Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Visum Kematian Vina: Mengapa Tak Ada Luka Senjata Tajam?

Hasil visum dan autopsi kematian Eky dan Vina tak menyebutkan ada luka senjata tajam. Temuan sperma di tubuh Vina diragukan.

23 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Pengadilan Negeri Cirebon pada 2017, Titin Prialianti mencecar dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu, Jawa Barat, Andri Nur Rochman. Andri menjadi salah satu saksi dalam persidangan tersebut. Saat itu Titin tengah mendampingi kliennya, Sudirman, yang kini berusia 29 tahun. Sudirman dan tujuh terdakwa lain didakwa membunuh pasangan Muhammad Rizky Rudiana alias Eky dan Vina Dewi Arsita. Mereka juga dituduh memperkosa Vina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu pertanyaan Titin adalah soal sperma yang diklaim ditemukan di tubuh Vina. Sperma itu tak ditemukan dalam hasil visum pertama Vina di Rumah Sakit Daerah Gunung Jati, Cirebon, pada Sabtu, 27 Agustus 2016, hari kematian Vina. Sperma baru ditemukan dalam autopsi selepas ekshumasi jenazah Vina. Titin menanyakan siapa pemilik sperma itu. “Jawaban saksi: tes dan pemeriksaan lebih lanjut tidak dilakukan,” katanya kepada Tempo di Cirebon pada Selasa, 18 Juni 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belakangan, perbincangan dalam persidangan itu menguap. Majelis hakim tetap meyakini Vina diperkosa. Hakim mengganjar Sudirman dan enam terdakwa lain dengan hukuman penjara seumur hidup pada 19 Mei 2017. Mereka dianggap terbukti membunuh Eky dan Vina dengan pedang katana dan benda lain. Mereka juga dituduh memperkosa Vina secara bergiliran. Satu terdakwa yang masih di bawah umur yang juga klien Titin, Saka Tatal, divonis delapan tahun penjara.

Hasil visum itu tak muncul di permukaan meski kasus kematian Eky dan Vina mencuat kembali dua bulan belakangan. Kontroversi kematian Eky dan Vina kembali ramai diperbincangkan setelah kisah mereka diangkat ke layar lebar pada awal Mei 2024. Padahal hasil visum dan autopsi Vina dan Eky telah mendetailkan kondisi mayat sejoli yang sama-sama berusia 16 tahun itu.

Mulanya jenazah Eky tiba di RSD Gunung Jati pada Sabtu sekitar pukul 22.00 sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Saat itu Vina masih hidup, tapi tak sadarkan diri, dan napasnya terdengar sudah berat. Ia meninggal setelah beberapa jam menjalani perawatan. Dokter forensik langsung memvisum keduanya pada malam itu.

Dari dokumen visum Eky dan Vina yang diperoleh Tempo, keduanya umumnya mengalami luka luar, lecet, dan patah tulang. Rahang Eky diduga patah. Tak ada catatan yang menunjukkan terdapat liang bekas tusukan senjata tajam. Visum juga tak menemukan sperma di bagian luar tubuh Vina. Dokter forensik hanya menemukan perdarahan dari kemaluan Vina. Hasil visum Eky ditandatangani Rahma Tiaranita, sementara hasil visum Vina diteken Andri Nur Rochman dan Ihda Silvia. Jenazah Eky dan Vina kemudian dikuburkan di tempat terpisah sebagai korban kecelakaan.

Polisi mulai menyelidiki dugaan pembunuhan Eky dan Vina selepas menerima laporan dari ayah Eky, Rudiana, pada 31 Agustus 2016. Saat itu Rudiana berpangkat inspektur dua dan menjabat Kepala Unit Satuan Narkoba Kepolisian Resor Cirebon Kota. Penyidik bersama dokter forensik dari Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu menggelar ekshumasi jenazah Eky dan Vina yang masing-masing dikubur di Pemakaman Gang Mawar, Majalengka, dan Pemakaman Kesinangan, Cirebon.

Lahan kosong tempat Vina dan Eky dilsiksa. Lokasi ini berada di Jalan Gang Bakti 1 di depan SMPN 11 Cirebon, 20 Juni 2024. Tempo/Advist Khoirunikmah

Selain ikut dalam visum pertama, Andri Nur Rochman mengautopsi jenazah Vina saat proses ekshumasi pada 6 September 2016, atau sekitar sepuluh hari setelah kematian Vina. Saat itu ia ditengarai sudah menerima informasi mengenai dugaan Vina diperkosa.

Saat proses autopsi itulah Andri menemukan sperma di dalam kemaluan Vina. Ia disebutkan membawa sampel sperma itu ke laboratorium RS Bhayangkara. Tapi tak ada pemeriksaan asam deoksiribonukleat atau DNA. Hingga kini tak jelas sperma itu milik siapa.

Dalam persidangan, Andri Nur Rochman menyampaikan bahwa darah di kemaluan Vina dipastikan bukan akibat menstruasi ataupun aborsi. “Ini diakibatkan benturan atau tekanan yang kekuatannya melebihi jaringan tersebut untuk bertahan,” demikian kesaksian Andri seperti yang dikutip dari salinan putusan salah seorang terpidana, Rifaldi Aditya Wardhana.

Tempo mendatangi Andri di RSD Gunung Jati untuk meminta konfirmasi tentang kedua hasil visum dan autopsi serta keterangannya di persidangan. Tapi ia tak berada di tempat. Lewat pihak Hubungan Kemasyarakatan RSD Gunung Jati, Andri menyampaikan penolakan permintaan wawancara yang diajukan Tempo.

Dokter forensik lain yang turut dalam visum pertama Vina, Ihda Silvia, menolak ditemui. “Silakan merujuk pada keterangan yang sudah disampaikan di berita acara pemeriksaan,” tulisnya lewat pesan WhatsApp.

Tempo membawa hasil visum dan autopsi Vina dan Eky kepada salah seorang dokter forensik senior di Jakarta. Ia menjelaskan, saat itu wajar dokter tak menguji DNA sperma di tubuh Vina karena biayanya mahal dan belum ada prosedur standar yang berlaku. Tak ditemukannya sperma dalam visum pertama Vina juga bisa dimaklumi karena dia memperkirakan dokter hanya diminta memvisum Eky dan Vina sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Ia juga tak melihat ada catatan yang menyebutkan terdapat luka akibat benda tajam.

Ia mengatakan kejanggalan yang paling mencolok muncul dalam autopsi pasca-ekshumasi. Saat itu dokter forensik menemukan sperma di kemaluan Vina yang sudah terkubur kurang-lebih sepuluh hari. Padahal sperma hanya bertahan dan terdeteksi di tubuh seseorang maksimal tiga hari setelah kematian. “Lewat dari itu pasti hilang. Apalagi jenazah sudah dimandikan dan dikuburkan,” tuturnya.

Lalu bagaimana dengan darah dari kemaluan Vina? Dokter forensik senior tersebut mengatakan diperlukan penelitian untuk menelusuri asalnya. Terdapatnya sperma dan darah itu tak serta-merta dapat menjadi pernyataan bahwa Vina diperkosa. Apalagi perkara ini menyebut Vina diperkosa delapan pria. Jika benar Vina ada indikasi diperkosa, dia menambahkan, seharusnya hasil visum dan ekshumasi menemukan indikasi luka di bagian kemaluan. “Darah yang muncul itu bisa saja berasal dari perut,” ucapnya.

•••

PADA Sabtu, 27 Agustus 2016, sekitar pukul 21.00 WIB, Muhammad Rizky Rudiana alias Eky mengendarai sepeda motor Yamaha Xeon ke arah Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Cirebon. Ia memboncengkan Vina Dewi Arsita yang mengenakan jaket bertulisan XTC, salah satu geng motor di sana. Keduanya melintasi gerombolan pemuda yang tengah menenggak minuman keras jenis ciu dicampur air soda.

Mereka adalah Hadi Saputra, Eka Sandy, Jaya, Supriyanto, Sudirman, Eko Ramadhani, Rifaldi Aditya Wardhana, Saka Tatal, Andi, Dani, dan Pegi Setiawan alias Perong. Saat kongko bareng, Andi mengutarakan masalahnya dengan geng XTC. Ia berniat meminta bantuan geng motor lain, Moonraker, untuk membalas dendam.

Secara kebetulan pula, sepeda motor Eky dan Vina melintas di depan mereka. Setelah melihat jaket Vina, mereka melempari keduanya dengan batu. Gerombolan pria itu lantas menaiki sepeda motor masing-masing, lalu mengejar Eky. Mereka berhasil memepet Eky, lalu memukulkan batang bambu dan kayu ke arah motor Eky. Sebagian mengayunkan pedang katana ke arah pasangan itu.

Eky dan Vina terjatuh dari sepeda motor di flyover Talun setelah ditendang Eko Ramadhani. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari SMPN 11 Cirebon. Saat itulah gerombolan pria tersebut memukuli serta menyabetkan bambu dan kayu ke arah Eky. Vina pun dipukuli.

Kawasan flyover Talun, Kecamatan Talun, Cirebon, tempat Vina dan Eky ditemukan, 20 Juni 2024. Tempo/Advist Khoirunikmah

Setelah dikeroyok, Eky dan Vina dibawa mereka kembali ke dekat SMPN 11. Mereka menganiaya Eky dan Vina lagi di sana. Delapan pelaku memperkosa Vina secara bergiliran. Setelah Eky tewas dan Vina tak sadarkan diri, gerombolan itu meletakkan keduanya dan sepeda motor Eky di tanjakan flyover Talun dengan posisi tertentu. Tujuannya agar keduanya terlihat seolah-olah korban kecelakaan lalu lintas. 

Kronologi yang mendetail itu tercantum dalam semua salinan putusan delapan terpidana. Rentetan cerita ini yang saat ini menjadi perbincangan banyak pihak, termasuk para penasihat hukum terpidana yang menolak cerita tersebut. Kronologi itu dianggap tak sinkron dengan alibi para pelaku. “Tapi hakim mempercayai dan mengacu BAP polisi,” kata Jogi Nainggolan, pengacara lima terdakwa, yaitu Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Jaya, Eka Sandy, dan Supriyanto.

Pengacara Rifaldi Aditya Wardhana alias Ucil, Witdiyaningsih, juga membantah kronologi itu. Apalagi kliennya sempat dihubungkan dengan Eky karena disebut pernah mengirim pesan lewat aplikasi BlackBerry Messenger kepada salah seorang teman Eky yang bernama Liga Akbar. Belakangan, Liga dikabarkan mencabut kesaksiannya saat diperiksa polisi. Witdiyaningsih juga membantah gosip itu. “Pada waktu itu Rifaldi belum punya handphone,” ujarnya.

Cerita soal penemuan tubuh Eky dan Vina diperkirakan sudah tak sesuai kejadian dengan sebenarnya. Hal ini diduga terjadi karena tempat kejadian perkara yang sudah telanjur tercemar. Polisi, misalnya, mengutip keterangan salah seorang saksi yang juga seorang perangkat desa setempat bernama Suroto. Padahal Suroto baru datang ke lokasi kejadian sekitar pukul 22.30 bersama rombongan polisi. Saat itu suasana flyover Talun sudah ramai dan warga sekitar mengerumuni Eky dan Vina.

Suroto mengklaim melihat rok mini Vina tersingkap dan celana dalamnya sudah agak melorot. Suroto lalu menutupi bagian pinggang Vina dengan jaket XTC. Ia juga yang mencopot helm di kepala Eky. Saat ditemukan pertama kali, tubuh Eky dikabarkan tengah tertelungkup dan mengenakan helm.

Berdasarkan foto yang diduga diambil tak lama setelah penemuan tubuh Eky dan Vina di flyover Talun, posisi Eky tampak sudah telentang. Ada warga sekitar yang diduga sudah membalikkan tubuh Eky. Ada juga bekas ceceran darah di dekat kepalanya. Saat itu Suroto melihat Vina masih hidup. “Dia masih merintih, ‘aduh, aduh’,” kata Suroto.

Foto yang diperoleh Tempo itu juga menunjukkan baju Eky yang tengah tersingkap. Tak terlihat bekas luka tusukan di tubuhnya. Tak ada juga bekas ceceran darah yang seharusnya berada di sekitar perut Eky jika ia benar ditusuk para pelaku. Foto-foto hanya memperlihatkan wajah Eky yang sudah babak-belur dan berdarah.

Foto dan hasil visum itulah yang menjadi perhatian Titin Prialianti, pengacara terpidana Sudirman dan Saka Tatal. Dalam persidangan dan salinan putusan, para pelaku disebutkan menusuk dan membacok tubuh Eky menggunakan pedang di sekitar perut sebelah kiri dan dada kanan. “Tapi dalam hasil visumnya justru tidak ada luka tusuk,” tutur Titin. 

Pada proses visum pertama Eky, dokter yang menanganinya adalah Rahma Tiaranita. Dalam laporannya, Rahma hanya menyebutkan ada trauma akibat benda tumpul dan tidak ada trauma akibat benda tajam. Fakta ini juga sudah diungkapkan Rahma saat diperiksa penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Barat pada 17 Oktober 2016 dan di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Cirebon. “Tidak ditemukan luka akibat tusukan benda tajam,” demikian kesaksian Rahma dalam salinan putusan para terdakwa.

Tempo mendatangi Rahma Tiaranita untuk meminta konfirmasi kembali mengenai hasil visum itu. Namun Rahma menolak diwawancarai. Ia meminta keterangannya diambil sesuai dengan kesaksiannya di pengadilan dan pemeriksaan di Polda Jawa Barat.

Cerita soal luka tusuk itu berawal dari ayah Eky, Rudiana. Pria yang kini berpangkat inspektur satu dan menjabat Kepala Kepolisian Sektor Kapetakan itu menceritakan secara detail kematian anaknya saat menjalani pemeriksaan di Polres Cirebon Kota pada 31 Agustus 2017. Rudiana mengaku melihat luka tusuk di bagian dada depan sebelah kiri anaknya.

Taufik, salah seorang polisi piket Polres Cirebon Kota, yang turut hadir di lokasi dan pada malam kejadian, mengatakan ia tak melihat ada luka tusukan. Taufik sudah memberikan keterangannya di Pengadilan Negeri Cirebon. Namun majelis hakim lagi-lagi tak menggubris keterangan lain yang berbeda dengan cerita Rudiana.

Polisi menggiring tersangka dugaan kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky, Pegi Setiawan alias Perong, untuk dihadirkan dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Ditreskrimum Polda Jawa Barat, Bandung, 26 Mei 2024. Tempo/Prima mulia

Tempo berupaya mendatangi dan mengirimkan surat permohonan wawancara kepada Rudiana di Polsek Kapetakan, Kabupaten Cirebon, tapi dia tak berada di kantornya. Surat yang sama dikirimkan ke rumahnya di Desa Sutawinangun, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Rabu, 19 Juni 2024. Istrinya sempat keluar dari rumah, tapi tak mau meladeni permintaan wawancara dan meminta permasalahan seputar kasus Vina dan Eky ditanyakan ke kepolisian terkait. Hingga Sabtu, 22 Juni 2024, surat permohonan wawancara itu tak kunjung dibalas.

Meski kasus kematian Vina dipenuhi kejanggalan, polisi masih hakulyakin para terpidana memang bersalah. Mereka bahkan sudah menangkap tersangka terakhir pembunuh Eky dan Vina, Pegi Setiawan alias Perong, pada Mei 2024. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho mengatakan proses yang dijalani para terpidana sudah sesuai dengan hukum. “Telah diuji di pengadilan sehingga hakim meyakini para pelaku bersalah,” ucapnya.

Indikasi lain, Sandi mengimbuhkan, para terpidana dewasa pernah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo. Untuk membuat grasi, mereka harus mengaku bersalah. Namun grasi itu ditolak Presiden. Sandi mengatakan polisi akan menuntaskan berkas pemeriksaan tersangka terakhir, yaitu Pegi Perong, agar bisa segera disidang. “Kasus tetap harus diproses karena pembunuhan ini sangat sadis,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Moh. Khory Alfarizi, Lani Diana, dan Advist Khoirunikmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tak Ada Liang di Tubuh Eky dan Vina"

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus