Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

LBH Yogyakarta: 307 Kepala Keluarga Tolak Kuari Bendungan Bener di Desa Wadas

LBH Yogyakarta mengatakan ada 307 dari total sekitar 450 kepala keluarga di Desa Wadas, Purworejo, yang menolak kuari proyek Bendungan Bener.

26 April 2021 | 15.18 WIB

Pohon sengaja ditebang untuk menghalangi jalan ke Balai Desa Wadas, Jumat (23-4-2021), sebagai bentuk penolakan rencana sosialisasi dalam rangka inventarisasi dan identifikasi bidang tanah untuk pembangunan Bendungan Bener. ANTARA/HO-Polres Purworejo
Perbesar
Pohon sengaja ditebang untuk menghalangi jalan ke Balai Desa Wadas, Jumat (23-4-2021), sebagai bentuk penolakan rencana sosialisasi dalam rangka inventarisasi dan identifikasi bidang tanah untuk pembangunan Bendungan Bener. ANTARA/HO-Polres Purworejo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta Yogi Zul Fadhli mengatakan ada 307 dari total sekitar 450 kepala keluarga di Desa Wadas, Purworejo, yang menolak kuari alias lokasi yang bakal ditambang untuk kebutuhan bahan material proyek seperti tanah timbunan dan batu untuk proyek Bendungan Bener.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Dari data kami ada 307 kepala kepala keluarga yang menolak tambang kuari di sana," ujar Yogi kepada Tempo, Minggu, 25 April 2021. Ia mengatakan lahan untuk tambang tersebut belum dibebaskan, kecuali yang ada di tapak bendungan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yogi mengatakan Wadas merupakan desa yang cukup produktif. Setiap tahun berbagai macam hasil panen dihasilkan, mulai dari rempah-rempah, palawija, buah-buahan, kopi, karet, dan aren. Namun, tanah yang subur tersebut, sekarang terancam oleh pertambangan.

"Warga dengan tegas menolak proyek pertambangan tersebut. Dalam AMDAL Bendungan Bener yang membutuhkan material urug dari Wadas, aktivitas pertambangan (dengan cara peledakan dinamit) disebutkan berjarak sekitar 300 meter dari pemukiman," ujar dia.

Namun, jika melihat daerah Randuparang dan Gendol, Yogi mengatakan jarak lokasi tambang dengan pemukiman tidak lebih dari 100 meter. Kegiatan itu, tuturnya, Tidak hanya akan merusak mata pencaharian dan ekosistem, namun juga akan merampas ruang hidup warga.

"Secara geografis, Desa Wadas berada pada perbukitan. Aktivitas pertambangan yg mengeruk bukit akan menyebabkan krisis ekologis kerusakan bentang alam. Artinya, jika pertambangan dilakukan, maka sama halnya dengan mengusir ruang hidup warga Desa Wadas. Hal ini belum termasuk dampak lingkungan yang akan dialami oleh desa-desa sekitarnya," tuturnya.

Di sisi lain, proyek tambang yang akan dioperasikan di Wadas tidak mempunyai AMDAL, dan mengganggu aktivitas warga. Tambang di Wadas, menurut Yogi, sudah cacat prosedural sejak awal, dan warga yang sadar akan hal tersebut terus melakukan perlawanan, agar lingkungan mereka tidak dirusak.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jarot Widyoko telah mengetahui ihwal kericuhan antara warga dan polisi di proyek Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah. Kericuhan terjadi saat acara sosialisasi pembebasan kuari (lokasi yang bakal ditambang untuk kebutuhan bahan material proyek seperti tanah timbunan dan batu).

"Ada provokator, ada yang ingin quarry tidak di situ," kata Jarot saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, 24 April 2021. Sebab, kata dia, mayoritas warga setempat telah menyetujui pembebasan lahan tersebut.

Kericuhan ini terjadi pada Jumat, 23 April 2021, tepatnya di Desa Wadas, Purworejo. Akibat kejadian ini, 11 warga dan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarat dikabarkan telah ditangkap polisi.

Jarot kemudian bercerita bahwa pembangunan proyek utama yaitu Bendungan Bener, sebenarnya tidak ada masalah. Total, ada 2.800 bidang tanah untuk membangun bendungan yang jadi Proyek Strategis Nasional (PSN) ini dan telah dibebaskan 100 persen.

Setelah lahan untuk bendungan, kini berlanjut ke kuari. Jarot mengklaim sosialisasi juga sudah dilakukan sebelumnya dan 70 sampai 80 persen warga sudah setuju. Mereka bakal mendapat ganti rugi berdasarkan kajian tim appraisal.

Sehingga, sisa warga yang belum setuju inilah yang kemudian melancarkan protes. Kericuhan terjadi, kata Jarot, karena ada sejumlah pihak yang memotorinya. Ia tidak merinci pihak yang dimaksud dan menyerahkan ke pihak berwenang.

CAESAR AKBAR | FAJAR PEBRIANTO

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus