Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Prasetio membeberkan porsi kepemilikan saham maskapai pelat merah, termasuk Chairul Tanjung. Per Desember 2020, Chairul melalui Tras Airways mengempit seperempat dari total saham Garuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Share Trans Airways sebesar 25,81 persen," ujar Prasetio pada paparan publik, Kamis, 19 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sedangkan saham terbesar dimiliki oleh pemerintah Indonesia dengan porsi 60,54 persen. Adapun saham sisanya dikempit oleh institusi lokal sebesar 4,76 persen, retail lokal 5,78 persen, institusi asing 3,04 persen, dan retail asing 0,08 persen.
Pada kuartal IV 2020, total kapitalisasi pasar emiten berkode GIAA itu sebesar Rp 10,4 triliun atau turun dari 2019 yang sebesar Rp 12,89 triliun. Saham Garuda pada akhir tahun lalu ditutup di level 402, juga turun dari 2019 yang berada di posisi 498.
Mantan perwakilan Chairul Tanjung alias CT di Garuda Indonesia, Peter Frans Gontha, beberapa waktu lalu menjelaskan posisi saham dan kerugian Trans Airways. Peter menyebutkan CT memiliki nilai investasi dari pembelian saham di Garuda sebesar US$ 350 juta dengan porsi 28 persen.
Peter mengatakan saat CT membeli saham Garuda sembilan tahun lalu, nilai saham perseroan masih Rp 620 per lembar saham. Namun kini nilai saham itu anjlok di kisaran Rp 200-an.
Kerugian dihitung dari berbagai sisi, termasuk selisih nilai tukar. Saat melakukan pembelian saham, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebesar Rp 8.000.
“Beli total US$ 350 juta nilai tukar Rp 8.000. Sekarang nilai tukar sudah Rp 14.500, ada perbedaan rate Rp 6.500. Kerugian adalah US$ 350 juta x Rp 6.500 = Rp 2,275 triliun. Pembulatan Rp 2,3 triliun,” kata Peter, 14 Agustus lalu.
Di sisi lain, kerugian juga terjadi karena penurunan ekuitas. Kerugian dari total investasi karena ekuitas perusahaan yang mengalami penurunan Rp 30 triliun ditaksir mencapai Rp 5,1 triliun. “Investasi US$ 350 juta dikali RP 14.500 sama dengan Rp 5,075 triliun. Dibulatkan Rp 5,1 triliun,” tutur Peter mengimbuhkan.
Dengan demikian, kerugian investasi CT karena adanya selisih nilai tukar dan penurunan nilai ekuitas perusahaan adalah Rp 7,4 triliun. Sementara itu kerugian dari bunga simple interest atau bunga sederhana senilai 4 persen ialah US$ 14 juta per tahun.
“Bunga simple interest 4 persen, kalau US$ 350 juta x 4 persen sama dengan US$ 14 juta per tahun. Selama 9 tahun US$ 126 juta atau dengan memakai nilai tukar US$ Rp 14.500 sama dengan Rp 1,8 triliun,” ujar Peter.
Peter pun memperkirakan total kerugian CT di maskapai pelat merah sampai sekarang sudah Rp 9,2 triliun. Bila diasumsikan dengan selisih antara nilai arus kas atau NPV, total potensi kerugiannya bisa mencapai Rp 11,2 triliun. “Itulah kenapa saya bilang Rp 11 triliun karena saya hitung NPV US$ 350 juta, yah kira-kira oportunity loss,” katanya.
Bursa Efek Indonesia telah menghentikan sementara perdagangan saham Garuda pada Juni lalu. BEI menilai ada indikasi permasalahan pada kelangsungan perserian lantaran penundaan pembayaran pembagian sukuk berkala dan perpanjangan pembayaran menggunakan hak grace period.
Saham GIAA terakhir diperdagangkan pada harga 222 per lembar. Sejak awal tahun, saham Garuda anjlok 44,7 persen.