USAHA pemerintah mengerahkan dana masyarakat, dengan menaikkan
bunga Tabanas dan membebaskan bank pemerintah menetapkan sendiri
tingkat bunga deposito, telah mendorong bank swasta membenahi
diri. Suatu strategi baru kini tengah disusun sebuah komite
kecil, yang dipimpin bankir terkemuka Mochtar Riady, menyusul
pertemuan Perhimpunan Bank-bank Nasional Swasta (Perbanas) di
Panin Bank Jakarta, pekan lalu.
Komite itu, demikian Ketua Perbanas I Nyoman Moena, antara lain
ditugasi menyiapkan suatu struktur tingkat bunga deposito
rata-rata bank swasta, yang bisa cukup bersaing. Berapa
persisnya, Nyoman Moena tidak mengungkapkannya. Dia hanya
memberi ancar-ancar, tingkat bunga deposito 18% per tahun cukup
memungkinkan sebuah bank swasta "bersaing sehat" dengan bank
pemerintah untuk menyedot dana.
Pendeknya, pihak Perbanas tidak ingin melihat timbulnya semacam
perang bunga deposito. Sebab pada akhirnya, jika penarikan dana
itu dilakukan dengan bersaing bunga tinggi, bunga kredit yang
diberikan kepada peminjam pun harus naik. Situasi seperti isu
jelas tidak dikehendaki pihak Perbanas, justru di saat dunia
usaha yang sedang lesu butuh banyak likuiditas. "Kami tidak akan
jor-joran mendapatkan dana deposito, sekarang segalanya harus
dihitung cermat," ujar Prijatna Atmadja, direktur Bank Dagang
Masional Indonesia (BDNI).
Karena itulah tingkat bunga deposito berjangka BDNI tidak
berubah. Untuk deposito berjangka 6 bulan, misalnya, BDNI
memberikan bunga 17% per tahun. Tingkat bunga setinggi itu
sampai pekan lalu juga masih diberikan oleh Overseas Express
Bank (OEB), yang dipimpin Nyoman Moena, untuk deposito berjangka
6 bulan. Yang agak mengherankan, Bank Perkembangan Asia (BPA)
justru menurunkan bunga depositonya. Untuk deposito berjangka 12
bulan, misalnya, bunganya turun dari 2% jadi 1,75% sebulan.
Penurunan suku bunga sebesar itu juga dilakukan Bank Agung Asia.
Kedua bank swasta itu terkenal paling berani memasang bunga
deposito tinggi.
Kenapa turun? "Karena dana terlalu banyak, untuk sementara kami
mengadakan pembatasan," kata seorang pejabat di BPA. Dengan
perkataan lain, bank ini yang punya dana Rp 17 milyar (per 30
April) dari deposito, rekening koran, dan pinJaman lain, kini
sedang kelebihan likuiditas.
Situasi kelebihan likuiditas itu sesungguhnya sudah terasa sejak
awal tahun ini, hanya beberapa saat sesudah resesi ikut memukul
dunia usaha di sini. Pelbagai lembaga keuangan, yang tidak ingin
kreditnya macet di tangan nasabah, mulai ketat memberikan
pinjaman kepada pengusaha. Sementara itu pemasukan dana rupiah,
apalagi sesudah devaluasi, cenderung meningkat. Dalam usaha
menekan membanjirnya dana rupiah itu, sejumlah bank swasta dan
asing pernah saling menurunkan tingkat bunga depositonya.
Karena posisi nasabah (pengusaha) hingga kini tak juga membaik,
kesulitan dalam pemasaran dana itu terasa semakin hebat. Situasi
kelebihan likuiditas yang dirasakan bankir swasta dan asing itu
diibaratkan Nyoman Moena bagai "orang yang banyak makan, tapi
sulit untuk ke belakang." Tempat pelepasan, empuk dengan sedikit
risiko yang kemudian diterjuni ramai-ramai, adalah dengan
memasarkan kelebihan likuiditas itu lewat pinjaman antarbank
(call money). Konsumennya kebanyakan bank-bank kecil, dan
lembaga keuangan nonbank yang banyak membutuhkan likuiditas guna
rnenyelesaikan kliring, atau dipinjamkan kembali dengan bunga
tinggi kepada nasabah yang dipercaya.
Tapi karena suplai dana ke sektor itu terlalu banyak dibanding
permintaan, bunga pinjaman antarbank itu kini anjlok. Untuk
pinjaman sebulan, yang pada Maret sebelum devaluasi pernah
sampai 50%, misalnya, kini bunganya tinggal 15% per tahun.
Sedang yang menginap semalam (over night) turun dari 15% jadi
8,5% per tahun. "Situasi itu masih tidak akan berubah hingga
pekan ini," kata Nyoman Moena.
Sudah merupakan hal yang lazim pula sektor pemasaran ini
diterjuni pula oleh pelbagai bank pemerintah dan asing. European
Asian Bank, sebuah bank asing, yang mengaku "sangat likuid",
misalnya, malah memasarkan sebagian besar dananya lewat pinjaman
antarbank ini. Menurut catatan pihak Bank Indonesia, jumlah dana
yang mengalir ke sektor ini ternyata cukup besar. Januari-Maret
tahun lalu, misalnya, mcncapai Rp 957 milyar.
Namun buat bank yang baik, pemasaran dana lewat cara itu
bukanlah usaha sehat. Sektor industri, baik jasa, perdagangan,
maupun manufaktur yang kini sedang lesu, tetap merupakan pasar
utama bank. Apa boleh buat. Sebagai pemberi dana, bank tentu
saja harus selektif memberikan kredit. Bank Pacific, yang
mempunyai 1.500 nasabah, misalnya, menghindari memberikan kredit
kepada sektor industri konstruksi, yang dianggap selalu minta
eskalasi kontrak.
Dalam upaya memasarkan dana secara maksimal dengan risiko macet
sedikit itulah BDNI, yang per April tercatat memberikan kredit
hampir Rp 50 milyar, berusaha mencari nasabah yang tepat. Sektor
itu antara lain industri pakaian jadi. "Produk pakaian jadi kita
disukai, terutama di Amerika, yang kini ekonominya berangsur
pulih," ujar Prijatna dari BDNI.
Karena toh posisi nasabah belum sehat benar, dan penghitungan
terhadap biaya sumber dana belum dilakukan, pada umumnya tingkat
bunga kredit bank swasta hingga pekan lalu masih 24%-26% per
tahun. Menurut catatan BI, jumlah kredit yang disalurkan bank
swasta dengan bunga 21% ke atas meliputi hampir 80% dari seluruh
pinjaman yang diberikan. Sedang bagi bank asing, dan pemerintah,
masing-masing 65,5% dan 0,5%. Jumlah kredit, yang dikenakan
bunga 13,5%-21% di bank swasta meliputi hampir 12%, sementara di
bank asing hampir 32% (lihat grafik).
Data-data itu menunjukkan bahwa sebagian besar dana bank swasta
dan asing dijual dengan bunga tinggi pada nasabah. Bunga
pinjaman itu tentu akan naik jika kelak sumber dana bank swasta
naik biayanya akibat kenaikan bunga deposito. Tapi di saat dunia
usaha seperti kini "mana ada pengusaha, yang mau pinjam uang
dengan bunga tinggi," kata Nyoman Moena.
Sampai awal pekan ini, komite Perbanas yang dipimpin Direktur
Bank Central Asia Mochtar Riady masih merundingkan tentang
tingginya tingkat suku bunga pinjaman itu. Ada kekhawatiran,
komite itu akan keluar dengan suatu bunga seragam, sehingga
menjurus pada suatu kekuatan kartel. Tapi itu cepat dibantah
oleh Ketua Perbanas I Nyoman Moena. "Tidak benar itu, karena
kemampuan masing-masing nasabah berbeda-beda, ada yang kuat, ada
pula yang tidak," katanya.
Selain masing-masing nasabah berbeda, suku bunga deposito sampai
sekarang juga tidak seragam. Biasanya, semakin tinggi suku bunga
deposito, makin mahal pula bunga pinjaman yang ditawarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini