Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU setengah jam pertemuan di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kamis sore dua pekan lalu, itu berakhir tanpa kesimpulan. Setelah melalui banyak perdebatan, perwakilan pemerintah dan para petinggi PT Freeport Indonesia yang hadir belum bisa mendapatkan titik temu. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi R. Sukhyar menilai Freeport tak serius terhadap komitmen membangun fasilitas pemurnian alias smelter di dalam negeri.
Seorang peserta rapat itu menceritakan Sukhyar tak puas karena Freeport hanya menyebutkan akan membangun smelter di Gresik. Namun tak ada lokasi spesifik dan perjanjian mengikat atas rencana penggunaan lahan di lokasi yang disebut. Padahal pembangunan smelter itu selama ini menjadi salah satu syarat penting yang diminta pemerintah dalam negosiasi izin yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan.
Dalam pertemuan itu, Freeport baru bisa menunjukkan bahwa mereka telah memiliki nota kesepahaman (MOU) dengan PT Petrokimia Gresik. Isinya masih sebatas rencana mengkaji sewa lahan untuk pembangunan smelter Freeport. Kementerian Energi tak mau menerima dan menganggap nota itu saja tak cukup jadi bukti keseriusan Freeport.
Itu pula sebabnya perusahaan tambang emas dan tembaga tersebut belum bisa mendapatkan perpanjangan izin ekspor konsentrat, yang akan habis masa berlakunya pada 25 Januari ini. "Paginya, sebelum ketemu Jim Bob, saya lapor ke Pak Menteri bahwa MOU ini tidak benar. Pak Menteri setuju, jangan dikasih lagi. Pastikan dulu lokasinya karena MOU ini tidak mencerminkan apa-apa," Sukhyar menceritakan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Jim Bob yang disebut Sukhyar adalah nama panggilan James R. Moffett, pendiri Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, perusahaan Amerika Serikat yang menjadi induk PT Freeport Indonesia. Juragan tambang itu terbang jauh ke Jakarta dari markasnya di Phoenix, Arizona, dan hadir dalam rapat pada Kamis sore di kantor Sukhyar. Dia berkukuh perusahaannya sudah menjalankan apa yang mereka janjikan kepada pemerintah, sehingga tak ada alasan untuk tak menerbitkan izin ekspor.
Perundingan macet. Sukhyar meminta pertemuan dilanjutkan pada Jumat esoknya, dengan mengundang Freeport, PT Petrokimia Gresik, dan PT Smelting Gresik. "Kami meminta kepastian dari mereka untuk menunjukkan progress pembangunan smelter. Lahan itu diperoleh seperti apa, apakah sewa atau dibeli," kata Sukhyar.
SEMULA rombongan PT Freeport mendatangi kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, untuk menemui Menteri Energi Sudirman Said. Namun, beberapa menit sebelum Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin dan James Moffett tiba, Sudirman bergegas pergi ke luar kantor. "Mereka datang kalau tidak salah untuk meninjau tahapan-tahapan dan memperkenalkan presiden direktur baru. Tapi saya enggak bisa menerima karena harus ketemu Wakil Presiden," ujar Sudirman ketika ditemui di rumah dinasnya, Rabu pekan lalu. "Baru pada rapat hari berikutnya saya ketemu. Courtesy saja."
Bukan kebetulan Sudirman dipanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla hari itu. Topik pembicaraan tak lain tentang tarik-ulur perpanjangan izin ekspor yang diminta Freeport. Seperti apa detail pembicaraannya, Sudirman tak bersedia membuka. Tapi Jusuf Kalla tak menampik kabar adanya lobi-lobi dan pendekatan yang dilakukan Freeport, termasuk oleh James Moffett, kepadanya. "Otomatis (ada usaha lobi dari Freeport)," kata Wakil Presiden, Kamis malam pekan lalu.
Menurut Sudirman, sikap Presiden dan Wakil Presiden sangat jelas dalam perkara Freeport. Kedua pemimpin itu memberi mandat kepadanya agar tawar-menawar dengan Freeport harus memberikan tambahan manfaat bagi Indonesia. Sudirman mengatakan Presiden Joko Widodo bahkan menolak permohonan Freeport untuk bertemu dan memberikan kepercayaan penuh kepada dirinya sebagai perwakilan pemerintah dalam negosiasi.
Setelah mentok pada Kamis malam, rapat lanjutan pada keesokan harinya digelar paralel di dua tempat. Pertemuan di kantor Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara di Jalan Soepomo khusus digelar untuk membahas perkembangan pembangunan smelter. Sedangkan di kantor pusat Kementerian Energi, rapat dengan bos Freeport membicarakan kelanjutan renegosiasi kontrak karya yang akan habis pada 2021.
Untuk urusan smelter, Direktur Pembinaan Usaha Mineral Edy Prasojo yang memimpin persamuhan. Di situ Freeport menyatakan akan menyewa lahan seluas 80 hektare dari Petrokimia Gresik di sisi utara pabrik pupuk dan kimia itu. Kali ini pun pemerintah tak mau hanya diberi janji. "Saya arahkan Pak Edy, kalau tidak ada jaminan, jangan percaya. Jangan jalan terus. Akhirnya mereka sepakat bayar jaminan lahan dua persen sebesar US$ 128 ribu," ucap Sukhyar.
Maroef Sjamsuddin mengatakan smelter yang akan dibangun ini direncanakan bisa mengolah 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun, dengan investasi US$ 2,3 miliar. Fasilitas pemurnian ini juga akan memasok asam sulfat, produk sampingan pengolahan tembaga yang dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk bagi Petrokimia Gresik.
Tak sia-sia James Moffett terjun sendiri mengawal rapat dua hari itu. Pemerintah melunak. Freeport berhasil mendapatkan kembali izin ekspor konsentrat tembaga yang berlaku selama enam bulan ke depan. Masa renegosiasi kontrak juga diperpanjang sampai enam bulan berikutnya.
Sukhyar mengakui perkembangan pembangunan smelter oleh Freeport sebenarnya masih di bawah target yang ditetapkan pemerintah pada pertengahan tahun lalu. Namun pemerintah mempertimbangkan faktor lain, seperti dampak sosial bagi para pekerja di Freeport yang berjumlah sekitar 30 ribu orang. Pemerintah juga risau akan penerimaan bagi negara dan daerah apabila produksi Freeport terhenti. "Saya memilih bagaimana caranya menjaga operasi Freeport tapi komitmen mereka dijalankan," Sudirman menjelaskan.
APA pun alasan Sudirman Said, perubahan sikap pemerintah yang mendadak lunak kepada Freeport itu menuai kritik dan memunculkan banyak pertanyaan. Sejumlah anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat menilai keputusan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Aturan itu secara jelas mewajibkan pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan melarang ekspor bahan mentah sejak Januari 2014.
Kelonggaran ekspor konsentrat muncul di Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, yang mengizinkan pemegang kontrak karya dan izin usaha pertambangan mineral mengekspor produksinya dalam jumlah tertentu. Syaratnya, pemegang kontrak karya dan izin usaha pertambangan tersebut telah memproses pemurnian sampai kadar tertentu di dalam negeri.
Beragam kritik itu terlontar dalam rapat dengar pendapat umum dengan Freeport di Komisi Energi DPR pada Selasa pekan lalu. Apalagi, setelah dicecar oleh para anggota Dewan, Maroef Sjamsuddin mengakui bahwa Freeport memang belum mengantongi analisis mengenai dampak lingkungan, izin usaha industri, juga rancangan dasar untuk smelter yang mereka janjikan. Tudingan dan kecurigaan adanya tekanan dari Presiden atau Wakil Presiden kepada Sudirman pun sempat mengemuka di sana.
Bupati Gresik Sambari Halim mengatakan, hingga Rabu pekan lalu, belum ada pembicaraan dengan PT Petrokimia Gresik dan Freeport mengenai rencana pemanfaatan lahan untuk smelter. Padahal rancangan proyek itu diklaim Freeport telah diajukan ke Kementerian Energi pada Mei 2014. "Sampai hari ini belum ada yang mengurus izin tentang Freeport," kata Sambari.
Menteri Energi tak membantah anggapan bahwa Freeport punya kebiasaan menekan pengambil keputusan melalui lobi-lobi politik. Tapi Sudirman mengatakan, dalam pertemuan dengan pemegang saham Freeport, ia meminta praktek lama ini tak diulang. "Saya katakan jangan ulangi kisah masa lalu, di mana pengambilan keputusan ditekan oleh stakeholder politik," ujar Sudirman. "Jangan mimpi Anda punya kehendak apa-apa, jalan ke sana-kemari untuk menekan. Saya terganggu oleh itu."
Izin sudah diberikan. Yang bisa dilakukan Sudirman selanjutnya adalah memastikan Freeport tak lagi ingkar pada janji mereka untuk enam bulan mendatang. Detail perjanjian mengikat dengan Petrokimia Gresik dan penggunaan teknologi Mitsubishi Materials Corporation (MMC) diharapkan selesai segera.
Prihadi Santoso, Wakil Presiden Direktur PT Smelting Gresik, anak usaha MMC, mengatakan saat ini kedua belah pihak masih membahas bentuk kontrak pemanfaatan teknologi. Ada tiga alternatif kontrak yang sedang dikaji. Pertama, Freeport membeli putus teknologi dan mengoperasikan sendiri smelter dengan menanggung risiko jika terjadi kerusakan. Kedua, Freeport membeli dan mengoperasikan sendiri smelter dengan layanan pascajual. Ketiga, smelter dioperasikan oleh Mitsubishi sebagai pemilik teknologi. "Kami ingin ada kontrak secepatnya," kata Prihadi.
Tak cukup hanya menunggu, pemerintah juga meminta Freeport memberikan kewenangan kepada manajemen lokal untuk mengambil keputusan. Dengan begitu, tak semua urusan harus dibawa ke Arizona untuk diputuskan. "Taruh manajemen efektif di sini, yang kuat, punya otoritas penuh. Bukan orang yang ditempatkan sebagai simbol dan putusan penting harus ke pemegang saham mayoritas di Amerika," ucap Sudirman.
Bernadette Christina Munthe, Gustidha Budhiartie, Prihandoko, Artika Farmita (gresik)
Riwayat Emas Di Papua
PT Freeport Indonesia adalah perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang memperoleh hak konsesi seluas lebih dari 100 ribu hektare di Papua, melalui kontrak karya sejak 1967. Pemegang saham Freeport Indonesia adalah Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc sebesar 90,64 persen dan sisanya dikuasai pemerintah Indonesia 9,36 persen. Pada 1991, PT Freeport melakukan perpanjangan kontrak karya selama 30 tahun dan tambahan opsi perpanjangan dua kali 10 tahun, yang baru akan berakhir pada 2021. Area konsesi pun bertambah luas, dari 100 ribu hektare menjadi 2,6 juta hektare.
November 1936. Colijn, termasuk Jean-Jacques Dozy, melakukan ekspedisi gunung gletser Jayawijaya dan menemukan Ertsberg (gunung bijih).
Juni 1960. Ekspedisi Freeport dipimpin Forbes Wilson dan Del Flint menjelajahi Ertsberg.
1966. Pemerintah memberikan konsesi kepada PT Freeport-McMoRan, lalu dilanjutkan dengan persetujuan rancangan kontrak karya.
7 April 1967. Penandatanganan kontrak karya untuk masa 30 tahun buat tambang Ertsberg di atas wilayah 100 ribu hektare.
1976. Pemerintah Indonesia membeli 8,5 persen saham PT FI dari Freeport Minerals Company dan investor lain.
1988. Penemuan cadangan bijih tembaga dan emas di Grasberg. Cadangan total menjadi 200 juta metrik ton.
1989. Pemerintah Indonesia mengeluarkan izin lokasi lebih luas dengan syarat Freeport berbadan hukum Indonesia, mengolah konsentrat menjadi tembaga katoda (memurnikan), meningkatkan saham pemerintah menjadi 10 persen, dan menjual hingga 51 persen saham secara bertahap kepada pihak nasional.
1991. Kontrak karya generasi II, berlaku 30 tahun, dengan opsi dua kali perpanjangan 10 tahun (sampai 2021). Total cadangan berjumlah hampir 770 juta ton metrik.
1994. Usaha patungan pabrik peleburan PT Smelting di Gresik.
1998. PT Smelting memulai operasi pengolahan dan pemurnian di Jawa Timur. Konsentrat dipasok Freeport.
2009. Undang-Undang Nomor 4 tentang Mineral dan Batu Bara menegaskan kembali soal kewajiban mengolah hasil tambang di dalam negeri dan menghapuskan sistem kontrak karya. Batas waktu ditetapkan awal 2014.
Januari 2014. Freeport tidak bisa melakukan ekspor karena belum membangun smelter.
Juli 2014. Freeport setuju membangun smelter, menyepakati besaran bea keluar, dan menaikkan royalti. Izin ekspor diberikan.
29 Desember 2014. Pemerintah memberi teguran kepada PT Freeport Indonesia untuk segera menentukan lokasi smelter. Jatuh temponya 25 Januari 2015.
20 Januari 2015. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan ultimatum kepada PT Freeport Indonesia. Jika sampai 25 Januari Freeport tidak menunjukkan progress pembangunan smelter secara signifikan, izin ekspor konsentrat dibekukan.
25 Januari 2015. Pemerintah batal mencabut izin ekspor Freeport dan memperpanjang masa nota kesepahaman (MOU) renegosiasi amendemen kontrak karya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo