Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu mantan pengelola Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di kawasan Kabupaten Semarang bernama Ribut bercerita panjang lebar soal Tuyul SPBU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria berusia 30 tahun itu menyebutkan istilah Tuyul diberikan ke pom bensin yang curang dalam beroperasi. "Sebetulnya itu alat tambahan. Kalau dulu pada nyebutnya tuyul, karena kan mengurangi BBM," kata Ribut dihubungi Tempo pada Senin malam, 26 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Ribut yang berasal dari Selo, Boyolali, Jawa Tengah, menggeluti usaha pengelolaan SPBU. Namun usaha itu tidak bertahan lama, yakni hanya sekitar 2 tahun.
Praktik curang SPBU kembali didengarnya saat Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada akhir pekan lalu menyegel 3 pom bensin di KM 42 B rest area, Jawa Barat akibat manipulasi alat ukur pengisian bahan bakar minyak (BBM).
Namun sejatinya, kata Ribut, manipulasi alat ukur di SPBU Pertamina sudah tidak asing di kalangan pengusaha seperti dirinya. "Setahuku itu kasus lama, teman-temanku yang berkecimpung di usaha SPBU masih banyak, keuntungannya (kecurangan) itu enggak banyak," ujarnya.
Ribut menyatakan alat ukur di SPBU dapat diatur sesuai keinginan pengelola. "Jadi bisa yang minta dipasang dari juragannya atau pengawasnya. Misal bosnya mau untung yang besar, kan pegawainya tidak bisa ngomong apa-apa," tuturnya.
Pemasangan alat manipulasi itu biasanya dilakukan oleh bengkel yang sebelumnya diminta memasang dispenser SPBU. "Semacam bengkel, lah. Biasanya malah yang disuruh masang lagi (alat manipulasi) itu seperti supplier dispenser," ujarnya.
Alat manipulasi itu berupa tambahan bahkan bisa dimodifikasi dan dinyalakan sewaktu-waktu. "Jadi biar tidak ketahuan bisa dinyalakan pas ramai, nanti dimatiin lagi," ujarnya.
Ia menyebutkan, alat itu bisa dimatikan saat akan ada inspeksi dan kemudian dinyalakan saat kondisi sedang ramai pembeli di pom bensin. Manipulasi sebenarnya hanya dilakukan secara tipis agar tidak ketahuan.
"Biasanya ketahuan karena ada pembelian misal truk kontainer beli penuh ada selisih liternya yang cukup signifikan," tuturnya. "Jadi mainnya itu tipis. Enggak berani misal beli 1 liter dapatnya setengah liter gitu."
Berdasarkan aturan, kata Robut, hanya boleh ada perbedaan alat ukur maksimal sekitar 2-5 persen. "Kalau enggak salah 5 persen atau 2 persen dari 20 liter, ya boleh selisihnya cuma sekitar 50 militer, gimana mau protesnya kalau cuma segitu," ujarnya.
Namun dispenser kadang juga sering eror di mana ukuran bensin yang keluar malah lebih banyak. Alat manipulasi ukurnya pun bervariasi ada yang bisa dimatikan manual dan otomatis. .
"Biasanya kalau dihidupkan waktu jam ramai, jadi tidak terus-terusan. Karena ada juga yang setelannya dari jauh, dulu memang ada yang konstan kalau mau benerin. Harus buka mesin tapi lama-lama ada yang pakai remot, jadi dihidupkan nanti dimatiin lagi biar tidak ketahuan," tuturnya.
Lebih jauh, Ribut menyebutkan pemasangan alat manipulasi itu memiliki risiko yang besar, sementara keuntungannya kecil. Jika ketahuan, maka pengelola bakal mendapatkan surat peringatan dan mengalami keterlambatan pengiriman bahan bakar minyak. "Jadi ada tingkatan peringatan, jarang sih kalau sampai ditutup. Biasanya misal 2 bulan enggak dikirimin," ucapnya.
Pada dasarnya, kata Ribut, usaha pengelolaan SPBU dibagi menjadi tipe, yakni milik pribadi dan dikelola oleh swasta, milik swasta dan dikelola Pertamina dan dikelola oleh Pertamina secara penuh.
Ribut mengaku usahanya sebelumnya termasuk dalam kategori pengelolaan swasta. Jadi, posisi Ribut sebagai pengusaha hanya tengkulak BBM dari Pertamina. Sedangkan yang pengelolaan campuran pedagang hanya sebagai investor, sedangkan manajemennya dilakukan oleh Pertamina.
Dalam pelaksanaannya, Pertamina tetap memberlakukan standar operasi tertentu kepada pengelola-pengelola SPBU. "Jadi nanti juga ada standar misal yang warna biru pasti prima, yang bisa memenuhi mendapat stampel pasti pas, Ya semacam ujian." tuturnya.
Penetapan ranking itu, kata Ribut, akan berpengaruh kepada harga kulak, di mana peringkat yang paling baik mendapatkan harga beli yang berbeda sedikit lebih murah. "Dulu per 6 bulan sepertinya, dilakukan pengecekan rutin dari Migas yang mengawasi khusus."
Ribut berkecimbung di usaha SPBU pada sekitar tahun 2017. Ia kemudian mengakhiri usahanya lantaran keuntungan yang diperoleh untuk menutupi operasional tidak mencukupi karena lokasi masih masuk sewa kepada pihak ketiga.