Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri kesehatan terganggu karena kurs rupiah kian ambles.
Bank mulai menjual dolar Amerika Serikat di atas Rp 16.500.
Bank Indonesia menjalankan operasi moneter demi menyelamatkan rupiah.
PENGELOLA rumah sakit kini menghadapi ancaman baru. Lesunya nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terus menguat bakal mengerek harga obat dan biaya operasional alat kesehatan. Walhasil, rumah sakit menghadapi pilihan: menaikkan tarif yang bakal berujung protes pasien atau harus boncos lantaran kurs dolar yang kian melambung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi ternyata pengelola rumah sakit pun tak bisa begitu saja menaikkan tarif. Sebab, kata Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Iing Ichsan Hanafi, lebih dari 70 persen rumah sakit di Indonesia bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang menetapkan tarifnya sejak awal. “Padahal harga obat menjadi lebih tinggi dan tidak proporsional dengan pendapatan rumah sakit," katanya pada Kamis, 20 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Iing, untuk sementara, pengelola rumah sakit terpaksa berakrobat. Guna menekan biaya, mereka memakai produk-produk dalam negeri. Ada pula penyesuaian pilihan obat-obatan serta alat kesehatan. “Kami berkolaborasi dengan para dokter untuk mengendalikan biaya tanpa mengurangi mutu layanan,” tuturnya, menepis kekhawatiran bahwa rumah sakit akan mengurangi mutu layanan.
Melejitnya nilai tukar dolar memang tak terbendung. Pada awal Januari 2024, kurs rupiah masih berada di kisaran 15.400 per dolar Amerika Serikat. Pada Jumat, 21 Juni 2024, kurs rupiah pada platform Jakarta Interbank Spot Dollar Rate atau Jisdor menembus 16.458,00 per dolar Amerika. Bahkan sebagian besar bank mulai menjual dolar Amerika senilai Rp 16.500-16.700 per dolar. Walhasil, bisnis yang bergantung pada produk impor seperti industri kesehatan dan rumah sakit kian merana.
Suasana transaksi obat dan alat kesehatan di Pasar Pramuka, Jakarta, Oktober 2023. Tempo/Tony Hartawan
Karena itu pula Febie Yuriza Poetri, Direktur Marketing dan Keuangan PT Graha Teknomedika, produsen alat kesehatan, mengeluh lantaran kenaikan harga dolar Amerika Serikat jauh di atas perhitungannya. Penjual alat kesehatan ketar-ketir karena 70 persen produk yang beredar di pasar adalah hasil impor, sementara produk lokal pun masih bergantung pada bahan baku dan komponen impor. Padahal, Febie menambahkan, produsen alat kesehatan sudah melakukan hedging atau lindung nilai dolar Amerika sekitar 35 persen. "Tapi kurs sekarang sudah di atas itu sehingga menggerus margin usaha,” ujarnya pada Kamis, 20 Juni 2024.
Seperti yang dihadapi penyedia layanan rumah sakit, menaikkan harga jual alat kesehatan bukan pilihan mudah bagi perusahaan Febie. Sebab, dia menjelaskan, mayoritas alat kesehatan diserap oleh pemerintah dengan kontrak jangka panjang dan harga yang mengikat. “Pemerintah pun sudah memiliki perencanaan sehingga kami tidak bisa seketika menaikkan harga,” kata Febie, yang juga menjabat Ketua II Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki).
Pengusaha alat kesehatan buatan lokal yang mengandalkan bahan baku dan komponen impor paling terpukul dengan kenaikan kurs dolar Amerika Serikat. Sebab, komponen pengganti buatan dalam negeri sangat sedikit. Mayoritas bahan baku dan komponen alat kesehatan diimpor dari Cina, tapi perusahaan pemasok dari Negeri Tirai Bambu menggunakan dolar Amerika dalam transaksinya. Febie memberi contoh, produsen ranjang rumah sakit lokal membutuhkan bahan baku baja tahan karat alias stainless steel dengan spesifikasi medical grade 316. "Harus kami impor karena bahan itu belum tersedia di Indonesia,” ucapnya.
Di tengah kondisi sulit ini, anggota Aspaki berupaya mencari alternatif bahan baku dan komponen yang terjangkau tanpa mengurangi spesifikasi dan kualitas. “Yang tak terhindarkan adalah pengurangan tenaga kerja dan investasi harus kami rem,” katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Farmasi Elfiano Rizaldi mengatakan tingkat ketergantungan pada bahan baku obat impor yang mencapai lebih dari 80 persen membuat pelaku usaha kelimpungan. Apalagi, dia menambahkan, industri farmasi memiliki regulasi ketat sehingga tak bisa begitu saja mencari sumber bahan baku alternatif. “Ada berbagai proses, seperti daftar ulang, untuk mendapatkan izin edar baru dari Badan Pengawas Obat dan Makanan,” tuturnya.
Karena itu, Elfiano melanjutkan, perusahaan farmasi memilah produk yang akan dijual agar tak merugi. “Mana yang masih punya margin baik, mana yang harus ditinggalkan karena sudah tidak kompetitif,” ujarnya. Menerapkan efisiensi dan menaikkan harga obat menjadi pilihan terakhir karena masih ada yang bisa dilakukan. “Setidaknya masih ada stok bahan baku untuk dua bulan ke depan yang sudah dibeli ketika nilai dolar masih sekitar Rp 15 ribu,” kata Elfiano.
Tapi ada persoalan lain. Stok bahan baku yang menipis memaksa produsen farmasi menjalankan impor di tengah kurs rupiah yang melemah. Presiden Komisaris PT Kalbe Farma Tbk Vidjongtius mengatakan persediaan bahan baku habis dipakai biasanya dalam tiga-empat bulan, sementara tingkat ketergantungan pada bahan baku obat impor mencapai 90 persen. “Akhirnya kami harus mencari sumber bahan baku yang ekonomis melalui optimalisasi rantai pasok,” ucapnya pada Kamis, 20 Juni 2024.
Upaya lain adalah meneken kontrak pembelian bahan baku dalam waktu yang lebih panjang hingga mempertahankan kebijakan menjaga cadangan saldo kas mata uang asing senilai ekuivalen US$ 50-60 juta pada neraca perusahaan. Untuk menyiasati margin usaha yang tergerus, Kalbe Farma mendorong lini usaha di luar farmasi agar mengurangi kerugian. “Misalnya mendorong bisnis distribusi dan logistik yang kontribusinya sekitar 30 persen," ujar Vidjongtius.
Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Shadiq Akasya mengatakan dampak pelemahan rupiah tak bisa dihindari oleh industri farmasi nasional. Holding badan usaha milik negara di sektor farmasi itu pun tak mampu bersaing dengan produsen bahan baku obat asal Cina dan India yang saat ini mendominasi rantai pasok farmasi global. Penyebab kesenjangan itu, menurut Shadiq, adalah Indonesia tidak memiliki produk kimia dasar dan biologi dasar untuk bahan baku obat. Karena itu pula harga bahan baku obat yang dijual Bio Farma dua kali lipat lebih mahal dibanding produk impor dari Cina ataupun India.
Tak hanya mempengaruhi industri farmasi dan kesehatan, lesunya rupiah juga memantik kekhawatiran pelaku usaha sektor lain. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan kurs dolar yang telah menembus level Rp 16.400 sangat tidak aman bagi dunia usaha. Menurut dia, pelemahan rupiah juga berdampak pada biaya logistik dan transportasi hingga keuangan. “Akan terjadi risiko penurunan performa usaha, pengurangan penciptaan lapangan kerja, hingga kenaikan risiko kredit macet,” katanya.
Di tengah kondisi ini, Bank Indonesia jorjoran melakukan operasi moneter. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan semua instrumen moneter telah diberdayakan, dari meningkatkan intervensi di pasar valuta asing dan transaksi spot, menerbitkan domestic non-deliverable forward dan Surat Berharga Negara di pasar sekunder, memperkuat struktur suku bunga di pasar uang rupiah, hingga mengoptimalkan instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia, Sekuritas Valas BI, serta Sukuk Valas BI.
Dengan upaya itu, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang berlangsung pada 19-20 Juni 2024 berani memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate di level 6,25 persen. Artinya, sudah tiga bulan bank sentral mempertahankan tingkat bunga acuan tersebut demi mencegah pelemahan ekonomi. “Ini sekaligus mempertimbangkan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah prospek perekonomian dunia yang lebih kuat,” tutur Perry.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sepanjang bulan ini tertekan 0,70 persen point-to-point. Pelemahan rupiah dipengaruhi ketidakpastian pasar global karena tarik-ulur rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve. Faktor lain yang membuat dolar kian mahal adalah kenaikan jumlah permintaan dari korporasi, antara lain untuk repatriasi dividen.
Meski begitu, Perry meyakini kurs rupiah akan segera berbalik menguat dan kembali berada di bawah 16 ribu per dolar Amerika Serikat. Optimisme itu didasari faktor fundamental perekonomian yang menguat, antara lain tingkat inflasi dalam negeri yang masih berada di level 2,8 persen serta neraca transaksi berjalan yang masih surplus.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Siasat Selamat dari Mahalnya Dolar"