). Konsumennya kebanyakan bank-bank kecil, dan lembaga keuangan nonbank yang banyak membutuhkan likuiditas guna rnenyelesaikan kliring, atau dipinjamkan kembali dengan bunga tinggi kepada nasabah yang dipercaya. Tapi karena suplai dana ke sektor itu terlalu banyak dibanding permintaan, bunga pinjaman antarbank itu kini anjlok. Untuk pinjaman sebulan, yang pada Maret sebelum devaluasi pernah sampai 50%, misalnya, kini bunganya tinggal 15% per tahun. Sedang yang menginap semalam (over night) turun dari 15% jadi 8,5% per tahun. "Situasi itu masih tidak akan berubah hingga pekan ini," kata Nyoman Moena. Sudah merupakan hal yang lazim pula sektor pemasaran ini diterjuni pula oleh pelbagai bank pemerintah dan asing. European Asian Bank, sebuah bank asing, yang mengaku "sangat likuid", misalnya, malah memasarkan sebagian besar dananya lewat pinjaman antarbank ini. Menurut catatan pihak Bank Indonesia, jumlah dana yang mengalir ke sektor ini ternyata cukup besar. Januari-Maret tahun lalu, misalnya, mcncapai Rp 957 milyar. Namun buat bank yang baik, pemasaran dana lewat cara itu bukanlah usaha sehat. Sektor industri, baik jasa, perdagangan, maupun manufaktur yang kini sedang lesu, tetap merupakan pasar utama bank. Apa boleh buat. Sebagai pemberi dana, bank tentu saja harus selektif memberikan kredit. Bank Pacific, yang mempunyai 1.500 nasabah, misalnya, menghindari memberikan kredit kepada sektor industri konstruksi, yang dianggap selalu minta eskalasi kontrak. Dalam upaya memasarkan dana secara maksimal dengan risiko macet sedikit itulah BDNI, yang per April tercatat memberikan kredit hampir Rp 50 milyar, berusaha mencari nasabah yang tepat. Sektor itu antara lain industri pakaian jadi. "Produk pakaian jadi kita disukai, terutama di Amerika, yang kini ekonominya berangsur pulih," ujar Prijatna dari BDNI. Karena toh posisi nasabah belum sehat benar, dan penghitungan terhadap biaya sumber dana belum dilakukan, pada umumnya tingkat bunga kredit bank swasta hingga pekan lalu masih 24%-26% per tahun. Menurut catatan BI, jumlah kredit yang disalurkan bank swasta dengan bunga 21% ke atas meliputi hampir 80% dari seluruh pinjaman yang diberikan. Sedang bagi bank asing, dan pemerintah, masing-masing 65,5% dan 0,5%. Jumlah kredit, yang dikenakan bunga 13,5%-21% di bank swasta meliputi hampir 12%, sementara di bank asing hampir 32% (lihat grafik). Data-data itu menunjukkan bahwa sebagian besar dana bank swasta dan asing dijual dengan bunga tinggi pada nasabah. Bunga pinjaman itu tentu akan naik jika kelak sumber dana bank swasta naik biayanya akibat kenaikan bunga deposito. Tapi di saat dunia usaha seperti kini "mana ada pengusaha, yang mau pinjam uang dengan bunga tinggi," kata Nyoman Moena. Sampai awal pekan ini, komite Perbanas yang dipimpin Direktur Bank Central Asia Mochtar Riady masih merundingkan tentang tingginya tingkat suku bunga pinjaman itu. Ada kekhawatiran, komite itu akan keluar dengan suatu bunga seragam, sehingga menjurus pada suatu kekuatan kartel. Tapi itu cepat dibantah oleh Ketua Perbanas I Nyoman Moena. "Tidak benar itu, karena kemampuan masing-masing nasabah berbeda-beda, ada yang kuat, ada pula yang tidak," katanya. Selain masing-masing nasabah berbeda, suku bunga deposito sampai sekarang juga tidak seragam. Biasanya, semakin tinggi suku bunga deposito, makin mahal pula bunga pinjaman yang ditawarkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus