Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Pembelanja Nomor Satu

Kalangan bisnis di Singapura menyambut tamu dari Indonesia dengan penuh keramahan. Barang-barang di toko, umumnya, disesuaikan dengan selera orang Indonesia. Setelah kenop-15 pembelanja Indonesia turun tajam. (eb)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COURTESY is our way of life (Keramahtamahan adalah hidup kami). Itu diucapkan berbagai poster di hampir semua toko, hotel dan pusat perdagangan di Singapura. Bunyi poster itu terasa masih banyak ditujukan kepada tamu dari Indonesia. Itu kelihatan sejak pesawat dari Jakarta mendarat di Singapura. Menyambut tamu dari sini di Lapanganterbang Paya Lebar, orang dari agen perjalanan, harus berkali-kali mengucapkan: "Selamat datang, selamat berbelanja!" Jakfar, dari perwakilan Musi Holiday di Singapura misalnya, terbiasa menambahi ucapan selamatnya dengan pujian komersiil. "Saya yakin anda datang ke mari membawa banyak uang." Dan nasehatnya, yang tak akan diberikan kepada turis asing lain, selalu juga: "Simpanlah uang anda yang banya itu di tempat penitipan di hotel, agar aman, dan anda akan tetap dapat berbelanja sepuas-puasnya. " Bermalam di hotel seperti Holiday Inn, Hyatt, Merlin, Cockpit atau Peninsulla, orang sini sudah lama bukan orang asing di sana. Hotel bertaraf internasional tersebut telah berhasil membuat suasana di rumah sendiri bagi tamu dari Indonesia. Mulai dari penerima tamu, tukang angkat barang sampai pelayan lift semuanya berbahasa Melayu untuk melayani turis Indonesia. Untuk sarapan pagi ada nasi goreng dan telor ceplok atau bubur ayam di lobby Holiday Inn. Atau, di lantai 5 Peninsulla, hanya menyediakan pilihan masakan Surabaya. Singapura tak banyak memiliki obyek turis yang menarik. Ada benteng dengan ratusan meriam peninggalan perang di Pulau Sentosa. Koleksi batu giok keluarga Haw dan Par -- pemilik perusahaan balsem Cap Macan -- yang konon harganya lebih dari S$20 juta, boleh dikunjungi. Tapi, obyek tersebut, hanya dikunjungi turis yang baru pertama kali ke bandar Singapura. Selebihnya langsung ke sasaran: shopping Singapura, bagi banyak pengunjung Indonesia memang bukan sebuah tempat indah -- bahkan mungkin bukan sebuah Republik yang punya tentara yang selalu siap. Singapura bagi mereka praktis sebuah toserba yang besar. Singapura hanyalah serangkaian toko. Toko di C. K. Tang persis di muka Wisma Indonesia di Orchard Rd. -- yang kerap memasang iklan Obral Besar di koran Jakarta -- Isetan atau di Metro, paling banyak diserbu orang Indonesia. "Apa yang berlaku di toko-toko sepertinya khusus untuk orang kita," kata pejabat di KBRI Singapura. Pelayan berbahasa Melayu. Berbagai model baju adalah konsumsi penggemar mode di sini, sampai ke soal sepatu. "Coba, di mana pasaran sepatu Kicker's kecuali sengaja dijual untuk bangsa kita?" kata orang kedutaan tersebut. Merek Kicker's yang aslinya dari Paris, memang sedang dgemari di Indonesia, sehingga barang apapun tak jarang dibubuhi merek itu. Sopir taksi selalu dibikin tercengang bila membawa pulang belanja tamu Indonesia. "Awak heran," kata seorang sopir Melayu, "dari mana orang Indonesia dapat money sebanyak itu?" Sopir ini tak bisa membedakan: mana orang kita yang turis sambil berbelanja dan mana yang tampang pedagang. Semuanya menenteng belanjaan yang tak kepalang tanggung. Komentar seorang sopir taksi boleh dikesampingkan. Namun, dengan angka yang sederhana saja. ceperti yang dapat dikutip dari catatan pejabat kedutaan kita di sana, gambaran tentang orang Indonesia berbelanja di Singapura memang bukan main. Sekitar 300 ribuan turis Indonesia membuang duitnya di republik terkecil di dunia ini setiap tahun. Dan rata-rata, begitu dapat dicatat, setiap tamu membelanjakan uangnya sekitar S$ 1000 atau Rp 300.000. Dengan demikian, ujar pejabat kedutaan tadi "orang kita adalah pembelanja No 1 di sini." Meskipun masih memegang rekor sebagai nomor wahid, tapi setelah Kenop 15 arus turis dari Indonesia memang menurun keras. Itu kabarnya sempat membuat tauke-tauke Singapura kalang-kabut. Tapi mengutip keterangan pemerintah sini, pedagang Singapura juga berpendapat, masa kaget tidak akan terlalu lama. Untuk tahun ini cukuplah terPenuhi apa yang diinginkan: Sabtu, 23 Desember lalu, di Restoran Dragon Palace, Hotel Cockpit, STPB. (Singapore Tourist Promotion Board) telah mengadakan resepsi menyambut turis yang ke 2.000.000 dalam tahun ini. Namun, belakangan, tauke Singapura itu mulai garuk-garuk kepala dua kali. Pertama mereka kehilangan sebagian turis kulit putih dari Inggeris dan Australia. Yaitu penumpang pesawat penerbangan Qantas dan BA, yang dulu singgah di Singapura dalam perjalanan London-Sydney, kini tak mungkin lagi diharap. Dengan keringanan tarif, sampal tinggal sepertiga dari biasanya dari S$ 1075 tinggal cuma S$ 340 sekali jalan), penumpang tak bisa singgah sebentar untuk belanja di Singapura. Pun, kedua, hingga awal Desember sampai menjelang tahun baru ini, ternyata arus turis dari Indonesia memang masih agak seret. Tapi dibandingkan dengan satu atau dua minggu setelah Kenop 15, memang, agen perjalanan sudah mulai kelihatan sibuk bekerja kembali. "Tapi rasanya sekarang tak mungkin dapat mengharapkan seramai Desember-Desember sebelumnya," kata agen perjalanan Satria di Singapura. Biasanya, sepanjang Desember -- apalagi tahun baru Cina jatuh Januari 1979 -- adalah acara meludaskan kantong turis Indonesia yang umumnya memang pembelanja. Cukup dengan tulisan big sale atau sfecial discount 20%50% saja pusat-pusat perdagangan dapat menghimpun pembelanja kita sampai penuh sesak. Di sepanjang jalan Orchad, selain C.K. Tang, adalah pusat pertokoan Lucky Plaza, Yaohan dan lain-lain, yang biasanya merupakan tempat berdesak-desak sesama orang Indonesia. Untuk itu, biasanya pula, hotel-hotel harus dipesan jauh-jauh hari melalui agen perjalanan. Penerbangan pun padat. Garuda sampai harus menambah jadwal dengan penerbangan ekstra beberapa kali seminggu. Agen perjalanan seperti Musi Holiday sampai-sampai harus mencarter pesawat sendiri untuk mengangkut sekitar 3000 turis yang ingin berakhir tahun di Singapura. Akhir tahun ini bagaimana? "Rombongan tour kami di bawah separoh sasaran tahun-tahun sebelum ini," kata Herman, pemimpin romhongan dari Musi Holiday. Garuda memang masih tetap dengan 8 x penerbangan -- dan penuh. "Hanya tak sampai harus menambah dengan penerbangan ekstra seperti biasanya setiap akhir tahun," kata Ompi, perwakilan Garuda di Singapura. Karena harga paket tour sekarang terlalu mahal? Tarif paket tour -- yang disodorkan dengan harga rupiah -- memang mengikuti suasana: naik 50%! Biaya tour 5 hari 4 malam, misalnya, dengan menumpang pesawat Garuda dan tinggal di Holiday Inn, sekarang tak kurang dari Rp 148.000. Itu baru soal ongkos saja. Suasana di pasar Singapura sekarang juga lain dengan sebelum rupiah mengambang. Memang, walaupun tidak sesibuk seperti tahun-tahun sebelum ini, di Jalan Orchad atau People's Park, masih ramai dengan pelancong Indonesia. Cuma, yang jelas, cara berbelanja lebih lamban. Rupanya diperlukan kecermatan untuk menghitung harga dari dollar Singapura ke rupiah kita. "Wah, payah," kata seorang nyonya, pemilik butik di Hayam Wuruk Plaza (Jakarta), yang memang datang ke Singapura sebagai peserta tour para pembelanja. "Setiap harga di sini, perhitungannya, harus dikalikan dengan Rp 300 sekarang." Dulu, setiap harga cukup dikalikan Rp 200, untuk nilainya dengan rupiah. Hitung-hitung, katanya, "belanja di Singapura, bahkan makan, minum dan ongkos taksi, tidak murah lagi sekarang. " Seorang pedagang di pusat perdagangan Isetan, yang biasa melayani 'turis' -- yang umumnya semodel dengan nyonya pemilik butik tadi--tersenyum kecut. Dia juga mengeluh: "Payah ! " Dari hanya tinggal separoh langganan tokonya yang terdiri dari turis Indonesia, katanya, ternyata mereka hanya belanja setengah jinjingan dari biasanya. Tapi, "ngomong-ngomong," katanya, "pemerintah anda cerdik juga mengatur rupiah ...... kita di sini jadi kelabakan." Tapi inang-inang dari Tanjung Pinang tak mengeluh soal ongkos perjalanan. Ongkos feri Tanjung Pinang ke Singapura masih tetap Rp 4000 sekali jalan. Tapi penginapan macam Guan Guan, Cin Cin atau Park Hotel ternyata sepi. Karena inang-inang yang 6iasa nginap di sana, sejak pertengahan Nopember lalu. kelihatannya mogok belanja ke Singapura. Biasanya lebih dari 30 orang inang-inang setiap hari memenuhi feri dengan berbagai macam barang tentengan. Tapi, akhir-akhir ini, ada 5 orang yang berangkat saja sudah lumayan. Mereka pun sebenarnya belum kembali semangat berdagangnya. "Melihat keadaan dulu," kata seorang di Tanjung Pinang. Mereka umumnya merasa harus menombok 50% untuk membeli barang dagangannya. Sedangkan, menurut mereka, kekuatan pasar di Indonesia hanya mampu naik sekitar 30% saja. Omset inang-inang bagi tauke di Singapura sebenarnya juga tidak kecil. Dari sekitar 500 inang-inang, seminggu, masing-masing melepas uang di sana sekitar Rp 2 juta. Apakah Singapura akan lebih membanting harga barang kelontongnya untuk menarik kembali minat pembelanja dari Indonesia? Untuk sementara, setidaknya sampai musim turis tahun 1978 berakhir, tidak ada komentar dari pedagang di Singapura. Apalagi, tahun di muka ini Singapura tampaknya sedang mengharapkan tamu lain turis Jepang yang nilai tukar yen-nya terpasang baik di toko-toko.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus