Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Lion Air Mengaku Tak Untung Walau Harga Tiket Pesawat Mahal

Meski pergerakan penumpang mulai pulih, tingkat keterisian maskapai Lion Air baru menyentuh 72 persen.

28 Juni 2022 | 14.06 WIB

Proses perawatan dan sterilisasi pesawat. Foto: Lion Air Group
Perbesar
Proses perawatan dan sterilisasi pesawat. Foto: Lion Air Group

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen Lion Air Group mengaku tak menangguk untung untuk beberapa rute meski harga tiket pesawat mahal. Managing Director Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro Adi mengatakan perusahaan bahkan mengeluarkan ongkos lebih karena berbagai faktor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Ada beberapa rute yang meski mengikuti TBA (tarif batas atas), tidak bisa untung (kendati kursi) terisi 100 persen. Kalau dipaksakan mengikuti TBA (saat ini), otomatis (maskapai) tidak sanggup menjalankan rute,” ujar Daniel dalam rapat bersama Komisi V DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Selasa, 28 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ongkos operasional yang lebih besar ini terjadi akibat perubahan trafik serta rute yang berpengaruh terhadap waktu tempuh pesawat dan utilisasi armada. Daniel mencontohkan rute penerbangan dari Cengkareng menuju Tanjung Karang.

Sebelum perubahan terjadi, rute tersebut bisa ditempuh dalam waktu 20 menit. Namun karena ada perubahan trafik, rute penerbangan itu dijangkau dengan waktu lebih lama, yakni mencapai 50 menit bahkan satu jam.

Kemudian, Daniel memberikan contoh lain rute Bali menuju Lombok atau sebaliknya. Dengan waktu penerbangan yang berubah lantaran mengikuti jam operasional bandara, maskapai tidak bisa mencapai profit meski seat load factor atau tingkat keterisiannya optimal 100 persen.

Untuk itu, Lion Air harus menjalankan strategi kebijakan auxiliary income atau penghasilan tambahan dari lini bisnis lainnya. Misalnya, memaksimalkan penerbangan kargo.

Sebagai solusi, Daniel lantas mengusulkan kepada Kementerian Perhubungan untuk mengkaji perubahan beleid Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 20 Tahun 2019 yang mengatur formulasi penghitungan TBB danTBA. Beleid itu sebagai dasar rumusan penetapan harga tiket pesawat.

Daniel berujar, perhitungan harga bahan bakar pesawat atau avtur dan komponen pembentuk tarif tiket lainnya dalam beleid tersebut disusun sebelum pandemi Covid-19. Sementara itu pasca-pandemi, sejumlah perubahan telah terjadi, termasuk melonjaknya harga avtur akibat kenaikan harga acuan minyak dunia.

“Banyak sekali review yang harus dilakukan, paling tidak cost operasional bisa kita reduce karena alat utama bisnis penerbangan adalah pesawat. Kami melihat ada usulan-usulan kenaikan. Demikian juga dengan kami,” ujar Daniel.

Di tengah kenaikan harga avtur, Daniel mengaku operator pesawat harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk perawatan armadanya. Musababnya, sejumlah vendor penyedia material tutup selama pandemi. Vendor-vendor yang menyediakan alat atau sparepart akhirnya menjual komponen untuk pendukung alat produksi dengan harga yang lebih tinggi.

Kenaikan dirasakan juga karena pembayaran biaya perawatan komponen menggunakan mata uang dolar. Di tengah gejolak ekonomi, nilai tukar rupiah yang melemah membuat operator mesti mengeluarkan ongkos lebih besar sesuai kurs.

Adapun saat ini, Lion Air Group masih mengoperasikan 255 pesawat. Tingkat on time performance atau OTP pesawat mencapai 73 persen. Meski pergerakan penumpang mulai pulih, tingkat keterisian maskapai Lion Air baru menyentuh 72 persen.

“Saat ini masih belum optimal dari sisi bisnis penerbangan,” kata petinggi Lion Air Group itu.

Baca juga: Garuda Blak-blakan Nasib Bombardier dan ATR Setelah Korupsi Pesawat Terbongkar

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus